“Aturan ini sejalan dengan seruan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat pembukaan APEC CEO Summit 2013 di Bali untuk meningkatkan pemanfaatan EBT,†kata Anggota Komisi VII DPR Dito Ganinduto kepada
Rakyat Merdeka, kemarin.
Menurut dia, Presiden SBY ketika membuka Pertemuan Pimpinan Perusahaan (CEO Summit) dalam rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC di Bali, Minggu (6/10), menyerukan pengurangan ketergantungan BBM dengan EBT.
“Seruan itu menjadi tidak ada artinya kalau tidak dibarengi keluarnya aturan
feed-in tariff EBT,†tambah Dito.
Menurut politisi Partai Golkar itu, pemanfaatan EBT juga menjadi penting saat ini dikarenakan tingginya defisit neraca perdagangan akibat melonjaknya impor minyak, pelemahan rupiah dan gejolak perekonomian di AS, India, dan China.
â€Karena itu, saya mendesak Menteri ESDM (Energi Sumber Daya Mineral) Jero Wacik segera mengeluarkan aturan feed-in tariff EBT ini,†tegasnya.
Pola
feed-in tariff merupakan skema harga listrik melalui proses lelang yang langsung diterapkan dalam kontrak dengan PLN. Skema tersebut merupakan terobosan agar semakin banyak investor mengembangkan EBT yang tercatat memiliki potensi besar di Indonesia.
Dito menganggap, selama ini penggunaan tenaga listrik yang bersumber dari EBT terkendala keekonomian karena investasi tinggi, namun harga jual ke PLN masih rendah. Sementara PLN terkendala pembelian listrik dengan harga mahal karena akan menambah beban subsidi. Padahal, Indonesia memiliki potensi EBT seperti panas bumi, surya, air dan angin yang melimpah.
Menurut Dito, dari potensi panas bumi yang mencapai 30.000 MW, hanya termanfaatkan kurang dari 2.000 MW. Sementara dari tenaga surya yang mencapai 50.000 MW hanya terpasang sekitar 100 MW.
Direktur Utama PLN Nur Pamudji mengungkapkan, dengan meningkatnya dukungan pemerintah untuk pengembangan sumber energi terbarukan, PLN sanggup dan siap menggunakan energi terbarukan sesuai tujuan apapun yang ingin dicapai pemerintah.
Nur mengatakan, PLN akan melakukan yang terbaik di dalam parameter keekonomian yang harus dipatuhinya sebagai sebuah perusahaan dan menggunakan kemampuannya untuk memaksimalkan penyediaan listrik bagi seluruh masyarakat.
Kepala Divisi Energi Baru dan Terbarukan PLN Mochamad Sofyan sebelumnya mengatakan, pengembangan EBT sangat perlu untuk menjaga keamanan pasokan listrik. “Saat ini pembangkit listrik PLN terdiri dari 86,3 persen pembangkit non EBT dan 13,7 persen pembangkit EBT,†ungkap Sofyan.
Menurut dia, dari sisi sumber energi primer, pengunaan bahan bakar fosil masih dominan sebanyak 88 persen yang terdiri dari 44 persen batubara, 23 persen BBM dan 21 persen gas alam. “Porsi energi primer dari EBT masih 12 persen saja,†tambahnya.
Melihat kondisi ini, PLN menargetkan kenaikan penggunaan sumber energi primer EBT dari 12 persen menjadi 20 persen pada 2021. Artinya, dalam waktu 10 tahun, dari 2012 hingga 2021, PLN akan membangun pembangkit listrik sebesar 13 ribu MW yang bersumber dari tenaga air, panas bumi, biomassa dan matahari.
Pengembangan EBT dengan total 13 ribu MW ini, diperkirakan memerlukan biaya investasi 77,3 miliar dolar AS. Demikian besarnya kapasitas yang harus dibangun dengan biaya investasi yang tidak kalah besar, diharapkan sebanyak 47 persen dari total kapasitas ini dikerjakan oleh swasta.
Wakil Presiden Boediono meminta instansi-instansi terkait menyelesaikan hambatan pengembangan EBT. Hal ini penting agar target pemanfaatannya dapat dicapai. Kebijakan Energi Nasional (KEN) menargetkan pemanfaatan EBT 2025 mencapai 22 persen. [Harian Rakyat Merdeka]