Untuk itu, perusahaan pemegang Kontrak Karya (KK) tidak mendapat pengecualian dari implementasi Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) terkait kebijakan peningkatan nilai tambah produk mineral dalam negeri.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Abrar Saleng mengungkapkan, di satu sisi pemerintah wajib menghormati KK. Namun di sisi lain, ada kewajiban perusahaan pemegang KK melakukan pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri dalam rangka peningkatan nilai tambah hasil tambang.
Menurutnya, pemerintah tidak dalam posisi sedang mengecualikan perusahaan pemegang KK. Dalam pasal 169a UU Minerba menegaskan bahwa KK tetap diberlakukan hingga jangka waktu berakhirnya kontrak. Sementara pasal 170 mewajibkan perusahaan pemegang KK melakukan pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri.
“Kontrak Karya itu dibuat jauh sebelum Undang-Undang Minerba sebagai produk hukum perdata. Dalam Kontrak Karya, pemerintah dan swasta sudah bersepakat melakukan pengolahan dan pemurnian bijih mineral dengan produk akhir konsentrat dan melakukan ekspor,†jelasnya.
Abrar menegaskan, pemerintah tidak bisa memaksa perusahaan pemegang KK patuh pada UU Minerba. Apalagi dalam aturan itu tidak disebutkan berapa persen kadar pengolahan dan pemurnian yang harus dilakukan, karena setiap mineral itu berbeda perlakuannya.
Kenyataannya, kata Akbar, perusahaan pemegang KK selama ini telah menjalankan amanat dengan melakukan proses pengolahan dan pemurnian demi meningkatkan nilai mutu bijih tembaga menjadi konsentrat dan menjual ke pasar sesuai dengan harga 100 persen nilai logam tembaga.
Jika pemerintah ingin agar perusahaan pemegang KK melakukan lebih dari yang tertera dalam KK, kata Abrar, renegosiasi adalah solusinya. Perusahaan pemegang KK hingga saat ini telah menjalankan amanat KK.
Menko Perekonomian Hatta Rajasa sebelumnya mengakui, dalam UU Minerba memang tidak disebutkan aturan hingga berapa persen kadar pemurnian tembaga. Freeport dan Newmont sudah melakukan pemurnian hingga 95 persen. Apalagi, kedua perusahaan itu sudah memiliki fasilitas pengolahan dan pemurnian.
Sebagai informasi, untuk menghasilkan produk konsentrat, Newmont telah melakukan investasi sebesar 1,9 miliar dolar AS. Apabila pemurnian tembaga dilakukan hingga ke tahap 100 persen yang menghasilkan peningkatan mutu 75 persen kadar Cu dan nilai produk sebesar 7 persen, investasi yang diperlukan sekitar 1,54 miliar dolar AS.
Presiden Direktur Newmont Martiono Hadianto mengatakan, pihaknya mendukung kebijakan hilirisasi melalui peningkatan nilai tambah produk mineral tambang di dalam negeri.
“Newmont telah melakukan negosiasi dan menandatangani perjanjian pasokan konsentrat dengan dua perusahaan Indonesia yang telah mengumumkan rencananya kepada publik untuk membangun smelter tembaga baru di Indonesia,†kata Martiono.
Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) menilai, larangan ekspor mineral mentah terlalu terburu-buru. Ketua Umum Hipmi Raja Sapta Oktohari mengatakan, dengan adanya pelarangan ekspor mineral mentah, banyak pengusaha yang di daerah yang kesulitan menjual hasil galian tambangnya yang kebanyakan masih berupa hasil mineral mentah.
Oleh karena itu, Hipmi meminta pemerintah menunda pelaksanaan aturan tersebut. Sebab, jika tetap dilaksanakan pada 12 Januari, dipastikan akan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dari perusahaan tambang.
“Penerapan kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah seharusnya dilakukan secara bertahap dan simultan antara pemerintah dan swasta,†kata Okto.
Amandemen PP No 23/2010Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba akan berdampak pada lesunya investasi pertambangan di Indonesia. Oleh karena itu, solusinya adalah mengamandemen secara terbatas regulasi tersebut.
Menurut ahli hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra, klausul yang perlu diamandemen dalam PP No.23 Tahun 2010 adalah pasal 112 angka 4 huruf C.
Pelonggaran ini diharapkan lebih adil terutama bagi pengusaha tambang kecil pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP).
“Karena dampak serius ini ditanggung oleh pemegang IUP yang baru beberapa tahun melaksanakan usaha pertambangan. Padahal negara harus membuat aturan yang adil bagi semua,†ujar Yusril.
Pelonggaran ini dipastikan Yusril, dengan mempertimbangkan kepatuhan IUP untuk melaksanakan hilirisasi dan memulai pembangunan smelter. Pasalnya, untuk membangun itu butuh investasi dari pinjaman bank. “Ini sudah berjalan. Kalau ekspor dilarang, potensi kredit macet terjadi, pembangunan pabrik pengolahan justru berhenti,†cetus Yusril.
Yusril berpendapat, usaha pertambangan dapat diselamatkan, asalkan pelaksanaan amandemen terbatas atas PP Nomor 23 Tahun 2010 itu dilakukan sebelum pelaksanaan larangan ekspor bahan mentah mineral dan batubara.
Untuk diketahui, Presiden SBY memanggil Yusril untuk mengkaji pelaksanaan UU Minerba ini. Yusril diminta mencari jalan keluar menghadapi tenggat waktu pelaksanaan aturan tersebut.
Direktur Eksekutif Indonesia Mineral and Energy Studies (IMES) Erwin Usman mendukung pemerintah melarang ekspor mineral mentah per 12 Januari 2014. Erwin mengatakan, IMES tidak sependapat dengan berbagai keluhan pengusaha akan merugi dengan membangun smelter.
“Alasannya sederhana, produksi tambang mereka sudah puluhan tahun lamanya dan keuntungan yang diperoleh sangat besar jika dibanding biaya untuk pembangunan smelter,†kata Erwin. ***