Berita

Irma Zulkifli Nasution/Net

Publika

Tragedi Irma Nasution

SELASA, 15 OKTOBER 2019 | 09:54 WIB | OLEH: DR. SYAHGANDA NAINGGOLAN

IRMA Nasution, istri Kolonel Hendi Suhendi, akhirnya berurusan dengan kepolisian RI dalam sangkaan kasus ITE, yang heboh belakangan ini. Irma dianggap memposting hal hal yang kurang beradab terkait penusukan Jenderal (purn) Wiranto di Pandeglang.

Kolonel Suhendi yang dipecat dari jabatan Dandim bangga dengan istrinya, tidak menyesal. "Saya bangga telah menjadikan istri saya, istri yang bebas merdeka," kata Kolonel Suhendi.

Irma Nasution telah mengukirkan namanya sebagai perempuan merdeka atau independen dalam zaman now ini. Dia telah menjadi perempuan kedua dengan nama yang sama dalam sejarah bangsa kita. Irma Nasution pertama adalah putri Jenderal Besar Abdul Haris Nasution, yang dibunuh tentara prokomunis, Oktober 54 tahun lalu.

Irma binti A. H. Nasution ditembak mati ketika dipeluk ibu asuhnya. Kekerasan politik di masa itu membuat dendam dan membunuh adalah suatu kebiasaan, juga terhadap perempuan dan anak-anak.

Istri tentara menurut keterangan resmi Kapuspen TNI, Mayjen Sisriadi, merupakan tanggung jawab tentara itu. UU No 25 tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer, menurutnya mengatur "segala perbuatan yang bertentangan dengan perintah kedinasan, peraturan kedinasan, atau perbuatan yang tidak sesuai dengan Tata Terrib Militer". Meskipun tanggung jawab tentara alias suami, Irma Nasution juga dinyatakan bertanggung jawab atas dirinya sendiri, sehingga Kepala Staf Angkatan Darat melimpahkan urusan Irma ke ranah sipil, alias kepada polisi.

Apa yang ingin kita pahami lebih dalam dari peristiwa ini? Pertama, jika postingan Irma "Jangan Cemen Pak..., kejadianmu tak sebanding dengan berjuta nyawa yang melayang" benar ditujukan pada Wiranto, sebagaimana juga postingan yang lebih nyata dari istri tentara lainnya istri (Peltu (AU) YNS dan juga istri Sersan (AD) Z), maka kita dapat melihat bahwa perempuan pendamping tentara di era ini sangat akrab dengan media sosial yang berlatar belakang politik.

Beberapa waktu lalu, Uli Panjaitan, anaknya Luhut Panjaitan dan istri tentara jenderal juga pernah terlibat adu argumen di medsos soal politik terhadap Erwin Aksa, ketua Golkar.

Mungkin ini sebuah keniscayaan bahwa masyarakat kita sebagai pengguna medsos tidak membedakan lagi perempuan atau laki atau istri tentara atau istri tukang sayur, semuanya sudah menjadi netizen aktif dalam virtual world.

Kedua, jika hukuman yang diterima Kolonel Suhendi berupa pemecatan dari jabatam Dandim dan dihukum kurungan atas perbuatan istrinya, lalu mengapa istrinya juga memiliki tanggung jawab atas perbuatannya? Ini mungkin pertanyaan standar buat militer. Tentu saja anggota keluarga militer yang bukan militer terhubung dengan hukum sipil. Namun, dalam perkara menyangkut politik negara, bukankah sebaiknya sanksi militer yang diterima suami cukup untuk itu?

Ketiga, bagaimana hak-hak perempuan vs laki-laki dalam lingkungan militer? Apakah memang kontrak kehidupan militer tetap seperti dahulu kala di mana isu emansipasi perempuan tunduk pada kepentingan militer itu? Atau adakah kebebasan perempuan dalam lingkungan keluarga militer yang masih mungkin dikembangkan terkait politik?

Pertanyaan ini penting dikembangkan mengingat karier politik perempuan saat ini menjadi agenda pokok bangsa kita. Tuntutan 30% kuota perempuan dalam politik hanya tercapai 20%. Itupun banyak diisi oleh perempuan-perempuan yang di luar maksud pemberdayaan kaum perempuan (just presence not essence).

Sehingga kita berharap istri-istri tentara bisa menjadi sumber rekrutmen ke depan. Kita menyaksikan misalnya istri SBY, alm. Ani Yudhoyono berhasil membangun partai besar dari nol. Bagaimana naisib bangsa kita jika istri-istri tentara kembali di bawah kendali suami 100%?

Penutup

Mencermati kasus Irma Nasution tentu penting dilakukan secara hati-hati. Irma Nasution ini bukanlah Irma Nasution binti A. H. Nasution yang masih kecil. Irma ini adalah istri kolonel, artinya istri dengan status sosial yang sangat tinggi.

