Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan kepada
Rakyat Merdeka di Jakarta, Jumat (28/6).
Mamit mengatakan, selama ini pemerintah selalu beralasan kenaikan harga BBM karena anggaran subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terus membengkak.
“Membengkaknya anggaran subsidi BBM tidak lepas dari semakin besarnya volume impor minyak ke dalam negeri. Di sini letak kesalahan pemerintah dalam pengelolaan bisnis migas nasional,†beber Mamit.
Faktor lain yang membuat anggaran subsidi membengkak adalah tingginya harga beli minyak. “Memang saat ini mereka sudah tidak menggunakan cara trader lagi dalam membeli minyak. Mereka langsung beli ke perusahaan minyak nasional negara penghasil minyak. Namun, penentuan beli ke perusahaan mananya tetap masih ada yang mengaturnya,†ungkapnya.
Mamit menilai, Indonesia salah satu negara yang unik. Sebab, Indonesia mempunyai cadangan minyak yang cukup, namun mengimpor BBM. Sementara yang tidak punya minyak seperti Jepang dan Singapura, malah tidak mengimpor BBM.
Pengamat ekonomi Faisal Basri meminta BPK melakukan audit untuk pengadaan dan perdagangan BBM di Indonesia yang dikelola pemerintah. “Tak hanya BPK, tapi tim investigasi khusus mesti mengungkap soal inefisiensi di dalam mata rantai perdagangan BBM di kita,†ujar bekas calon gubernur DKI yang kalah di Pilkada ini.
BPK, kata Faisal, harus mengaudit proses pengadaan impor BBM mulai dari produksi hingga sampai di jual ke pom bensin. Dia juga menduga ada permainan mafia minyak dalam pengadaan BBM di Indonesia, karena pemerintah membeli minyak dengan harga mahal.
“Kenapa kita beli yang mahal. Padahal
rate harga minyak yang dikelola Venezuela dan Nigeria itu di bawah 100 dolar AS per barel. Kenapa pemerintah tidak beli yang itu saja yang murah. Pasti alasannya spesifikasi, kilang kita tidak cocok,†sindirnya.
Direktur Indonesia Resources Studies(Iress) Marwan Batubara mengatakan, pengaruh para mafia impor minyak sangat besar. Bahkan, mereka terus menghambat pembangunan kilang baru di Indonesia karena akan mengganggu bisnis impor BBM mereka.
Padahal, sejumlah negara sudah menyatakan kesiapannya untuk membangun kilang di dalam negeri. Namun, tidak ada satupun yang dieksekusi pemerintah. “Dulu alasannya biaya besar dan margin kecil. Sekarang beralih ke isu insentif,†kata Marwan.
Vice President Corporate Communication Pertamina Ali Mundakir menjelaskan, pemerintah telah mematok harga penjualan BBM di tanah air berdasarkan patokan minyak mentah Indonesia (
Indonesian Crude Price/ICP).
“Satu juta barel yang bisa diolah hanya 159 liter dan yang jadi BBM hanya 135 liter atau 85 persen. Dengan harga ICP 100 dolar AS per barel dan hasil pengolahan BBM tersebut didapatkan angka Rp 7.400 per liter sebagai biaya produksi,†terang Ali.
Biaya produksi tersebut, belum termasuk biaya pengolahan yang rata-rata mencapai 15 persen dari harga pokok BBM. Dengan begitu, harga jual melebihi biaya produksi.
Ali juga membantah Petral menjadi ajang pedagang minyak untuk meraup untung berlebihan dari aktivitas impor. Dia mengklaim, mitra dagang Petral harus perusahaan yang punya laporan keuangan tiga tahun berturut-turut.
Menurutnya, Pertamina akan terus memakai jasa Petral buat mengurangi risiko bisnis migas internasional, dibandingkan Pertamina sendiri yang mendatangkan impor BBM. Dikatakan, tudingan soal mafia minyak ini kerap dilontarkan tapi tidak pernah terbuktikan.
Sebelumnya, kalangan aktivis hukum Johnson Panjaitan dan kader PAN Ade Daud Nasution pernah nyamperin Kantor Petral di Singapura. Namun, mereka akhirnya menerima penjelasan soal proses tender BBM yang dilakukan anak usaha Pertamina.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik sebelumnya berjanji akan mempercepat pembangunan kilang minyak di Indonesia. Langkah ini penting dilakukan, agar stok BBM di dalam negeri bisa lebih lama atau lebih dari 21 hari. [Harian Rakyat Merdeka]