Berita

Anggota Komisi I DPR RI, Taufiq R Abdullah, dalam webinar bertajuk "Wujudkan Pemilukada Damai: Stop Provokasi dan Hoax di Media Sosial"/Repro

Politik

Provokasi dan Hoax jadi Tantangan Demokrasi di Era Digital

SELASA, 14 MEI 2024 | 22:43 WIB | LAPORAN: AGUS DWI

Di era Revolusi Industri 4.0 di mana mesin yang ditemukan pada awal-awal revolusi industri sudah terintegrasi satu sama lain atau terhubung dengan internet, di masa inilah kita memasuki situasi penuh disrupsi.

Inilah era di mana perkembangan di masa lalu terhapuskan oleh kemajuan teknologi yang baru. Misalnya Artificial Intelligence dan robot yang mulai menggantikan peran manusia. Disrupsi juga terjadi di bidang ekonomi hingga pendidikan.

"Hari ini, semua orang sudah melek teknologi dengan berbagai strata. Hari ini kita kebanjiran informasi sehingga hampir semua informasi yang kita butuhkan tersedia melalui internet," ucap anggota Komisi I DPR RI, Taufiq R Abdullah, dalam webinar bertajuk "Wujudkan Pemilukada Damai: Stop Provokasi dan Hoax di Media Sosial" yang dikutip redaksi, Selasa (14/5).

Menurut legislator dari fraksi PKB ini, hal tersebut menjadi tantangan demokrasi di era digital. Ketika mendapat informasi yang berlebihan, masyarakat cenderung memproses informasi yang didapat melalui jalan pintas.

"Intinya, hari ini kita memasuki apa yang disebut dengan post truth, yaitu keadaan di mana kebenaran tidak didasarkan pada fakta, namun pada jaringan emosional orang-orang yang memiliki pendapat sama. Sehingga di era teknologi informasi kebenaran itu diabaikan, karena yang terpenting sekarang itu adalah bagaimana menginformasikan sesuatu," paparnya.

"Persoalannya, informasi itu benar atau tidak benar (bukan sesuatu yang penting). Kalau itu diinformasikan secara terus menerus maka itu akan menjadi sebuah kebenaran. Itulah yang disebut post truth," jelasnya.

Ditambahkan Taufiq, saat ini konten-konten bohong, hoax, dan konten-konten yang jahat bahkan, itu tersedia di online dan banyak orang yang lalu terjebak meyakini konten-konten yang sesungguhnya tidak benar. Kenapa lalu dikonsumsi?Karena walaupun informasi itu tidak benar tapi disampaikan oleh orang baik. Ini sekarang yang banyak terjadi.

"Orang baik, dengan niat baik, tapi menginformasikan sesuatu yang tidak baik," ujarnya.

Dari situlah akhirnya muncul sikap-sikap yang saling bertentangan antara orang baik, tentang sesuatu yang tidak baik. Persoalannya, sekarang ini tidak ada pihak yang bisa mengontrol informasi-informasi yang ada di online. ,'

"Pemerintah tidak berdaya, karena hari ini setiap orang bisa menjadi sumber informasi, bebas memproduksi apa saja. Ini situasi yang terjadi hari ini,:" tuturnya.
 
Kondisi ini diperparah oleh literasi digital yang rendah di masyarakat. Di mana masyarakat belum punya kemampuan untuk mendeteksi dan mengklarifikasi atau mencari mana yang benar dan mana yang salah.

"Intinya bagaimana kita sebagai bagian dari bangsa, bisa menjadi pionir-pionir yang mendamaikan. Perbedaan pilihan politik suatu hal yang wajar dalam demokrasi, tapi jangan sampai kita terlibat dalam percekcokan yang tidak perlu. Media sosial digunakan untuk hal-hal positif," pungkas Taufiq.

Sementara itu, praktisi Literasi Digital, R Wijaya Kusumawardhana, menyoroti sejumlah potensi kerawanan pemilu. Mulai dari adanya politik uang. Padahal, transaksi jual beli suara dalam pemilu dapat merusak legitimasi calon terpilih. Fanatisme berlebih dan pragmatisme politik adalah contoh dampak dari politik uang.

