“Saya rasa logis mengatakan Indonesia sudah sangat siap memasuki pasar global kayu yang dipanen secara legal. Karena SVLK sebagai sistem telah dibangun cukup lama bahkan sejak 2003,†ungkap Menteri Kehutanan (Menhut) Zulkifli Hasan, kemarin.
Menurutnya, SVLK di Indonesia dikeluarkan oleh lembaga independen yang kredibel dan telah diakui dunia, yaitu Komite Akreditasi Nasional (KAN). Menurutnya, ada 14 lembaga independen penerbit sertifikasi pengelolaan hutan produksi lestari (LPPHPL) dan 12 lembaga verifikator legalitas kayu (LVLK).
Diakui, penerapan SVLK di Indonesia terus mengalami peningkatan. Tercatat sampai pertengahan Juli 2013, ada 124 unit pengelolaan hutan alam yang disertifikasi pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL) yang di dalamnya termasuk Verifikasi Legalitas Kayu (VLK). Lalu 701 unit industri kayu Indonesia juga telah mempunyai SVLK.
Ekspor kayu Indonesia adalah satu penyumbang terbesar devisa negara. Tercatat ekspor kayu olahan tumbuh 0,6 persen periode Januari hingga Mei 2013 menjadi 1,43 miliar dolar AS. Ia berharap, kayu asal Indonesia dapat diterima oleh negara lain.
“Adanya SVLK ini juga harus dibarengi dengan kesiapan negara pengimpor untuk menerima sepenuhnya produk kayu Indonesia yang bersertifikat legal tanpa hambatan apapun,†cetusnya.
Sekjen Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto mengatakan, sertifikat berbasis SVLK memiliki standar yang sangat tinggi. Oleh karena itu, ia mengatakan, produk berbasis kayu Indonesia tidak memerlukan sertifikat dari lembaga Forest Stewardship Council (FSC) untuk bisa diperdagangkan dan mengakses pasar.
“Kalau sudah memiliki SVLK, sebenarnya tidak perlu lagi sertifikat seperti FSC,†ujarnya.
Menurut Hadi, SVLK memiliki standar yang lebih tinggi sebab diterapkan secara wajib bagi seluruh produk kayu dari hulu hingga hilir. Berbeda dengan skema sertifikasi seperti FSC yang bersifat sukarela.
“SVLK lebih galak, sebab kalau tidak punya sertifikat itu, tidak bisa ekspor,†ucap Hadi.
Ketua bidang Hutan Tanaman Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Nana Suparna menyatakan, skema yang dikembangkan FSC sebenarnya tidak adil bagi Indonesia, khususnya untuk produk kayu dari hutan tanaman.
Pasalnya, lembaga itu mensyaratkan kawasan hutan tanaman tidak boleh dibangun setelah tahun 1994. “Di Indonesia hal ini tentu tidak bisa diterapkan karena banyak hutan tanaman justru baru dibangun setelah tahun 1994,†cetus Nan. [Harian Rakyat Merdeka]