“Sebenarnya posisi kita aman, suplainya ada, tapi masih di importir. Intinya kedelai yang di importir itu harus segera dijual ke perajin,†ujarnya, kemarin.
Dia menegaskan, kepada para importir agar segera mengeluarkan stoknya dan dijual ke para pedagang. Menurut dia, stok yang dibutuhkan dari asosiasi tahu tempe sebanyak 34 ribu ton per bulan. Sedangkan saat ini stok yang ada di tangan importir sebanyak 149 ribu ton.
“Jadi stok saat ini cukup untuk memenuhi kebutuhan pengrajin untuk beberapa bulan ke depan,†katanya.
Selain itu, lanjut Sri, kedelai yang diimpor sudah dalam perjalanan. Menurutnya, ada 150 ribu ton kedelai impor dari Amerika Serikat (AS) yang akan datang pada akhir Agustus atau awal bulan September. Jadi, dia bilang, jika dihitung stok kedelai yang ada mencapai 300 ribu ton.
Sri menambahkan, pihaknya hanya mengatur harga kedelai di tingkat petani, yakni Rp 7.000 per kilogram (kg) dan harga jual ke perajin Rp 7.700 per kg. Sementara untuk yang dijual ke pasaran umum tidak bisa diatur.
“Sekarang yang harga Rp 9.000 sampai Rp 9.200 per kg itu harga yang ada di eceran,†jelas Sri.
Dirjen Industri Kecil dan Menengah Kementerian Perindustrian Euis Saedah mengatakan, pasokan kedelai aman. “Laporan dari Kementerian Perdagangan masih aman,†kata Euis kepada
Rakyat Merdeka, kemarin.
Namun, dia mengakui, ada keluhan dari beberapa IKM yang bergerak di industri tempe dan tahu kesulitan bahan baku kedelai karena harganya mahal. Karena itu, kata dia, banyak pengrajin yang mulai menaikkan harga dan mengurangi produksinya.
Terkait adanya importir yang masih menahan cadangan kedelai impor, Euis meminta, sebaiknya para importir segera melepas stoknya itu ke pasar. Pasalnya, banyak pengrajin yang membutuhkan.
“Akibat mahalnya harga kedelai, pengrajin sempat akan demo tapi tidak jadi karena kami menjamin pasokannya,†kata Euis.
Untuk meningkatkan produksi kedelai, Euis bilang, pihaknya juga akan bekerja sama dengan Dirjen Pembinaan Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi Kementerian Tenaga Kerja Dan Transmigrasi.
Direktur Eksekutif Indonesia Monitoring Centre (IMC) Supriansa meminta, pemerintah bersikap tegas terhadap para importir yang sengaja menahan kedelainya untuk memperoleh keuntungan lebih besar dari melonjaknya dolar AS.
“Izin harus dicabut. Importir itu tidak boleh dapat jatah impor kedelai lagi tahun depan karena bikin susah rakyat,†tegasnya kepada
Rakyat Merdeka, kemarin.
Omzet Pedagang BerkurangSalah seorang pedagang tempe dan tahu di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Yuli (35) mengatakan, sejak beberapa hari terakhir harga tempe dan tahu di warungnya telah dinaikkan.
“Sudah beberapa hari ini naik, ya mau bagaimana lagi kan harga kedelainya juga naik harga,†ujarnya kepada
Rakyat Merdeka, kemarin.
Saat ini, Yuli menghargai tempe seukuran 40 cm menjadi Rp 7.000 per buah dari sebelumnya Rp 6.000 per buah. Sedangkan harga tempe daun sepanjang sekitar 15 cm, dia naikkan menjadi Rp 2.500 per buah dari sebelumnya Rp 2.000 per buah.
Harga yang sama dia berlakukan pula untuk tahu. Yuli menyebutkan, saat ini harga kedelai menjadi Rp 10.000 per kg dari sebelumnya Rp 7.300 per kg.
Dia mengaku, kenaikan harga ini sangat mempengaruhi omzet penjualannya. Karena itu, Yuli berharap, pemerintah segera menstabilkan harga kedelai. Ia juga berharap, tidak terbelenggu berkepanjangan oleh harga kedelai yang tinggi.
Pemilik Warung Tegal (Warteg) di daerah Fatmawati, Jakarta Selatan, Wanto (42) juga sudah menaikkan harga mulai pekan ini. “Biasanya kalau makan tahu atau tempe, nasi dan sayuran seharga Rp 5.000 per porsi, setelah ada kenaikan bisa mencapai Rp 6.000 per porsi atau naik Rp 1.000. Kenaikannya cukup tinggilah untuk para pembeli,†katanya.
Wanto bilang, untuk porsi makan lainnya jika dicampur tempe dan tahu, juga dipatok naik. Misalnya menu tempe, telor, sayur dan nasi dari sebelumnya seharga Rp 8.000, kini naik menjadi Rp 9.000-Rp 10.000 per porsi.
Sementara pedagang gorengan, Fahrul (30) mengaku, masih mempertahankan harga dagangannya Rp 2.000 untuk tiga potong gorengan. ‘’Biarpun sedikit, lumayanlah masih dapat untung,’’ kata Fahrul. [Harian Rakyat Merdeka]