Selain itu, yang perlu dicermati adalah politisasi SARA. Masyarakat bisa diadu domba hanya karena masalah perbedaan atau keunggulan salah satu suku atau agama. Ini yang harus dihindari pada tahun ini, kata Wijaya.

Satu lagi adalah adanya berita palsu dan ujaran kebencian. Di dunia barat hal ini bisa memungkinkan, tapi kita yang memiliki nilai-nilai Pancasila harus bisa mencegah.

Lalu, apa saja yang perlu dilakukan untuk menciptakan pemilu yang guyub dan damai?

"Pertama, kita mencoba mengorganisir teman-teman, keluarga, mungkin relawan, untuk menyampaikan pesan perdamaian serta menjaga persatuan pascapemilu. Kedua, melakukan pendidikan multikultural atau kolaborasi secara aktif berbagai program untuk mengedukasi pemilih, khususnya tentang pesan-pesan pemilu damai," papar Alumnus S2 Monash University itu.

Meski demikian, tetap harus waspada adanya disrupsi, karena teknologi digital telah membuat pergeseran pola pikir dan pola tindak masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Dan ini perlu dilakukan edukasi secara bersama, secara sistematis, secara terstruktur, untuk mengatasi apa yang disebut banjir informasi.

"Sehingga penting untuk mengedukasi masyarakat agar mencari kebenaran, bukan mencari pembenaran," tegas Staf ahli menteri bidang ekonomi, sosial dan budaya Kemenkominfo sejak Mei 2023.

Terlebih lagi, hasil riset menunjukkan 42 persen masyarakat Indonesia percaya disinformasi yang tersebar di internet.

Untuk mencegah itu, salah satu caranya adalah melakukan percepatan literasi digital serta menjaga ruang digital yang sehat dan aman.

Ada 4 poin penting untuk menjaga ruang digital. Yaitu pembangunan infrastruktur digital yang merata dan dapat diakses seluruh masyarakat, membangun komunitas digital, memperkuat ekonomi digital, serta menumbuhkan masyarakat digital.

Adapun untuk mencegah kemunculan hoax dan ujaran kebencian, Wijaya memberi sejumlah tips bijak dalam bermedia sosial. Seperti santun dalam berkomunikasi, selektif menyebarkan informasi, tidak menyebar rahasia pribadi apalagi data pribadi, tertib mengatur waktu online, dan menghormati hak kekayaan intelektual.

"Kalau kita bisa melakukan lima langkah ini secara sederhana, InsyaAllah kita bisa mencegah provokasi dan hoax di media sosial," ungkapnya.

Lebih jauh, Wijaya juga meminta masyarakat untuk menjadi pemilih cerdas, khususnya saat akan memberikan suara pada Pilkada 2024 mendatang.

"Caranya adalah dengan memahami dan mencermati program kerja para kandidat, paham komitmen para kandidat, waspada provokasi yang bisa sengaja dimunculkan, menolak money politic, dan sadar makna dari pemilu adalah untuk membangun bangsa," tutup Wijaya.

Senada dengan Wijaya, founder Padasuka TV, Yusuf Mars, juga melihat bahwa Pemilu seringkali memperkuat polarisasi politik dalam masyarakat. Ketika opini publik terbagi secara tajam antara kubu-kubu yang berbeda, muncullah ruang bagi provokasi dan penyebaran hoax untuk menguatkan pandangan masing-masing pihak.

Hal ini didukung algoritma media sosial yang seringkali memperkuat filter bubble, di mana pengguna hanya terpapar pada pandangan yang sejalan dengan keyakinan mereka. Ini menciptakan lingkungan di mana hoax dan provokasi dapat dengan mudah berkembang yang kemudian terjadi pembenaran," jelas Direktur Eksekutif Indonesia Teknologi Forum (ITF) ini.

