Didi Irawadi Syamsuddin
Didi Irawadi Syamsuddin
RMOL.Apakah kebijakkan pengeÂtatan remisi bagi koruptor dan teroris sudah sesuai dengan atuÂran hukum yang berlaku?
Kebijakan pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM tenÂtang pengetatan pemberian reÂmisi dan pembebasan berÂsyarat telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang PeÂmasyaÂrakatan, PeraÂturan PeÂmeÂrintah (PP) Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan atas PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara PelaksaÂnaan Hak Warga Binaan PemaÂsyaraÂkatan, serta Peraturan Menteri HuÂkum dan HAM Nomor M.01.Pk.04-10 Tahun 2007 tenÂtang Syarat dan Tata Cara PelakÂsanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.
Yang patut digarisbawahi, PP dan Peraturan Menteri di atas menyebutkan pula bahwa pemÂbebasan bersyarat bagi narapiÂdana korupsi wajib memperÂhatiÂÂkan rasa keadilan masyaÂrakat. Saat ini, sebagian masyaÂrakat tak henti-hentinya menuÂntut pemeÂrintah agar secara konÂsisten dan sungguh-sungguh memberantas korupsi.
Beberapa anggota Komisi III DPR seperti Bambang SoeÂsatyo dari Golkar misalnya, mengÂanggap bahwa ada peraturan yang dilanggar?
Kebijakan pengetatan pembeÂrian remisi dan pembebasan berÂsyarat bagi koruptor tak meÂlanggar ketentuan dalam UnÂdang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Bahkan kebijakan itu selaÂras dengan keÂtentuan huÂkum internasional, yang diatur melalui konÂvensi internasional tentang UNCAC (United Nations ConÂvention Againts Corruption) Tahun 2003, yang telah diratiÂfikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Menurut UNCAC Tahun 2003, negara harus memperÂtimÂbangkan secara ketat pemberian pembeÂbasan bersyarat bagi narapidana korupsi.
Apakah dasar hukum terseÂbut cukup untuk menjadi dasar kebijakan?
Dasar hukumnya sudah ada tuh, kalaupun perlu ada penyemÂpurnaan dasar peraturan dalam pengambilan kebijakkan ini, tiÂdak harus dengan cara mengaÂjuÂkan interpelasi. Kalaupun sebaÂgian kawan-kawan di DPR meÂmandang perlu adanya perbaiÂkan aturan dalam penerapan kebijakÂkan tersebut tentu bukan di forum interpelasi, mari kita duduk berÂsama, kita benahi berÂsama. Gitu dong. Menteri HuÂkum dan HAM dan kawan-kaÂwan Komisi III dapat duduk berÂsama dan semÂpurnakan pengamÂbilan keputusan tersebut sesuai aturan. Bukan dengan interplasi.
Kenapa Anda anti-interÂplasi?
Karena interpelasi seharusnya digunakan untuk kebijakkan yang gawat, misalnya harga sandang pangan tidak terkira dan tidak terjangkau jutaan orang, boleh kita melakukan interpelasi. Atau misalnya fasilitas kesehatan publik menyangkut obat-obatan tiba-tiba sulit didapat, atau penÂdidikan secara nasional jauh dari haÂrapan atau terpuruk itu boleh, nah itu silakan interpelasi.
Jadi interÂpeÂlasi peÂngeÂtaÂtan remisi yang diajukan beberapa anggota DPR tersebut tidak tepat?
Kalau interpelasi ini untuk segelintir kepentingan koruptor, jelas tidak tepat forumnya. KaÂrena itu menyangkut kepentingan yang sempit. Sebagai rakyat kita juga pasti bertanya dong, selama ini interpelasi dimanapun untuk kepentingan umum.
Pendukung interpelasi mengÂanggap interpelasi untuk peneÂgakan hukum bukan dukung koruptor...
Jangan tanyakan hal ini kepada saya, karena itu kan alasan mereka. Tapi kalau kita tanya ke mayoritas publik Indonesia. LaÂkuÂkan polling hari ini, mayoritas rakyat Indonesia pasti tidak berÂkenan jika hak interpelasi hanya sekadar untuk segelintir orang yang bermasalah dengan hukum.
Itu kan alasan mereka, silakan saja mereka ngomong begitu, tapi kenyataanya bagaimana. Silakan wawancarai LSM-LSM dan para penggiat antikorupsi dan sebaÂgian besar tokoh masyarakat yang mempunyai komitmen memeÂrangi korupsi, mereka tidak akan mau sekadar kepentingan sempit para koruptor ini dibawa ke hak interpelasi koruptor.
PTUN mengabulkan gugaÂtan terhadap pengetatan remisi tersebut...
Putusan itu terhadap tujuh orang, ya kita ikuti alur PTUN. Dan gugatan ini kan hanya berÂdampak pada tujuh orang, tetapi kebijakkan atau semangat peÂngetatan itukan tentu tidak boleh surut sampai kapan pun.
PTUN gugatan terhadap tujuh orang yang sebelumnya menÂdapat hak dari Kementerian sudah diakui pemerintah. GugaÂtan itu menyangkut orang-orang sebelum kebijakkan menteri yang baru dan itu sudah dikoreksi, jadi mereka tentu dilepaskan. Tetapi kebijakkan ini selanjutnya nggak boleh terhenti dong.
Kalau dari kaca mata Hak Asasi Manusia, apakah tepat jika pengetatan ini dianggap melanggar HAM?
Tidak tepat dong. Kalau kita lihat deklarasi Hak Asasi ManuÂsia, HAM adalah hak untuk hiÂdup, hak untuk mendapatkan keÂmerdekaan berpendapat, memeÂluk agama, mendapat pendidikan, hak-hak yang melekat sejak dilahirkan.
Sedangkan remisi kan hadiah dari negara, masa hak asasi maÂnusia. Remisi ini kan kebijakan negara, kalau kepentingan korupÂtor lalu dikatakan hak asasi bisa marah rakyat. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01
Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06
Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
UPDATE
Sabtu, 27 Desember 2025 | 17:52
Sabtu, 27 Desember 2025 | 17:43
Sabtu, 27 Desember 2025 | 16:32
Sabtu, 27 Desember 2025 | 16:13
Sabtu, 27 Desember 2025 | 15:26
Sabtu, 27 Desember 2025 | 15:07
Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:52
Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:24
Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:07
Sabtu, 27 Desember 2025 | 13:41