Berita

Ilustrasi PWI/Net

Nusantara

Menerawang Di Kala Senggang

Disruptive Mindset
RABU, 05 SEPTEMBER 2018 | 11:46 WIB

ORGANISASI profesi tertua di Indonesia, persatuan wartawan Indonesia (PWI) sebentar akan memberlangsungkan kongres di Solo.

Di kota ini PWI lahir, dan akan disemangati kembali 27-30 September mendatang.

Di mana-mana menjelang kongres yang menarik adalah isu regenerasi kepemimpinan. Begitu juga dengan PWI.


Dalam setahun terakhir, isu calon ketua umum (Caketum) sudah mengerucut setidaknya empat nama. Semuanya senior, dan bolehlah disebut para Begawan. Ada Atal S Depari, Hendry Ch Bangun, Sasongko Tejo, Ahmad Munir, dan Teguh Santosa. Tak tertutup munculnya calon lain sesaat menjelang acara.

Sebagai organisasi tua, PWI tak pernah kesulitan menemukan kader-kader potensial. Selain berkualitas secara individu, juga memiliki kemampuan leadership yang sudah teruji. Per individu, semua calon hebat. Minimal dalam pandangan saya. Mungkin orang lain punya pandangan berbeda, dipersilakan.

Dalam beberapa periode kepengurusan, nama-nama itu telah membuktikan diri sebagai pribadi matang dalam organisasi.

Kapal besar yang namanya  PWI telah mampu berlayar jauh menembus gegap gempitanya dunia jurnalistik di tataran nasional, maupun internasional. Hanya satu kata yang bisa mewakili mereka itu. Keren!

Musyawarah Mufakat

Diakui atau tidak, menjelang kongres ada manuver-manuver sana sini dari masing-masing calon. Ini biasa dalam dinamika organisasi.

Lalu, itulah kenapa di Whatssapp Group (WAG) kemarin saya mengusulkan sebisa mungkin dicapai musyawarah untuk mufakat. Tentu bukan tanpa alasan saya menuliskan itu.

Pertama, adalah tantangan eksternal yang sedemikian berat. Kita semua paham, dunia media hari ini sepertinya memasuki periode sunset industry.

Menurunnya performa bisnis media cetak, mengandung konsekuensi menurunnya kualitas produk jurnalistik.

Menurunnya laba perusahaan menjadi kesejahteraan wartawan juga terganggu, dan lain sebagainya. Kedua, tantangan internal.

Kita paham bahwa peningkatan kualitas organisasi dari semua elemen harus dilakukan. Pembenahan struktur, sumber daya manusia (SDM), program, kerja sama, dan lain-lain membutuhkan perhatian lebih saksama, dan intens.

Sekolah jurnalisme, safari jurnalistik, uji kompetensi, adalah sekian dari banyak program untuk peningkatan kualitas SDM wartawan. Telah berjalan sangat baik, meski tetap harus diperbarui terus. Contoh kecil, materi UKW sudah sedemikian lama belum di-update, konten kurikulum, model-model kerjasama belum sepenuhnya sempurna.

Begitu besar tantangan kita ke depan, termasuk seperti yang saya sampaikan beberapa waktu lalu di WAG tentang datangnya periode abundance.

Di tengah situasi seperti ini, saya lalu teringat kisah sukses penjelajahan menuju Antartika. Seorang wartawan keren Caroline Alexander menuliskan kisah itu dalam buku yang sangat memukau, "The Man Who Took the Prize".

Ekspedisi itu melibatkan dua negara besar, yakni Inggris, dan Norwegia. Dua negara yang memiliki tradisi maritim yang hebat. Pertarungan itu, seperti pertarungan-pertarungan yang lain. Adalah soal reputasi dan citra diri. Tetapi lebih jauh dari itu, adalah pertarungan mindset.

Jika kita bersandar pada teori Christensen (I997), adalah pertarungan antara disruptive mindset , atau growth mindset dengan steady mindset atau dikenal juga sebagai fixed mindset.

Steady mindset diwakili oleh Inggris, yang memiliki reputasi sebagai negeri paling tangguh dalam dunia maritim.

 Amundsen vs Scott

Dalam ekspedisi The British Nasional Antarctic Expedition ini, Inggris dipimpin oleh Kapten Robert Falcon Scott (43) Seorang tentara pada angkatan laut Inggris.

Sedangkan Norwegia dipimpin seorang penjelajah kenamaan, Roald Engelbergt Gravning Amundsen (38).