Sebagai orang cerdas dan punya sensitifitas perempuan, mungkin Irma melihat kondisi politik saat ini yang tidak sesuai harapannya. Dan, bisa pula dia melihat Wiranto hanyalah politisi gaek, yang gagal mengendalikan stabilitas politik selama ini. Jadi bukan Wiranto eks tentara.

Dalam frame seperti ini tentu saja Irma tidak meletakkan pikirannya pada perlawanan vertikal terhadap kekuasaan, meskipun Wiranto berkuasa dalam kekuasaan sipil. Tentara sebagai alat negara, bukan alat kekuasaan, tentu saja tidak tunduk pada politik kekuasaan. Hal itu yang membuat tentara pasca reformasi masih dipisahkan dari proses dipilih maupun memilih dalam pemilu.

Namun, jika kita mencurigai pikiran Irma Nasution sebagai bentuk perwakilan pikiran-perwakilan istri tentara, maka sebuah gelombang besar keresahan kelompok militer terhadap keadaan politik saat ini, mungkin saja eksis. Sebab, hampir 5 tahun rezim Jokowi, stabilitas politik selalu berguncang, khususnya ketegangan kelompok sosial dan matinya kebebasan ekspresi masyarakat sipil.

Kita tentu prihatin atas kekerasan yang dialami Wiranto, semoga beliau lekas sembuh. Sekaligus berharap Wiranto bersimpati pada kematian 5 mahasiswa yang berdemonstrasi serta kematian para pemuda-pemuda dalam demonstrasi lainnya, terlebih kematian orang-orang Bugis dan Padang di Wamena beberapa waktu lalu.

Semoga kasus Irma Nasution ini menjadi jalan bagi kita mengetahui apa yang sedang terjadi dalam masyarakat kita.

Horas Irma, kalau orang-orang Kerawang menawarkan suamimu jadi Bupati Kerawang, anak-anak Medan pun siap menawarkan kamu jadi Walikota di Medan. Horas...

Penulis adalah Direktur Sabang Merauke Institute

Populer

Prabowo Perintahkan Sri Mulyani Pangkas Anggaran Seremonial

Kamis, 24 Oktober 2024 | 01:39

Karangan Bunga untuk Ferry Juliantono Terus Berdatangan

Selasa, 22 Oktober 2024 | 12:24

KPK Usut Keterlibatan Rachland Nashidik dalam Kasus Suap MA

Jumat, 25 Oktober 2024 | 23:11

UI Buka Suara soal Gelar Doktor Kilat Bahlil Lahadalia

Senin, 21 Oktober 2024 | 16:21

Akbar Faizal Sindir Makelar Kasus: Nikmati Breakfast Sebelum Namamu Muncul ke Publik

Senin, 28 Oktober 2024 | 07:30

Pemuda Katolik Tolak Program Transmigrasi di Papua

Rabu, 30 Oktober 2024 | 07:45

Promosi Doktor Bahlil Lahadalia dan Kegaduhan Publik: Perspektif Co-Promotor

Senin, 21 Oktober 2024 | 16:56

UPDATE

Badan Intelijen Pertahanan Bisa Dipertimbangkan Hadapi Ancaman Siber

Jumat, 01 November 2024 | 00:02

Pakar Hukum: Kerugian Suap Menyuap Jauh Lebih Besar

Kamis, 31 Oktober 2024 | 23:50

PNM Sukses Sabet Penghargaan Lewat Pemberdayaan Ultra Mikro

Kamis, 31 Oktober 2024 | 23:30

Ridwan Kamil Senang Ditraktir Makan Malam Prabowo

Kamis, 31 Oktober 2024 | 23:19

Ugal-Ugalan dan Tabrak Warga, Sopir Truk Diamuk Massa Di Tangerang Kota

Kamis, 31 Oktober 2024 | 23:00

Erni Aryanti Ditunjuk Jadi Ketua DPRD Sumut 2024-2029

Kamis, 31 Oktober 2024 | 22:22

Mendag Sebelumnya Juga Impor Gula, Kejagung Jelaskan Kenapa Era Tom Lembong Diusut

Kamis, 31 Oktober 2024 | 22:02

Jadi Tersangka Pembunuh Wanita Dalam Koper, Pengusaha Ini Sudah Sering Dilaporkan

Kamis, 31 Oktober 2024 | 21:39

Giant Sea Wall Penting untuk Perlindungan dan Peningkatan Ekonomi

Kamis, 31 Oktober 2024 | 21:16

AHY Dorong Akselerasi Program 3 Juta Rumah untuk Rakyat

Kamis, 31 Oktober 2024 | 21:02

Selengkapnya