Berita

Sembilan Jam di KPK (1)

SABTU, 04 MEI 2013 | 21:47 WIB | OLEH: BAMBANG SOESATYO

"Anggota Komisi III DPR Bambang Soesatyo pernah menjadi saksi di KPK untuk tersangka Irjen.Pol.Djoko Susilo. Pengalaman tersebut dia tuangkan secara lengkap dalam buku terbarunya SKANDAL CENTURY DI PUTARAN TERAKHIR yang akan beredar Juni 2013 mendatang. Berikut kisahnya".

Surat itu datang hari Selasa, 26 Februari 2013 tepat pukul 13.22 wib ke meja kerja saya lantai 12 gedung Nusantara I DPR RI. Kopnya menunjukan tiga huruf yang cukup menggentarkan:  KPK. Ya, saya mendapat panggilan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), guna dimintai keterangan sebagai saksi untuk tersangka Irjenpol Djoko Susilo dalam kasus pengadaan Simulator SIM. KPK meminta saya hadir dua hari kemudian, Kamis, 28 Februari 2013. 

Lumayan kaget juga rasanya, menerima surat seperti itu. Bukan apa-apa, saya kagum dengan reaksi cepat KPK, yang segera memanggil saya "dan sejumlah anggota Komisi III DPR yang lain" hanya beberapa hari setelah Muhammad Nazaruddin, bekas anggota Komisi III DPR dan bekas Bendahara Umum Partai Demokrat, menyebut-nyebut nama saya dan kawan-kawan sebagai pihak yang ikut terlibat dalam kasus pengadaan simulator mengemudi. Koruptor yang kerap menembak sana-sini ini, meracau usai diperiksa sebagai saksi di KPK dalam kasus Hambalang. "..yang terlibat Aziz Syamsudin, Herman Hery, Bambang Soesatyo," kata Nazaruddin, di KPK. Lho, Habis diperiksa kasus Hambalang kok teriaknya kasus Simulator?

Nazaruddin ini aneh. Saya kira, di negara beradab, keterangan asal bunyi dari terpidana sekelas dia sudah pasti dianggap sampah. Terpidana kasus korupsi Wisma Atlet tersebut seperti sedang membabi-buta. Entah apa--atau tepatnya entah siapa--yang memaksa Nazaruddin berkicau yang tidak-tidak.

Terpikir oleh saya untuk memperkarakannya ke polisi. Namun, mengingat kondisi Nazaruddin yang tengah berada dalam penjara, saya mau tak mau harus memperhitungkan lagi pikiran untuk membawa dia ke meja hijau. Buat dia, gugatan macam apapun tak akan ada artinya, karena statusnya yang kadung terpidana dan dipenjara. Tapi, saya menduga, Nazaruddin sedang 'dipakai' dan di iming-imingi. Maka, masuk akal bila ia mau disuruh ’bernyanyi’, sekali pun nyanyian itu tanpa fakta dan bukti hukum, sekadar untuk membuat nama-nama yang disebutnya itu merasa tertekan. Barangkali mereka berpikir, jika saya dan siapa pun diperlakukan seperti itu, maka akan panik, ketakutan dan tiarap, mengurungkan langkah kaki yang sejak awal diniatkan untuk terus menderap dalam perjuangan membongkar kasus Century. Mereka keliru. Saya dan beberapa teman seperjuangan di Tim-9, para inisiator kasus Century ini tidak gentar. Hanya ada dua kemungkinan terburuk yang bakal kita hadapi sebagai konsekwensi berhadapan dengan kekuasaan yang korup. Yakni, penjara atau kuburan.

Maka di hari itu, Kamis 28 Februari 2013, saya mendatangi Gedung KPK. Sedari pagi, sejak sebelum pukul 9.00 wib, saya sudah berada di dalam. Wartawan tidak tahu dan sempat menyangka saya mangkir alias tidak datang, ketika terperiksa lainnya tampak mendatangi gedung KPK.

Harus diakui, kesan pertama saya terhadap Gedung KPK tak ubahnya mereka yang belum pernah datang ke sana: angker, seram, dan dingin. Sejak awal masuk, saya mendaftar dan mengisi buku tamu. Semua perangkat telekomunikasi seluler diminta dan harus disimpan di loker. Protokoler yang agak menggentarkan.