Inggris, di bawah kapten Scott dengan kapal lautnya yang kokoh, ditemani 65 orang pilihan, membawa kuda poni, beberapa ekor anjing, dan satu ton logistik. Tujuh belas dari 65 itu turun menjelajahi Antartika.

Sementara, Amundsen membawa 5 orang pelaut untuk turun dari kapal menuju Kutub Selatan. Tetapi, tim kecil ini ditemani perawat anjing untuk beberapa anjing Husky, dan membawa 3 ton logistik.

Perjalanan penuh tantangan, dan tanggal I4 Desember 1911, Amundsen berhasil menancapkan bendera lebih dulu. " Wahai Rajaku, Haakon VII. Thank God". Semua anggota tim selamat!

Sedangkan Scott baru sampai lima minggu kemudian. Dan, tim ini kehilangan kapten dan empat anggotanya.

Kenapa Scott Kalah

Kenapa Scott kalah? Padahal dia datang dari tradisi militer Inggris. Pertama, salah berhitung. Meski kuda poni tangguh membawa beban, tetapi tidak saat di gurun es.

Kedua, mereka membawa anjing, tetapi tidak terlatih. Ketiga, Scott adalah kapten, yang tenda tidurnya saja dipisahkan dari tim. Dia harus dilayani! Ini adalah khas dan wajar dalam tradisi militer Inggris.

Sedangkan Amundsen, Pertama, tim kecil, lincah bergerak. Lalu kedua menyeleksi 52 anjing Husky yang diambil dari Islandia. Sangat terlatih.

Ketiga, logistik lebih banyak. Dan, keempat, Amundsen adalah orang yang mendengar.

Inggris bersandar pada steady mindset, Norwegia pada disruptive mindset.
Disruptive mindset semata-mata tidak bersandar pada pengalaman, tetapi lebih menekankan pada keterbukaan menghadapi tantangan masa depan. Berpikiran terbuka.

Sedangkan steady mindset semata mata bersandar pada pengalaman, dan pengetahuan masa lalu.

Amundsen sadar, tidak ada manusia sempurna. Kesempurnaan dilengkapi yang lain. Keempat rekannya adalah pribadi matang dengan profesionalisme masing-masing.

Nah, dalam sandaran sejarah itulah saya melihat masa depan PWI lewat kongres akhir bulan ini.

Bahwa Amundsen sukses karena dua bekerja sebagai tim, dan mendengar,mendiskusikan, menghargai, dan akhirnya karena dia kapten, maka dialah yang memutuskan.

Tantangan PWI ke depan, saya ibaratkan seperti Antartika. Kita semua belum tahu bagaimana masa depan media, dan wartawan.

Tetapi jika para Begawan kita ini bersikap seperti yang dilakukan tim Roald Engelbregt Gravning Amundsen (38), saya meyakini, eksistensi PWI terjaga dalam kemartabatan yang kuat.

Selamat berkongres!


Hendro Basuki
Wartawan senior, anggota PWI

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Bangunan di Jakarta Bakal Diaudit Cegah Kebakaran Maut Terulang

Senin, 29 Desember 2025 | 20:13

Drama Tunggal Ika Teater Lencana Suguhkan Kisah-kisah Reflektif

Senin, 29 Desember 2025 | 19:53

Ribuan Petugas Diturunkan Jaga Kebersihan saat Malam Tahun Baru

Senin, 29 Desember 2025 | 19:43

Markus di Kejari Kabupaten Bekasi Mangkir Panggilan KPK

Senin, 29 Desember 2025 | 19:35

DPP Golkar Ungkap Pertemuan Bahlil, Zulhas, Cak Imin, dan Dasco

Senin, 29 Desember 2025 | 19:25

Romo Mudji Tutup Usia, PDIP Kehilangan Pemikir Kritis

Senin, 29 Desember 2025 | 19:22

Kemenkop Perkuat Peran BA dalam Sukseskan Kopdes Merah Putih

Senin, 29 Desember 2025 | 19:15

Menu MBG untuk Ibu dan Balita Harus Utamakan Pangan Lokal

Senin, 29 Desember 2025 | 19:08

Wakapolri Groundbreaking 436 SPPG Serentak di Seluruh Indonesia

Senin, 29 Desember 2025 | 19:04

Program Sekolah Rakyat Harus Terus Dikawal Agar Tepat Sasaran

Senin, 29 Desember 2025 | 18:57

Selengkapnya