Bapepam Mesti Tuntaskan Dua Kasus Besar Sebelum OJK Beroperasi

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/aldi-gultom-1'>ALDI GULTOM</a>
LAPORAN: ALDI GULTOM
  • Senin, 17 Desember 2012, 19:42 WIB
rmol news logo Para pihak yang bertanggungjawab menuntaskan sengketa kasus di Pasar Modal tidak boleh ikut serta dalam Dewan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang akan beroperasi tahun 2013.

"Mereka yang sebelumnya berasal dari Pasar Modal tidak bisa ikut dalam OJK. Kalau mereka tetap ada di dalam OJK justru membebani, karena figur-figur yang takut ambil keputusan begitu memberi kesan OJK nantinya bisa disetir secara politik dan independen," kata President Director Center of Banking Crisis (CBC), Achmad Deni Daruri dalam diskusi "Menyoal Transparansi dan Akuntabilitas Emiten dan Perusahaan Publik", di Hotel Ambara, Jakarta, Senin (17/12).

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dibentuk berdasarkan amanat UU 21/2011. OJK adalah lembaga independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan di Indonesia

Sebelumnya staf pengajar FEUI Ratna Wardani dalam seminar yang diselenggarakan Lembaga Kajian Ekonomis dan Pemberdayaan Masyarakat (LKEPM) itu mengungkapkan, sampai dengan Agustus 2012 terdapat 165 kasus pelanggaran peraturan perundangan yang ditangani di Bapepam-LK.

"Kalau dilihat jumlah pelanggaran itu dari 400 perusahaan di pasar modal, jumlah itu sangat banyak," terangnya.

Menurut dia, banyak perusahaan publik yang melantai di pasar modal tidak menerapkan transparansi informasi.

"Kalau di luar negeri disinformasi antara pemilik dan manajer. Tapi di Indonesia antara pemilik dan publik, termasuk di dalamnya pemegang saham minoritas," jelasnya.

Adapun Deni Danuri menilai indikator masih kurangnya standar Good Coorporate Governace (GCG) terhadap pasar modal terlihat pada kisruh yang terjadi pada kasus BUMI-Bakrie dan sengketa berkepanjangan di PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk.

Kalau kisruh BUMI terjadi antara pemegang saham besar (Bakrie, Samin Tan dan Rothschild), maka PT Sumalindo terjadi antara pemegang saham mayoritas (Putra Sampurna dan Hasan Sunarko) dengan pemegang saham minoritas (Dedy Hartawan Jamin).

Menurut Deni, contoh konflik dua perusahaan itu dan konflik-konflik emiten lainnya, patut dikuatirkan berdampak besar terhadap kepercayaan masyarakat secara luas kepada emiten dan perusahaan publik.

"Pada kasus PT Sumalindo Lestari Jaya, sengketa keduanya sudah sampai ranah hukum dan memiliki kekuatan tetap, tapi hingga kini konflik masih berlarut-larut antara pemegang saham mayoritas dan minoritas," tandasnya.

Kasus yang terjadi di  PT Sumalindo sendiri terkait dengan masalah keterbukaan informasi. Menurut Ali Irfan dari LKEPM,  perusahaan terbuka ini tercatat sebagai salah satu pemilik hutan tanaman industri dan pemegang hak penguasaan hutan terbesar.

Dalam laporan tahunan Sumalindo pada 2012, total mereka menguasai lebih dari 840 ribu hektar hutan alam dan 73 ribu hektar hutan tanaman industri (HTI). Dengan kapasitas produksi kayu lapis hingga 1,1 jutameter kubik per tahun, Sumalindo menguasai lebih dari 30 persen pasar Indonesia. Bahkan di tingkat dunia, ia termasuk lima besar produsen kayu.

Namun begitu, kata Ali, sudah lima tahun belakangan Sumalindo tak pernah membukukan keuntungan. Malahan harga saham perusahaan raksasa tersebut, yang pada 2007 senilai Rp 4.800, pada 2012 terjun bebas di kisaran Rp 100.

Dia juga mengisahkan Deddy Hartawan Jamin, pemilik 336, 27 juta saham atau 13,6 persen, segera menanyakan duduk soalnya kepada Direktur Utama Amir Sunarko bin Hasan Sunarko. Ketika itu, Direktur Utama hanya menjawab bahwa Sumalindo merugi karena dampak krisis ekonomi 2008. Meski demikian, langkah pemilik saham publik minoritas ini tak berhenti begitu saja untuk menemukan kebenaran.

Dia segera menelusuri kinerja perusahaan beserta neraca keuangannya. Deddy pun menemukan sejumlah kejanggalan.Pertama, pada laporan keuangan Sumalindo tercetak “Piutang Ragu-Ragu” tanpa ada penjelasan sedikit pun tentang siapa yang menerima utang tersebut.

Dijelaskannya,  Piutang Ragu-Ragu tersebut adalah pinjaman tanpa bunga sama sekali yang diberikan kepada anak perusahaan Sumalindo, yakni PT Sumalindo Hutani Jaya (SHJ).

"Jelas ini sangat mencengangkan. Sumalindo saja masih merugi terus tiap tahun, tapi kenapa justru memberi pinjaman tanpa bunga kepada anak perusahaan untuk kurun waktu yang lama," katanya. [ald]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA