“Kalau ada gejolak pangan tidak harus selalu impor, kalau ke depan ketergantungan impor tinggi maka itu tidak baik, secara sosial juga tidak bagus. Sekali lagi solusinya peningkatan produksi,†kata SBY di Bukit Tinggi, kemarin.
SBY meminta semua pihak bekerja sama baik pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun kalangan dunia usaha. “Kita hendak memobilisasi sumber daya. Mari kita pastikan ada lahan yang masih bisa digunakan. Harus ada modal finansial, kita pikirkan bank bagaimana, tenaga kerja, kerja sama teknologi juga bisa dilakukan,†ujarnya.
Selain itu, transportasi juga mesti dipikirkan lebih efesien, infrastruktur yang diperlukan, irigasi seperti apa. Dengan jumlah penduduk yang ada saat ini, ditambah masalah perubahan iklim dan perdagangan pangan dunia, maka diperlukan langkah ekstra keras untuk memastikan keamanan pangan.
Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengemukakan, Indonesia harus menjadi basis produksi pangan di kawasan ASEAN menghadapi pasar bebas yang akan diberlakukan pada 2015.
“Tidak ada kata lain, harus siap karena itu akan terjadi. Oleh sebab itu, Indonesia harus menjadi basis produksi pangan bukan pasar negara lain,†kata Hatta.
Dia menyebutkan, para menteri ekonomi dan pihak terkait telah membahas peningkatan produksi lima bahan pangan pokok yaitu beras, gula, jagung, kedelai dan daging sapi. Khusus kedelai ditargetkan akan ada penambahan produksi 500 ribu ton pada 2014 guna mengurangi impor.
Hal itu dapat dicapai dengan penambahan lahan baru seluas 155 ribu hektar dari kawasan transmigrasi dan 196 ribu hektar dari kawasan non transmigrasi. Selain itu, juga dibahas penanaman kembali sejumlah kawasan perkebunan yang dinilai sudah tidak produktif menggunakan bibit unggul.
Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Pratikno mengatakan, impor bahan pangan cenderung mengutamakan kepentingan pengusaha importir. “Orientasi ini terkait dengan para komprador yang menjual kebijakan untuk keuntungan sendiri,†ujarnya.
Ia menyatakan, orientiasi impor bahan pangan untuk kepentingan jangka pendek agar pengusaha dan kroninya mendapat keuntungan. Karena itu, pemangku kebijakan pangan dan programnya dianggap tidak cerdas. Itu bisa diperhatikan dari perilaku pemangku bidang pangan. [Harian Rakyat Merdeka]