“Di sektor pangan, ada permainan kartel dari para importir dengan para aparatur negara,†kata Ketua KPK Abraham Samad.
Samad menegaskan, kuatnya aroma korupsi di sektor pangan adalah potret kemiskinan para petani dan masifnya impor pangan. Ia menduga, impor berbagai bahan pangan merupakan akal-akalan pengusaha dan oknum pejabat negara. “Di sektor ini (pangan) ada mafia, maka jangan heran kalau petani kita tetap miskin,†tuding bekas aktivis ini.
Dia menilai, terjadi keganjilan karena Indonesia sebagai negara agraris dan pernah berswasembada pangan kini terus menerus mengimpor bahan pangan pokok yang sesungguhnya dapat diproduksi secara besar-besaran.
Samad memaparkan, hasil observasi KPK bahwa kenyataannya produksi pangan Indonesia cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Namun, bahan-bahan tersebut terus diimpor ke Indonesia karena adanya permainan aparatur negara dengan mafia impor, sehingga seolah-olah tidak bisa memenuhi kebutuhan lokal.
Staf Khusus Presiden Bidang Penanggulangan Kemiskinan HS Dillon mengatakan, kartel pangan sungguh nyata dan memang beroperasi di Indonesia. Bahkan, prinsip kartel pangan modern hanyalah warisan sistem korup zaman Kolonial Belanda. Yakni, tata niaga yang membuat pedagang dan tengkulak lebih sejahtera dibanding petani.
“Kartel dari dulu ada di mana-mana. Makanya saya mengatakan republik ini belum pernah merdeka, karena praktik-praktik Belanda masih dilaksanakan terus,†ujarnya.
Pendapat juga disuarakan ekonom Didik J Rachbini. Dia heran, mengapa pemerintah sering kalah dari pelaku usaha. Hal ini terlihat dari ketidakmampuan Kementerian Perdagangan (Kemendag) memaksa importir mengatur stoknya supaya harga kedelai tidak bergejolak.
“Pemerintah seharusnya tahu siapa yang menguasai stok, toh tidak ada lonjakan permintaan kedelai yang berlebihan,†kata Didik.
Saking bandelnya importir di Indonesia, bikin Didik yakin mereka secara tak langsung mengakui kalau punya kekuasaan serupa kartel. Fakta bikin terenyuh terbaru adalah pemerintah harus melobi para pengusaha supaya bersedia melepas kedelai impor mereka di harga Rp 8.000 per kilogram kepada perajin.
“Itu bukti dia bisa mengendalikan harga dan mengatur pasokan. Jadi kartelnya malah sudah mengaku di depan,†tandasnya. ***