“Pertamina memperkirakan trend tersebut akan terus berlanjut dalam lima tahun mendatang dengan rata-rata pertumbuhan permintaan minimal sekitar 5 persen per tahun,†kata Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan di Bali, kemarin.
Selain itu, menurut dia, permintaan domestik untuk produk petrokimia juga diperkirakan terus meningkat. Salah satunya akibat tumbuh pesatnya pusat-pusat ekonomi baru di luar Jakarta, terutama melalui pertumbuhan sektor manufaktur.
Karen mengatakan, nilai pasar petrokimia Indonesia diperkirakan mencapai 30 miliar dolar AS pada 2018 dan Pertamina menargetkan untuk menguasai pangsa pasar sekitar 30 persen. Untuk itu, perseroan perlu memodernisasi infrastruktur hilirnya untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat, baik energi maupun produk petrokimia di Indonesia.
“Dengan RDMP (Refinery Development Master Plan) diharapkan dapat meningkatkan ketahanan energi nasional dan mengurangi ketergantungan Indonesia dari impor,†ungkap Karen.
Karen mengakui, saat ini Pertamina mengoperasikan lima kilang besar dengan total kapasitas 1,035 juta barel per hari (bph). Kapasitas kilang tersebut adalah yang terbesar di Asia Tenggara dan lima terbesar di Asia.
Kondisi ini menjadi keuntungan komparatif bagi Pertamina untuk mencapai targetnya menjadi pemain utama di sektor energi dan petrokimia di Indonesia maupun di kawasan.
BUMN minyak itu menggandeng UOP LLC, anak perusahaan Honeywell, perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat (AS), untuk memodernisasi kilang-kilang Pertamina. Kerja sama itu dalam bentuk Bankable Feasibility Study (BFS) secara parsial dibiayai United States Trade and Development Agency (USTDA) dengan nilai grant 1,07 juta dolar AS.
Rencana induk pengembangan kilang akan menjadi landasan bagi Pertamina untuk mencapai tujuan perusahaan menjadi
World Class Downstream Business.Pengamat energi dari Reforminer Institut Pri Agung Rakhmanto meminta pemerintah mempercepat pembangunan kilang minyak guna mengurangi ketergantungan energi nasional terhadap asing.
“Kita bisa mencontoh China dan India yang sukses membangun kilang, mereka sudah paham masalahnya. Tidak seperti kita,†ujar Pri.
Pri menilai, China dan India sukses membangun kilang karena pemerintahnya menyadari pentingnya ketahanan energi nasional. Kedua negara tersebut saat ini mengalami peningkatan kebutuhan konsumsi BBM. Tanpa berpikir panjang, kedua negara itu membangun armada kilang guna mengakomodasi produksi minyak mentah.
Melihat itu, dia berharap Pemerintah Indonesia mencontoh kedua negara tersebut yang sukses membangun kilang minyak agar ketahan energi nasional bisa tercapai. Untuk itu, pemerintah perlu memasukkan usulan penambahan armada kilang minyak ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) agar realisasi proyek itu berjalan.
“Kalau mau fokus ada baiknya realisasi kilang minyak ini dimasukkan ke dalam APBN. Kalau cuma sebatas jalan saja, yang ada tidak akan jadi untuk nambah kilang,†saran Pri.
Pri mengatakan, dengan adanya program penambahan armada kilang ke APBN, maka tindak tanduk dan proses pengerjaannya menjadi jelas. Sebab, tiap proyek yang masuk dalam APBN memiliki proyeksi dan ketentuan kapan hal itu dapat selesai. “Kalau konsep dengan APBN ada target,†cetus Pri.
Ke depan, pemerintah perlu mengedepankan aspek kebijakan yang tidak berseberangan dengan kebijakan yang lain. Di samping itu, tiap kebijakan yang dilaksanakan diharapkan tidak hanya sebatas wacana. Apalagi apa yang diwacanakan merupakan hal yang tidak begitu penting.
Seperti diketahui, Direktur Bahan Bakar Minyak (BBM) Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Djoko Siswanto mengatakan, kilang yang dimiliki Indonesia sudah terlalu tua.
Namun, rencana pembangunan kilang sulit dilakukan karena mafia minyak internasional selalu menentang. “Kilang di mana pun dibangun, termasuk di Indonesia, pasti akan ditentang para mafia minyak internasional,†ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]