Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Effendi Sirajuddin mengatakan, saat ini Indonesia tercatat melakukan impor minyak 1,1 juta barel per hari (bph) untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Menurutnya, hal ini cukup mengkhawatirkan karena jika Indonesia terus melakukan impor minyak dan terjadi perang di Timur Tengah, maka kebutuhan minyak dalam negeri tak bisa dipenuhi sehingga akan menimbulkan kekacauan.
“Kalau perang Timur Tengah pecah, dalam hitungan minggu Indonesia langsung kolaps. Ini harus kita antisipasi,†ujarnya dalam Focus Group Discusion (FGD) yang digelar Aspermigas di Jakarta, kemarin.
Dia mengungkapkan, kemungkinan ke depan minyak di dunia akan habis sehingga hanya bisa untuk memenuhi kebutuhan Amerika dan China saja. Sedangkan negara pengmpor lain seperti Indonesia tidak kebagian. Karena itu, Indonesia tidak akan bisa keluar dari ketergantungan impor minyak jika cara mengelola migas tidak dilakukan dengan baik.
Saat ini Indonesia masih mengimpor minyak sebesar 900 ribu barel per hari (BPH). Alasannya, produksi minyak rata-rata hanya 840 ribu BPH, sementara bagian pemerintah adalah 560 ribu BPH. Sementara kebutuhan dalam negeri 1,4 juta BPH.
Berdasarkan data Dewan Energi Nasional (DEN), stok BBM Indonesia hanya 21 hari. Angka ini sangat rendah bila dibanding stok BBM Jepang yang mencapai 6 bulan. Kondisi ini sangat berbahaya bagi Indonesia ditambah tidak ada pembangunan kilang baru.
Bahkan untuk menghadapi lonjakan dampak kenaikan harga BBM, PT Pertamina harus melakukan impor BBM tambahan 2,2 juta barel. Tambahan BBM subsidi itu terdiri dari 1,2 juta barel solar atau setara 200 ribu liter dan 1 juta barel premium atau setara 100 ribu liter.
Vice President Corporate Communication Pertamina Ali Mundakir mengaku, pihaknya lebih memilih impor dibanding memproduksi sendiri karena biayanya lebih murah. Impor lebih murah karena kilang pengolahan di dalam negeri sudah tidak efisien.
Dia mengatakan, pihaknya mengalami kerugian Rp 400 per liter ketika memproduksi BBM pada kilangnya sendiri di dalam negeri.
“Jika dikalkulasikan untuk BBM bersubsidi, kami tahun ini taksiran ruginya sekitar Rp 300 miliar,†jelas Ali.
Dia juga sepakat sudah saatnya Indonesia memiliki kilang baru. Namun, saat ini kendala pembangunan kilang terletak pada penetapan
internal rate of return (IRR) atau tingkat pengembalian investasi.
Menurutnya, pembangunan kilang semestinya harus seperti membangun infrastruktur. Harus ada campur tangan pemerintah melalui dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membangun kilang.
“Kalau itu tidak ada dipastikan, pembangunan kilang akan selalu jalan di tempat,†ujarnya.
Direktur Perencanaan Investasi & Manajemen Risiko Pertamina Afdal Bahaudin mengatakan, pihaknya tidak akan bisa membangun kilang minyak sendiri tanpa bantuan APBN dari pemerintah.
“Kalau Pertamina yang biayai tidak akan kuat dan tidak akan bisa. Pertamina sendiri dari budget (anggaran)-nya tidak akan kuat,†aku Afdal.
Namun, karena ada ide dari pemerintah akan membiayai pembangunan kilang melalui APBN, menurut Afdal, Pertamina akan support karena pihaknya yang tahu teknisnya. Dia berharap, ada dukungan dari pemerintah seperti dulu kilang Balongan dan kilang Cilacap.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Edy Hermantoro memperkirakan, rencana pembangunan kilang minyak di Indonesia yang bekerja sama dengan investor asing, yaitu Kuwait Petroleum Corporation (KPC) dan Saudi Aramco akan sulit terealisasi.
Alasannya, kata Edy, hingga kini belum ada kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dengan kedua perusahaan tersebut terkait permintaan insentif kilang.
“Aramco sama Kuwait, mereka minta tax holiday, bebas bea masuk ada 10 item. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) agak berat memberikan. Belum bisa dibilang batal. Tapi kita berat buat kasih itu,“ ujar Eddy. [Harian Rakyat Merdeka]