Anggota Komisi IV DPR SisÂwono Yudho Husudo meÂngaÂtakan, dengan adanya kebijakan tersebut, pemerintah semakin menÂjauhkan Indonesia dari target swasembada kedelai. Padahal, Presiden SBY pada 2014 menÂarÂgetÂkan swaÂsembada pangan seÂperti kedelai, gula, jagung dan daging.
“Kebijakan nol persen berasal dari tekanan luar, contohnya Amerika yang membanjiri pasar kedelai di Indonesia dengan keÂdelai impor yang memiliki kuaÂlitas lebih baik dan harga yang lebih murah,†tegasnya.
Menurut Siswono, peÂtani di Indonesia tiÂdak memiliki semaÂngat untuk meÂnanam kedeÂlai kaÂrena tidak adanya perhatian serta dukungan dari pemerintah. LaÂhan yang disiapkan untuk penaÂnaman kedelai juga menyusut dari tahun ke tahun.
Siswono mencatat, pada 1998 lahan untuk menanam kedelai tersedia 1,6 juta hektar, namun sekarang menyusut sampai 700 ribu hektar.
Seperti diketahui, Menteri KeÂuangan (Menkeu) Chatib M Basri menetapkan tarif bea masuk atas impor barang berupa kacang keÂdelai sebesar nol persen yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) NoÂmor 133/PMK.011/2013 pada 3 Oktober 2013.
Beleid tersebut mengubah PerÂaturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 yang memÂberikan bea masuk sebesar 5 perÂsen atas impor barang beruÂpa kacang kedelai.
Penetapan pajak nol persen untuk impor kedelai itu juga mempertimbangkan usulan MenÂteri Perdagangan melalui surat Nomor 1096/M-DAG/SD/9/2013 tanggal 19 September 2013 dan disetujui oleh Menteri Pertanian Suswono melalui surat Nomor 153/KU.210/M/9/2013/Rhs terÂtanggal 18 September 2013.
Chatib menegaskan, pengeÂnaan tarif bea masuk atas kedelai impor dapat dilakukan evaluasi sesuai dengan perkembangan harga kacang kedelai dan konÂdisi perekonomian.
Koordinator Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS) Tejo WahÂyu JatÂmiko mengatakan, pemÂberÂlakuan bea masuk kedelai yang semula 5 persen bisa membuat produk petani kedelai kompetitif dan bisa memÂbuahkan keunÂtuÂngan. Tapi, pemeÂrintah malah menuÂrunkan bea masuk hingga nol persen.
“Sebenarnya produsen kedelai di Brazil dan Argentina berani menentukan bea masuk sebesar 14-16 persen. Itu tidak menjadi masalah. Itu bisa membuat kedeÂlai kita jauh lebih kompetitif,†kata Tejo.
Menurut Tejo, seharusnya peÂmerintah lebih memperhatikan kepentingan produsen kedelai loÂkal. Jangan membebaskan bea masuk menjadi nol persen. ApaÂlagi itu berkaitan dengan keÂpenÂtingan hidup masyarakat.
“Jangan takut. Paling-paling dituntut di WTO (World Trade Organisation) dan itu butuh wakÂtu panjang. Kita kan masih bisa mengimpor dari negara lain. DeÂngan adanya regionalisasi pasar, kita harus tetap melindungi proÂdusen kita,†tandasnya. [Harian Rakyat Merdeka]