Tapi itu hanya beberapa menit. Selebihnya, Gedung KPK ini tak ubahnya kantor pada umumnya. Petugasnya pun ramah-ramah. Justru, setelah itu saya lebih banyak terpana melihat gedung ini. Semua terasa amat sempit dan berantakan. Berkas dokumen teronggok di sana-sini, bahkan sampai memakan lorong dan koridor. Kesibukan terlihat kencang, semangat para karyawan juga terasa bertebaran, tapi harus diakui gedung ini sangat kumuh.

Saya dijadwalkan untuk dimintai keterangan di lantai 8. Belakangan saya tahu, pemeriksaan atas dua  anggota Komisi III yang lain, Azis Syamsuddin dan Herman Hery, yang juga berlangsung di hari yang sama, dilakukan di lantai 7. Benny K. Harman, mantan Ketua Komisi III DPR, semestinya juga diperiksa hari itu. Namun, setelah datang ke KPK, Benny meminta izin untuk diperiksa lain hari. Hari itu, Benny sudah punya agenda untuk terbang ke NTT, mengikuti kampanye pemilihan Gubernur di sana.

Kumuhnya Gedung KPK, mau tak mau, membuat saya merasa bersalah. Teringat lagi permohonan KPK untuk meminta anggaran gedung baru, yang sempat dipersulit dan terjadi tarik-menarik pendapat di DPR sejak periode 2004-2009. Untunglah, pada tahun 2012, DPR menyetujui permintaan KPK untuk membangun gedung baru dilahan kosong disebelah gedung KPK. Setidaknya, rasa bersalah saya agak berkurang.

Di lantai 8 Gedung KPK, saya dipersilakan menunggu di sebuah ruangan tempat khusus merokok. Mereka menyebutnya ruang tunggu. Ukurannya hanya sekitar 1,5 x 2 meter. Meja dan kursi di sana terlihat rusak, warna pelapisnya pudar. Secangkir kopi yang disuguhkan menemani saya melihat-lihat suasana. Di sebelah ruang tunggu itu, ada sebuah mushola kecil yang jelas tampak tidak nyaman. Selama menunggu itu, saya berbincang dengan penyidik KPK yang berasal dari instansi kejaksaan yang bertugas di Tim Satgas Century KPK. Pembicaraan mengalir begitu saja. Akrab dan hangat.

”Pak Bambang tak perlu khawatir,”  ujar pria yang terlihat sangat simpatik ini. ”Kami di KPK sudah bekerja amat serius. Sekadar informasi, kami sudah memeriksa puluhan orang pejabat BI. Kami sudah menemuka clue-nya,” katanya lagi.

Pertemuan dengan pria ini berlangsung tidak sengaja, ketika saya mendatangi Gedung KPK, 28 Februari 2013, guna dimintai keterangan sebagai saksi untuk tersangka Irjenpol Djoko Susilo dalam kasus pengadaan Simulator SIM. Dia Seorang jaksa muda yang ramah dengan sorot mata yang tajam dan cerdas.

Sejak awal datang ke gedung KPK, secara kebetulan pria ini satu lift dengan saya dari lobby menuju ke lantai 8 tempat khusus para penyidik bekerja. Ia mengangsurkan tangan, bersalaman, dan mengajak berkenalan. ”Saya senang bertemu bapak,” katanya.

Saya tersenyum, merasa tak kurang pula senangnya. ”Terimakasih.”

Dan ia melanjutkan, bercerita betapa ia menilai saya sebagai salah satu anggota DPR yang konsisten dalam mengusut kasus Bank Century. Sang penyidik berusaha meyakinkan saya bahwa kasus itu akan benar-benar ditanganani di KPK. ”Pak Bambang percaya, tidak?”  ujarnya. ”Pertanyaan saya kepada para pejabat BI juga sederhana saja.”

”Seperti apa?”

”Sangat mudah. Saya hanya bertanya, apa yang akan terjadi pada nasabah, jika Bank Century  ditutup atau dilikuidasi?”

”Jawaban mereka?”

”Tentu saja normatif.” Sang jaksa penyidik mencetuskannya sambil agak tersenyum. Saya suka mendengar nada suaranya. Khas, berusaha melafalkan setiap kata dengan jelas, seperti lazimnya para jaksa. Ia melanjutkan ceritanya, mengutip keterangan para pejabat BI bahwa peraturan membatasi penggantian dana nasabah bank yang dilukuidasi hingga maksimal Rp 2 miliar.

Saya belum paham arah penjelasan sang penyidik. ”Konsekuensinya?”

Ia lagi-lagi tersenyum lebih dulu. ”Pak Bambang,” katanya, ”jika Bank Century ditutup, maka selain pemilik bank, yang lebih panik adalah para nasabah yang memiliki uang besar di Bank Century.”

”Lantas?”

Diambilnya jeda sejenak, ”Tidak menutup kemungkinan, mereka, para nasabah ini, bikin manuver dan melakukan lobi politik untuk mengamankan Bank Century. Demi memastikan dana mereka aman dan tidak melayang--atau hanya diganti Rp 2 miliar.

Tentu saja ia benar. Sejak awal saya tahu, ada sejumlah nasabah pemilik dana jumbo di Bank Century, termasuk kalangan BUMN. Sebagai politisi dan pebisnis, saya tidak akan kaget jika mendengar para nasabah jumbo ini melakukan kasak-kusuk untuk mengamankan duitnya. Rasa-rasanya, jika ada nasabah yang menyimpan uang Rp 2 triliun di Bank Century, ia akan rela kehilangan separuhnya ketimbang hanya tinggal bersisa Rp 2 miliar. Ini semua pemikiran biasa. Yang luar biasa adalah, pemikiran itu sudah menjadi paradigma penyidik KPK.

”Jadi, Pak Bambang, ini sudah ada titik terang. Kami sudah menemukan mens rea-nya.”

Saya lagi-lagi terpana. Mens rea. Istilah hukum itu. Pengucapakan frase tersebut kembali mendorong ingatan saya pada perdebatan antara Gayus Lumbun, mantan Wakil Ketua Pansus Bank Century yang sekarang menjabat Hakim Agung, dengan mantan pimpinan KPK Chandra Hamzah, pada rapat gabungan Timwas Century, 21 September 2011. Ketika itu, Gayus menyampaikan kasus bailout Century harus segera ditingkatkan ke penyidikan karena sudah memenuhi unsur penal policy, yaitu adanya perbuatan melawan hukum (actus reus). Kemudian, pertanggungan jawab pidana karena adanya niat (mens rea), sanksi (punishment), dan perlakuan (treatment). Tapi Chandra Hamzah berkeras, KPK belum menemukan adanya niat atau mens rea, sehingga KPK belum bisa meningkatkan kasus tersebut ke penyidikan.
Istilah mens rea juga saya dengar kembali di bulan Ramadan 2012, dari Antasari Azhar, mantan Ketua KPK. Di penjaranya di Tangerang, Antasari mengisahkan rapat yang pernah diadakan Presiden dan sejumlah pejabat di istana, 9 Oktober 2008. Antasari mengatakan, rapat itu membahas soal ancaman krisis. Dalam rapat tersebut, memang tidak disebut nama bank yang akan di-bailout. Namun skema bailout sudah merasuk suasana batin peserta rapat. Presiden, ujar Antasari, menyatakan perlu mencegah terjadinya krisis seperti tahun 1998. “Kita perlu melakukan terobosan, terobosan global,’’ ujar Antasari, menirukan Presiden.

“Terobosan” yang dimaksud Presiden sepertinya adalah upaya mengatasi peraturan hukum demi kepentingan orang banyak. Antasari mengaku bisa memahami itu. Lantas, disebut-sebut kemungkinan penyuntikan dana terhadap bank tertentu. Di rapat itu, Antasari menegaskan, jangan sampai ada kerugian negara, bahkan satu rupiah sekalipun. Jika itu terjadi, tegasnya, ada tindak pidana. KPK akan menangkapnya. Menurut Antasari, rapat yang digelar beberapa pekan sebelum bailout untuk Bank Century ini sudah mengisi aspek atau mememuhi unsur mens rea tadi.

Advokat senior Adnan Buyung Nasution pun menyatakan setiap kebijakan yang memiliki niat jahat bisa dipidanakan. Kebijakan itu, ujar Adnan Buyung, bisa dipidana jika tujuan atau niatnya melawan hukum dan menguntungkan orang lain. Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Ilhamdi Taufik, juga berpendapat senada. Menurut dia, tindakan melawan hukum dalam sebuah kebijakan bisa dibuktikan dalam persidangan.

Namun dari keterangan Antasari dan para pakar hukum tadi, aspek mens rea lebih ditujukan kepada para pengambil kebijakan. Niat awalnya dari pengambil kebijakan. Sementara penyidik KPK yang berbincang dengan saya melihat, mens rea ada di para nasabah jumbo yang mencoba mempertahankan uangnya agar jangan sampai hangus. “Kenapa arah mens rea-nya dari sana?”

“Saya sadar betul,” ujar sang jaksa penyidik, “kalau saya tanyakan dari aspek kebijakan bailout, apalagi menyangkut soal teknisnya, para pejabat BI ini akan langsung bersikap defensif. Mereka sangat paham urusan teknis perbankan dan peraturannya. Akan sulit bagi KPK untuk mengusut  kasus ini.”

“Lalu?”

“Karena kami memulainya dari nasabah, pihak ketiga, mereka lebih santai dan mau bersikap terbuka. Hasilnya, bisa kami yakini bahwa bailout ini akhirnya lebih menguntungkan nasabah Bank Century. “

Saya terperangah. Kalimat tadi muncul dari mulut seorang penyidik KPK. “Jadi, bailout ini lebih untuk kepentingan nasabah, bukan untuk menyelematkan perekonomian negara?” Tanya saya dalam hati.

Senyum itu kembali terkembang. Dan sang penyidik melanjutkan, “jangan lupa juga, pak Bambang, kalau Bank Century ditutup, bagaimana nasib FPJP?”

Saya paham, sebagai pemberi pinjaman FPJP "yang diberikan dengan melanggar prosedur, ceroboh, dan hampir merugikan negara--BI tak ubahnya nasabah Bank Century. Jika Bank Century ditutup, dana FPJP yang lebih dari Rp 680 miliar tidak akan kembali lebih dari Rp 2 miliar. BI punya motif. Ini bisa jadi mens rea pula. Alih-alih menyelamatkan ekonomi negara, BI berusaha menyelamatkan Bank Century lebih untuk menyelamatkan uangnya sendiri.

Perbincangan ini kian asyik. Tapi, kami harus mengakhiri obrolan. Seorang petugas KPK menghampiri. Saya melirik jam tangan. Pukul 10.05 WIB. Sudah saatnya saya memberi keterangan sebagai saksi. (Bersambung)

Populer

Jokowi Kumpulkan Kapolda Hingga Kapolres Jelang Apel Akbar Pasukan Berani Mati, Ada Apa?

Kamis, 12 September 2024 | 11:08

Petunjuk Fufufafa Mengarah ke Gibran Makin Bertebaran

Kamis, 12 September 2024 | 19:48

Jagoan PDIP di Pilkada 2024 Berpeluang Batal, Jika….

Minggu, 08 September 2024 | 09:30

Slank sudah Kembali ke Jalan yang Benar

Sabtu, 07 September 2024 | 00:24

Soal Video Winson Reynaldi, Pemuda Katolik: Maafkan Saja, Dia Tidak Tahu Apa yang Dia Perbuat!

Senin, 09 September 2024 | 22:18

AHY Tuntaskan Ujian Doktoral dengan Nilai Hampir Sempurna

Kamis, 12 September 2024 | 17:12

Ini Kisah di Balik Fufufafa Dikaitkan dengan Gibran

Rabu, 11 September 2024 | 01:15

UPDATE

Ingin Klarifikasi ke Kaesang Soal Private Jet, ICW Diduga Dapat Intimidasi

Sabtu, 14 September 2024 | 22:03

Barongsai DKI Sabet 2 Medali Perak PON 2024

Sabtu, 14 September 2024 | 21:46

PPP Jawab Polemik Pemberangkatan Pengurus DPP Umrah

Sabtu, 14 September 2024 | 21:38

Perusahaan AC Perluas Pengenalan Solusi Sistem Tata Udara

Sabtu, 14 September 2024 | 21:26

Roy Suryo: Pemilik Akun Fufufafa Terkait Erat dengan Chilli_Pari hingga Raka Gnarly

Sabtu, 14 September 2024 | 21:24

Gegara Fufufafa, Nasib Gibran Terancam Pasca Jokowi Lengser

Sabtu, 14 September 2024 | 21:04

PKB Ikut Apa Kata Prabowo soal Kabinet

Sabtu, 14 September 2024 | 20:55

Prabowo Temui Presiden Vietnam Ucapkan Belasungkawa dan Bahas Kerjasama

Sabtu, 14 September 2024 | 20:25

Bertemu Menteri Palestina, GAMKI Dukung Solusi Damai Dua Negara

Sabtu, 14 September 2024 | 19:47

Zimbabwe Bakal Musnahkan Ratusan Ekor Gajah Akibat Krisis Pangan

Sabtu, 14 September 2024 | 19:27

Selengkapnya