Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto di Polda Metro Jaya/RMOL
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto ternyata tidak wajib hadir dalam panggilan penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya pada Selasa (4/6).
Demikian dikatakan oleh kuasa hukum Hasto Kristiyanto, Patra Zen usai menemani kliennya itu menjalani pemeriksaan di Polda Metro Jaya.
“Pemeriksaan ini dilakukan oleh empat penyidik. Penyidik pada saat bertanya kepada Pak Hasto menyampaikan bahwa undangan hari ini adalah undangan klarifikasi yang tidak wajib dihadiri, undangan klarifikasi yang tidak wajib,” kata Patra.
Meski demikian, lanjut Patra, karena Hasto merupakan warga negara yang taat hukum maka kliennya itu tetap dating ke Polda Metro Jaya.
“Namun karena Pak Hasto ingin beri contoh bahwa Pak Hasto adalah warga negara (taat hukum), sekjen partai yang menaati hukum, maka hadir sekarang.” kata Patra.
Selama pemeriksaan terdapat tiga pasal yang disangkakan dalam laporan terhadap Hasto Kristiyanto.
Pertama Pasal 160 KUHP, yang menurut Patra merupakan pasal yang digunakan pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk menjerat para pemimpin Indonesia.
"Kedua Pasal 28 dan ketiga Pasal 45a UU ITE," kata Patra.
Patra mengatakan, penyidik justru meminta Hasto ke Dewan Pers terlebih dahulu untuk mengetahui duduk perkara karena yang dilaporkan adalah produk jurnalistik.
Pemanggilan Hasto berdasarkan pada 2 laporan polisi, yakni LP/B/1735/III/2024/SPKT/POLDA METRO JAYA tanggal 26 Maret 2024, dan LP/B/1812/III/2024/SPKT/POLDA METRO JAYA tanggal 31 Maret 2024. Masing-masing laporan tersebut dilayangkan oleh seseorang berinisial HA dan BS.
Hasto Kristiyanto diduga melakukan tindak pidana penghasutan dan atau menyebarkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memuat pemberitaan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat.
Hal itu dimaksud dalam Pasal 160 KUHP dan/atau Pasal 28 ayat (3) juncto Pasal 45A ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Kasus itu terjadi di Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor 1 (depan Gedung DPR/MPR) dan Gambir, Jakarta Pusat pada tanggal 16 Maret 2024 dan tanggal 19 Maret 2024.