Yusuf berpandangan, penyebaran konten hoax secara masif ini terjadi berbarengan dengan adanya kemajuan teknologi internet dan komunikasi media sosial. Ditambah adanya fenomena post truth di mana batas antara kebenaran dan kebohongan menjadi tidak jelas.

"Di era post truth ini penyebaran konten hoax melalui internet atau media sosial umumnya ditujukan untuk menyerang kandidat dalam kontestasi pemilu," ujar Yusuf.

"Produk dan penyebaran konten hoax dalam bentuk isu politik dan SARA eskalasinya meninggi ketika proses pelaksanaan Pilkada untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta pada 2017," tambahnya.

Kenapa bisa terjadi? Karena kegaduhan di medsos ada kaitannya dengan kebebasan berpendapat pemilik akun. Lalu ada tuntutan untuk selalu eksis dan viral. Didukung pula oleh motif politik dan motif ekonomi dan lemahnya pemahaman tentang literasi digital atau memang mengabaikan, sehingga konten hoax dan provokasi seolah mendapat jalan lebar untuk eksis.

"Media sosial dinilai mampu memanipulasi fakta sosial dari sesuatu yang nyata menjadi kabur. Sebaliknya, juga mampu membawa fakta imajiner pada sesuatu yang tampak realistis." terangnya.

"Mari ciptakan masyarakat digital yang berbudaya Indonesia: Masyarakat yang antihoax dan toleran dan menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila," demikian Wijaya.

Populer

Demo di KPK, GMNI: Tangkap dan Adili Keluarga Mulyono

Jumat, 20 September 2024 | 16:22

Mantan Menpora Hayono Isman Teriak Tanah Keluarganya Diserobot

Jumat, 20 September 2024 | 07:04

KPK Ngawur Sebut Tiket Jet Pribadi Kaesang Rp90 Juta

Rabu, 18 September 2024 | 14:21

Kaesang Kucing-kucingan Pulang ke Indonesia Naik Singapore Airlines

Rabu, 18 September 2024 | 16:24

Fufufafa Diduga Hina Nabi Muhammad, Pegiat Medsos: Orang Ini Pikirannya Kosong

Rabu, 18 September 2024 | 14:02

Kaesang Bukan Nebeng Private Jet Gang Ye, Tapi Pinjam

Rabu, 18 September 2024 | 03:13

Makin Ketahuan, Nomor Ponsel Fufufafa Dicantumkan Gibran pada Berkas Pilkada Solo

Senin, 23 September 2024 | 09:10

UPDATE

Pramono Anung: Jakarta Butuh Pemimpin Pekerja Keras, Bukan Tukang Tebar Pesona

Minggu, 29 September 2024 | 02:07

Jupiter Aerobatic Team Bikin Heboh Pengunjung Semarak Dirgantara 2024

Minggu, 29 September 2024 | 01:53

Pertemuan Prabowo-Megawati Bisa Menguatkan Demokrasi

Minggu, 29 September 2024 | 01:19

Kapolri Lantik Sejumlah Kapolda Sekaligus Kukuhkan 2 Jabatan

Minggu, 29 September 2024 | 00:57

Gen X, Milenial, hingga Gen Z Bikin Komunitas BRO RK Menangkan Ridwan Kamil

Minggu, 29 September 2024 | 00:39

Kecam Pembubaran Paksa Diskusi, Setara Institute: Ruang Sipil Terancam!

Minggu, 29 September 2024 | 00:17

Megawati Nonton “Si Manis Jembatan Merah" Ditemani Hasto dan Prananda

Sabtu, 28 September 2024 | 23:55

Andrew Andika Ditangkap Bersama 5 Temannya

Sabtu, 28 September 2024 | 23:35

Aksi Memukau TNI AU di Semarak Dirgantara 2024

Sabtu, 28 September 2024 | 23:19

Gara-gara Topan, Peternak di Thailand Terpaksa Bunuh 125 Buaya

Sabtu, 28 September 2024 | 23:15

Selengkapnya