Bawa Kasus Inalum Ke Arbitrase, Pemerintah Terjebak Jurus Jepang

Batas Waktu Tinggal 14 Hari Lagi, DPR Minta Kejelasan

Kamis, 17 Oktober 2013, 09:33 WIB
Bawa Kasus Inalum Ke Arbitrase, Pemerintah Terjebak Jurus Jepang
ilustrasi
rmol news logo DPR menilai pemerintah tidak serius terkait proses negosiasi PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) karena hingga kini belum bisa mengambil alih dari Jepang.

Kemarin, Komisi VI DPR menggelar Rapat Kerja Laporan Perkembangan Pengambilihan Inalum bersama pemerintah.  Ra­pat tersebut dihadiri Dirjen Kerja Sama Industri Internasional Ke­m­enterian Perindustrian (Ke­men­perin) Agus Tjahjana, Dirjen Ke­kayaan Negara Kementerian Ke­uangan (Kemenkeu) Ha­di­yan­to dan Deputi Menteri BUMN Bi­dang Industri Strategis dan Ma­nu­faktur Dwijayanti Cahyaningsih.

Anggota Komisi VI DPR Lili As­­dju­diredja mengatakan, pe­me­rintah sudah delapan kali rapat dan berunding dengan Nippon Asahan Aluminium (NAA), tapi sampai se­karang belum juga ada di tangan.

“Jangan hanya bicara saja. Apa­lagi batas terakhir pengam­bil­alihan Inalum tinggal 14 hari lagi,” warning Lili.

Politisi Partai Golkar itu me­minta pemerintah menekan NAA agar cepat melepaskan Inalum ke tangan Indonesia. “Ini untuk Re­publik Indonesia, jangan ha­nya untuk oknum saja,” sindirnya.

Anggota Komisi VI DPR Nas­ril Bahar mengingatkan pe­me­rin­tah agar tak terjebak dalam Ar­bit­rase. Lebih baik peng­am­bil­alihan Ina­lum dilakukan secara mufakat.

Dia menilai, alasan pemerintah membawa masalah perbedaan nilai aset Inalum sangat lemah. “Kita pasti kalah dan itu diman­fa­atkan oleh NAA untuk bisa ma­suk lagi ke Inalum,” ingatya. 

Apalagi kalau sengketa ini di­bawa ke Arbitrase, menurut Nas­ril, itu mem­perlihatkan tim pe­run­di­ngan Pe­merintah Indone­sia le­mah. Jika pe­merintah ya­kin, se­harusnya bisa lang­sung bayar saja.

“Kalau ke Ar­bit­rase akan me­makan waktu pan­jang,” ucap ang­gota Fraksi PAN itu.
Mestinya, kata Nasril, sebagai ne­gara yang bersahabat dengan Je­pang, Indonesia bisa berbicara dan menyelesaikan masalah itu tanpa perlu Arbitrase. Apalagi, Jepang sudah mengambil keun­tungan lama.

Anggota Fraksi Partai Gerindra Edy Prabowo mempertanyakan perbedaan nilai aset Inalum an­tara Jepang dan Indonesia.

“Kenapa ini muncul di akhir waktu mau negosiasi. Seharusnya jika ada selisih nilai aset bisa di­ke­tahui dari awal. Apalagi setiap tahun ada laporannya,” kata Edy dengan nada tinggi.

Edy menduga, ada yang disem­bunyikan dari Inalum. Apalagi selesihnya hampir Rp 30 triliun. “Itu angka yang besar. Apa saja kerja pemerintah sehingga terjadi ada perbedaan aset yang besar ini,” sentil Edy.

Sedangkan anggota Fraksi Partai De­mo­krat Ferari Romawi memper­ta­nyakan sum­ber penda­naan pem­belian Ina­lum. “Dana­nya dari ma­na, apa dari APBN (Anggaran Pen­da­patan dan Be­lan­ja Negara) lagi,” tanyanya.

NAA Incar Posisi Dirkeu

Agus Tjahjana menjelaskan, saat ini masih ada perbedaan pandang­an antara pemerintah dan NAA. Ketiga perbedaan itu ada­lah peng­akuan atas revaluasi, beda taf­sir formulasi harga pen­jualan dan beda persepsi res­cheduling loan.

“Itu berdampak pada nilai kom­pensasi dan akan dicarikan penyelesaiannya melalui Ar­bit­rase Internasional,” kata Agus.

Agus juga menegaskan, pe­me­rintah tidak akan menyetujui per­mintaan NAA yang meminta sa­ham 30 persen Inalum karena itu sangat merugikan pemerintah. Apalagi, NAA meminta posisi Direktur Keuangan (Dirkeu).

Menurutnya, meskipun NAA me­miliki saham minoritas, na­mun dengan posisi Direktur Ke­uangan akan mempengaruhi ke­putusan perusahaan. “Misalnya mene­rap­kan harga jual yang me­ru­gikan perusahaan,” ujarnya.

Dia sesumbar, setelah diambil alih per 1 November 2013, Ina­lum akan dikelola oleh putra putri Indonesia. Selain itu, rencana pe­ngembangan bauksit dan klas­ter industri hilir alumunium akan mu­dah dilaksanakan.

Agus menambahkan, Inalum diusulkan menjadi BUMN de­ngan kepemilikan 100 persen di tangan pemerintah. Nama pe­ru­sahaan tetap menjadi PT Inalum (Persero) karena mem­per­tim­bangkan reputasi kontrak di du­nia internasional.

Dirjen Kekayaan Negara Ke­men­terian Keuangan Hadiyanto mengatakan, anggaran untuk pe­ngambilalihan Inalum men­capai Rp 7 triliun. Tapi angka itu bukan final.

“Dengan lemahnya nilai tukar tentu akan berdampak pada pembeliaan,” akunya.
Untuk saat ini, Rp 2 triliun ada di Pusat Investasi Pemerintah (PIP). Sisanya masuk dalam ang­garan investasi.

Deputi Menteri BUMN Bidang Industri Strategis dan Manufaktur Dwijanti Cahyaningsih me­nam­bahkan, pihaknya akan tetap mem­pertahankan Inalum bisa ber­operasi seperti biasa. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA