Head Officer MNC Securities Edwin Sebayang menjelaskan, dua sektor yang paling terpeÂngaruh dengan kenaikan harga BBM subsidi adalah emiten masÂkapai penerÂbangan dan inÂdustri semen. MeÂnuÂrutnya, PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) akan terÂkena damÂpak paling beÂsar keÂnaikan harga BBM.
Kebijakan GIAA untuk tidak meÂlakukan lindung nilai (hedÂging) bahan bakarnya, menÂjadiÂkan biaya operasi perseroan akan membengkak. Hal itu akhirÂnya membawa pesimisme invesÂtor yang memiliki portofolio saÂham Garuda.
“Industri penerÂbangan, apalagi Garuda tidak hedging. Dengan frekuensi peÂnerbangan tinggi, maka biaya akan naik,†jelas Edwin di Jakarta, kemarin.
Emiten semen, PT Semen GreÂsik Tbk (SMGR), PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP) dan PT Holcim IndoÂnesia Tbk (SMCB), juga diprediksi renÂtan akan kenaikan harga BBM ApÂril. Pasalnya, selain faktor distriÂbusi, dalam memproduksi seÂmen, emÂiten itu juga masih terÂgantung paÂda BBM.
“Perusahaan semen kan mayoÂritas ada di Jawa dan mereka maÂsih banyak pakai BBM,†ujarnya.
Namun, bagi emiten yang meÂlaÂkukan antisipasi yang tepat, seperti halnya PT Indo TambangÂÂraya Megah (ITMG), dianggap masih layak dikoleksi.
“ITMG pada awal dia sudah antisipasi cost BBM yang naik 20 persen, dengan melakukan headÂging,†ucapnya.
Menyoal pengaruh kenaikan harga BBM terhadap IHSG, Edwin meyakini, jika kenaikan harga BBM berkisar Rp 1.500-2.000 per liter, IHSG akan berada di kisaran 4.150. SedangÂkan jika keÂnaikan harga BBM di atas Rp 2.000, akan memÂÂbahayakan perÂgerakan IHSG.
“Karena inflasi diprediksi meÂnembus 6,5 persen. Imbasnya suÂku bunga acuan oleh Bank IndoÂnesia (BI) atau BI Rate bisa setara dengan level itu,†jelas Edwin.
Pendapat berbeda disampaikan Analis Universal Broker SecuÂrities SaÂtrio Utomo. Menurutnya, rencana kenaikan harga BBM diprediksi tak akan berpengaruh signifikan terhadap pergerakan IHSG.
Ia mengatakan, selama ini isu kenaikan harga BBM justru memÂbalikkan tren yang ada. Hal itu bisa dilihat pada sejarah beÂbeÂrapa tahun belakangan ini.
“Kita tarik (pengalaman) dari 2003 dan 2005, IHSG malah menÂjadi naik. Padahal saat itu terjadi dua kali kenaikan harga minyak,†kata Satrio.
Satrio mengingatkan, pasar meÂÂmang memiliki trauma tersenÂdiri pasca kenaikan harga BBM di 2008. Namun, kenaikan itu terÂjadi pasca krisis sehingga memÂbuat pasar sedikit trauma.
“Ketika 2008, setelah kenaikÂan harga minyak, kita kena krisis jaÂdi kondisinya menjadi panik. Itu meninggalkan kesan trauma bagi pelaku pasar. Namun harus diliÂhat sejarahnya di mana IHSG selalu mendapat respons posiÂtif,†imbuh Satrio.
Satrio menambahkan, kenaikÂan harga BBM tahun ini memang tidak bisa dihindari. Pasalnya, harga minyak dunia terus melamÂbung.
Menurutnya, ada hal yang haÂrus diperhatikan pasar. Jika daÂlam jangka pendek kenaikan harÂga minyak dunia hanya berhenti di kisaran 115-120 dolar AS per baÂrel, maka dipastikan pasar suÂdah siap karena sesuai dengan preÂdiksi kenaikan pemerintah yang mencapai 40 persen dari anggaÂran harga minyak.
“Namun, jika harga minyak duÂnia di kisaran 125-130 dolar AS per barel dalam tiga bulan ke deÂpan, maka akan membuat tekaÂnan terhadap pemerintah. SeÂhingga opsi kenaikan harga BBM yang diambil pemerintah sudah diÂangÂgap tepat,†pungkas Satrio. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: