Berita

Ratna Sarumpaet/Net

Resensi

Empat Satu Satu

KAMIS, 03 NOVEMBER 2022 | 11:19 WIB | OLEH: RATNA SARUMPAET

SENIN, tanggal 10 Desember 2018, di Rutan Polda Metro Jaya, melalui televisi kecil yang tergantung di dinding sel, aku menyaksikan Presiden Jokowi berkeluh-kesah di TVOne. Beliau merasa sedih masyarakat menuduh beliau “Presiden Anti-Islam dan Presiden Yang Suka Mengkriminalisasi Ulama dan Lawan-lawan Politiknya."

Kilasan-kilasan peristiwa 411 di Monas awal November 2016 bertahap mengisi kepalaku, membuatku sedih menyaksikan Pak Jokowi, Presiden bangsaku, seolah sedang berbicara di hadapan masyarakat lain yang tidak tahu-menahu tentang Indonesia dan tidak tahu-menahu tentang peristiwa 411.

Padahal, dunia ikut menyaksikan pada Peristiwa 411 yang terjadi tanggal 4 November 2016 itu, enam juta rakyat Indonesia, mayoritas Islam, datang dari berbagai wilayah Indonesia, berkumpul di Monas ingin menyampaikan aspirasi pada Presidennya, dan Presiden yang mereka tunggu sepanjang hari itu, tidak berkenan.

Apa sesungguhnya yang terjadi di Istana? Kenapa Presiden Jokowi tampak seperti seorang kepala negara yang tidak tahu-menahu tentang kebijakan-kebijakan yang sedang berlangsung di tengah pemerintahan yang dipimpinnya?

Seluruh rakyat yang ada di negeri ini tahu malam itu (4 November 2016) Pak Jokowi ada di dalam Istana. Berada di Istana beliau sudah barang tentu mengetahui bahwa di depan istana itu jutaan rakyat sedang kocar-kacir ketakutan, terinjak-injak satu sama lain, dipaksa bubar oleh aparat keamanan dengan cara-cara berlebihan, tidak manusiawi, dan melanggar HAM.

“Tidak ada yang tahu kenapa peristiwa 411 yang sejak awal kaya akan peristiwaperistiwa kebersamaan dan solidaritas itu, indah, membahagiakan dan mengharukan, tibatiba saja dihentikan dengan cara tidak manusiawi dan berakhir menakutkan?”

Hari itu, sementara acara berlangsung tertib, di seputar Monas tampak orang-orang menyebar membagi-bagikan air minum dan makanan, sebagian diam-diam memunguti sampah. Di depan Gereja Katedral sederet ibu-ibu Katolik dengan senyum ramah membagi-bagikan air dan makanan bagi para peserta.

Lebih siang sedikit, sepasang mempelai berpakaian pengantin lengkap tampak hendak memasuki Katedral bersama keluarga dan para tamu-tamunya. Para relawan 411 bergerak cepat membuka jalan, lalu berbaris mengawal kelancaran perjalanan kedua mempelai beserta keluarga dan rombongan hingga memasuki Katedral.

Rangkaian peristiwa hangat, akrab, dan damai itulah yang mengejutkanku dan membuat akal dan logikaku sulit menerima ketika di ujung salat Maghrib yang juga berlangsung khidmat, sekelompok anak-anak muda, sekitar 40 orang, tak jauh dari kantor RRI tiba-tiba ribut. Tetapi, yang lebih tidak bisa diterima akalku adalah:

“Kenapa aparat merespons keributan anak-anak muda itu secara berlebihan, hingga dalam waktu singkat meluas dan jadi panas, membuat jutaan umat yang ada di lapangan Monas membubarkan diri dalam keadaan panik dan luar biasa ketakutan.”

Sebagai aktivis HAM, bagiku, peristiwa malam itu adalah peristiwa paling barbar yang pernah terjadi pasca-Orde Baru. Saat itu, aku merasa seolah di area Monas ada semacam embusan perintah yang tak tampak dan tak terdengar, yang membuat aparat yang bertugas merasa layak membubarkan jutaan rakyat yang saat itu berkumpul di Monas, dengan kekerasan yang tak semestinya.

Di atas seluruh kejadian di Monas malam itu, hal yang membuatku sangat sedih adalah: “Aku tak melihat seorang pun aktivis HAM yang mempersoalkan peristiwa itu sebagai pelanggaran HAM.” 
 
Aku berada tepat di depan gerbang Istana bersama Ustaz Opick dan kawan-kawan GSI (Gerakan Selamatkan Indonesia). Dikepung rasa takut, mulut terkunci, aku menyaksikan jutaan manusia kocar-kacir menghindari semburan gas air-mata yang disemburkan dengan kekuatan tak semestinya.

Ada yang berusaha melawan, ada yang melarikan diri, berjatuhan dan terinjakinjak. Di pihak lain, Habib Rizieq (dengan segala kontroversi/tuduhan) yang dialamatkan padanya, berdiri di atas mobil komando, di tengah semburan gas air mata yang disemburkan ke arahnya dan ke arah jutaan umatnya, berteriak-teriak mengingatkan umatnya agar menahan diri.

Ia tak sedikit pun tergoda menggunakan pengaruhnya sebagai pimpinan umat yang sangat populer dan dipatuhi, memerintahkan umatnya mengepung Istana (misalnya). Tidak. Meski Habib Rizieq bisa melakukan itu, dan akhir cerita di Monas malam itu bisa jadi berbeda sama sekali, beliau tidak melakukannya.


Tulisan Ini Mengutip Buku "Menatap Ke Depan", Karya Ratna Sarumpaet

Populer

KPK Kembali Periksa Pramugari Jet Pribadi

Jumat, 28 Februari 2025 | 14:59

Sesuai Perintah Prabowo, KPK Harus Usut Mafia Bawang Putih

Minggu, 02 Maret 2025 | 17:41

Digugat CMNP, Hary Tanoe dan MNC Holding Terancam Bangkrut?

Selasa, 04 Maret 2025 | 01:51

Lolos Seleksi TNI AD Secara Gratis, Puluhan Warga Datangi Kodim Banjarnegara

Minggu, 02 Maret 2025 | 05:18

CMNP Minta Pengadilan Sita Jaminan Harta Hary Tanoe

Selasa, 04 Maret 2025 | 03:55

KPK Terus Didesak Periksa Ganjar Pranowo dan Agun Gunandjar

Jumat, 28 Februari 2025 | 17:13

Bos Sritex Ungkap Permendag 8/2024 Bikin Industri Tekstil Mati

Senin, 03 Maret 2025 | 21:17

UPDATE

BRI Salurkan KUR Rp27,72 Triliun dalam 2 Bulan

Senin, 10 Maret 2025 | 11:38

Badai Alfred Mengamuk di Queensland, Ribuan Rumah Gelap Gulita

Senin, 10 Maret 2025 | 11:38

DPR Cek Kesiapan Anggaran PSU Pilkada 2025

Senin, 10 Maret 2025 | 11:36

Rupiah Loyo ke Rp16.300 Hari Ini

Senin, 10 Maret 2025 | 11:24

Elon Musk: AS Harus Keluar dari NATO Supaya Berhenti Biayai Keamanan Eropa

Senin, 10 Maret 2025 | 11:22

Presiden Prabowo Diharapkan Jamu 38 Bhikkhu Thudong

Senin, 10 Maret 2025 | 11:19

Harga Emas Antam Merangkak Naik, Cek Daftar Lengkapnya

Senin, 10 Maret 2025 | 11:16

Polisi Harus Usut Tuntas Korupsi Isi MinyaKita

Senin, 10 Maret 2025 | 11:08

Pasar Minyak Masih Terdampak Kebijakan Tarif AS, Harga Turun di Senin Pagi

Senin, 10 Maret 2025 | 11:06

Lebaran di Jakarta Tetap Seru Meski Ditinggal Pemudik

Senin, 10 Maret 2025 | 10:50

Selengkapnya