Anggota Komisi V DPR Yudi Widiana Adia mengungkapkan, alasan kenaikan tarif tol yang hanya berdasarkan inflasi per dua tahun tidaklah pas.
“Intinya, kita tidak setuju karena inflasi bukan satu-satunya variabel yang menjadi pertimbangan untuk menaikkan tarif. Apalagi, masih banyak item standar pelayanan minimum (SPM) belum terpenuhi. Masih macet tapi tarif naik,†katanya.
Yudi menegaskan, pengaturan kenaikan tarif tol berdasarkan inflasi dua tahun mengacu pada Undang-Undang Jalan. Sumber ketidakadilan itu, sambungnya, justru terletak di Undang-Undang Jalan.
“Itu harus direvisi karena perlu variabel lain yang harus dilihat, tidak hanya inflasi. Jika seperti ini terus, tidak akan nyambung dengan kepentingan masyarakat yang membutuhkan peningkatan layanan,†terangnya.
Politisi PKS ini menyayangkan revisi Undang-Undang Jalan yang tidak kunjung tuntas. “Sudah tiga tahun tetap diulur-ulur terus,†ungkapnya.
Yudi mengimbau pemerintah untuk menurunkan tarif tol jika dalam tenggat waktu sebulan setelah kenaikan tarif, SPM tidak juga dipenuhi.
“Jika satu bulan tol masih macet dan kecepatan masih di bawah 60 kilometer per jam, antrean panjang di gerbang tol, lampu penerangan minim dan jalan masih ada yang rusak, tarif tol harus diturunkan kembali,†imbaunya.
Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo mengungkapkan, fakta selama ini kenaikan tarif tol tidak sebanding dengan kualitas layanan dan pertumbuhan pembangunan jalan tol relatif lambat dan tak mampu mengimbangi pertumbuhan kendaraan.
“Sebenarnya masyarakat tidak akan keberatan dengan kenaikan tarif tol sepanjang mendapatkan keuntungan dari kualitas layanan yang diberikan. , Misalnya, trafik kecepatan rata-rata yang bertambah sehingga waktu tempuh kendaraan lebih efisien dari segi waktu,†jelasnya.
Idealnya, kata dia, pemerintah dan operator harus melakukan survei dan kajian tentang tanggapan konsumen, sehingga pemerintah dan operator dapat merasakan apa yang dirasakan konsumen. “Sampai sekarang tidak pernah diukur tanggapan konsumen,†ujarnya.
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Danang Parikesit menambahkan, untuk menilai SPM sebuah tol pemerintah seharusnya menunjuk lembaga independen.
“Penilaian bukan dari Kementerian Pekerjaan Umum (PU), kan bisa ditunjuk dari perguruan tinggi,†ucap Danang. ***