Gubernur Banten Nonaktif, Ratu Atut Chosiyah, dituntut 10 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum terkait keterlibatannya dalam kasus suap terhadap Akil Mochtar saat menangani sengketa Pilkada Lebak di Mahkamah Konstitusi.
Bagi aktivis anti korupsi, Dahnil Anzar Simanjuntak, Ratu Atut semestinya pantas dituntut hukuman maksimal, 15 tahun penjara. Hal ini merujuk pasal 6 ayat 1 huruf a dan pasal 13 UU 31/1999 jo UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam pasal tersebut disebutkan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit 150 juta dan paling maksimal 750 juta bagi setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.
"Berangkat dari situ, saya kira Atut pantas dihukum maksimal, yakni 15 tahun penjara dengan denda maksimal pula 750 juta," tegas Dahnil kepada
Rakyat Merdeka Online (Selasa, 12/8).
Dahnil mengungkapkan demikian karena fakta persidangan terdakwa lain dalam kasus yang sama, Tubagus Chaeri Wardana dan Susi Tur Handayani, sangat terang menunjukkan keterlibatan Atut dalam usaha menyuap Akil sebagai Hakim Konstitusi.
Menurut Dahnil, tuntutan maksimal terhadap Atut dalam kasus suap terhadap Akil ini penting sebagai peringatan keras. Bukan saja kepada Atut pribadi tetapi juga kepada seluruh politisi yang masih berniat berburu rente politik dalam kerja-kerja pelayanan publiknya.
"Hal ini sekaligus meminimalisir praktek politik dinasti yang rawan rente dan korupsi," sambung dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang, Banten ini.
Meski begitu, Dahnil berharap, tuntutan 10 tahun penjara dan denda pidana 250 juta oleh Jaksa itu bisa diikuti oleh akselerasi penanganan kasus korupsi lain yang diduga juga melibatkan Atut.
Makanya, Dahnil mendorong KPK untuk menjerat Atut dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Selain bisa mempercepat penyelesaian dugaan tindak pidana korupsi lainnya yang diduga dilakukan Atut, juga agar semua pihak yang terkait dengan praktek korupsi dinasti Atut baik di Banten maupun di pusat bisa diusut.
"Posisi Atut sebagai penyelenggara negara yang harusnya menjadi pelayan publik dan menjaga agar demokrasi berjalan dengan bersih, justru dikotori sendiri oleh Atut melalui praktek suap terhadap simbol hukum tertinggi di negeri ini, yakni Ketua MK," tandas Dahnil.
[zul]