Bagir Manan
Bagir Manan
RMOL.Ketua Mahkamah Agung yang terpilih, Hatta Ali, diharapkan lebih hebat dari pimpinan MA sebelumnya. Sebab, ke depan lebih banyak tantangan.
“Kinerjanya harus lebih baÂgus, supaya tidak menjadi buÂlan-bulanan kritik. Ketua MA yang dulu-dulu kan dianggap pers, pengamat, dan publik, tidak beÂcus, sehingga menjadi bulan-buÂlanan,†ujar bekas Ketua MA, Bagir Manan, kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Seperti diberitakan, Rabu (8/2), Hatta Ali terpilih sebagai Ketua MA setelah mengungguli kandiÂdat lainnya dengan angka mutlak, sehingga pemilihannya satu puÂtaran saja.
Hatta Ali mendapat 28 suara, Abdul Kadir Mapong 4 suara, Mohammad Saleh 3 suara, dan Paulus Lotulung 1 suara. Ada 3 suara tidak sah.
Bagir Manan selanjutnya meÂngaÂtakan, permasalahan di lemÂbaga yudikatif itu begitu beÂsar, terutama penanganan perÂkara yang dinilai mengabaikan rasa keadilan masyarakat.
“Ketua MA yang baru harus beÂkerja maksimal, sehingga kiÂnerÂjanya bagus, masyarakat puas,’’ kata Ketua Dewan Pers itu.
Berikut kutipan selengkapnya:
Apa pemilihan itu sudah deÂmokratis?
Kita bersyukur Pak Hatta Ali sudah terpilih secara demokratis. Publik bisa melihat proses peÂmiÂlihannya yang memang sangat demokratis.
Apa Hatta Ali sanggup meÂnuntaskan begitu banyak perÂmasalahan di MA?
Makanya saya bilang harus leÂbih bagus dari ketua MA seÂbeÂlumÂnya. Supaya tidak menjadi bulan-bulanan pers dan peÂngamat.
Calon yang lain bagaimana?
Itu juga bagus. Tapi kan Pak Hatta Ali sudah dipilih secara deÂmoÂkratis memimpin MA ke depan.
Apa Hatta Ali mampu meÂnguÂrangi penumpukan perÂkara yang saat ini lebih 8.000?
Semangatnya antara lain harus ke sana. Penumpukan perkara itu kan bukan hal baru. Ini sudah terjadi sejak 30-40 tahun lalu. Di beberapa negara hal seperti ini pun terjadi.
Ketika para bekas hakim agung mengomentari itu, mereka lupa di saat mereka menjadi hakim agung sudah terjadi penumpukan perkara. Tapi ke depan, penumÂpukan perkara itu harus tetap diselesaikan.
Apa masalah utama sehingga terjadi penumÂpuÂkan perkara?
Masalahnya tidak dibaÂtasi perÂkara yang maÂsuk untuk kasasi. Publik yang tidak puas dengan puÂtusan pengaÂdilan yang lebih rendah, bisa mengaÂjukan kasasi apapun perÂkaranya.
Kebanyakan neÂgara melakuÂkan pemÂbaÂtasan, seperti Inggris, AmeÂrika Serikat. Bila ada negara yang tiÂdak ada pemÂbatasan perÂkara seÂperti Prancis, ya terjadi penumÂpukan perkara.
Anda berpendapat perlu diÂbatasi?
Ya. Tidak semua perkara harus sampai ke MA, ini untuk efiÂsiensi. Selain itu harus ada meÂkanisme misalnya ada satu koÂmite di MA yang menyeleksi perÂÂkara. Apakah perÂkara itu layak diÂperiksa di MA atau suÂdah diÂanggap cukup, ini seperti di Inggris.
Di AS juga beÂgitu, kalau empat hakim agung menyatakan putuÂsan itu sudah tepat, ya tidak perlu diperiksa lagi, kembalikan saja. Ada banyak cara dan model, tapi tetap harus diatur dalam undang-undang.
Bagaimana deÂngan puÂtuÂsan hakim yang diÂÂniÂlai beÂlum meÂmeÂnuhi rasa keaÂÂdilan masyaÂrakat?
Memang benar ada beberapa putusan yang dianggap tidak layak. Semestinya tidak begitu putusannya. Kita gunakan mekaÂnisme saja, bagaimana merubah putusan itu jadi layak.
Maksudnya?
Kan masih ada upaya hukum. Misalnya masih ada Peninjauan Kembali (PK). Mari kita bersama memberi perhatian, sehingga PK itu memutus perkara dengan rasa keadilan yang umum.
Apa lagi yang bisa dilakuÂkan?
Kita dapat juga melakukan ekÂsaminasi putusan. Itu bisa memÂberikan petunjuk, di sini loh keÂtidaktepatannya.
Bagaimana dengan sisÂtem kaÂmar yang sudah diterapkan di MA?
Di dunia, tidak banyak negara yang menggunakan sistem ini. Salah satunya Belanda. Ada yang keliru dengan sistem kamar itu. Seolah-olah ketika kita keÂcemÂÂplung di sana tidak bisa pinÂdah lagi.
Di Belanda, tiap tahun diputar hakimnya. Tadinya di kaÂmar satu, dipuÂtar ke kamar dua dan seÂbaÂgaiÂnya. Sebab, pada dasarnya haÂkim agung itu memiliki peÂngetaÂhuan yang sama.
Apa penerapan sistem kamar itu bermasalah di sini?
Benar. Perkara perdata itu lebih dari 70 persen dari jumlah perÂkara yang masuk. Sebagian besar perkara menumpuk di kamar keperdataan. Sedangkan di kamar lain, seperti militer dan admiÂnisÂtrasi negara, sedikit sekali perÂkaranya. Hakimnya kebanyaÂkan nganggur.
Dengan sistem ini menamÂbah penumpukan perkara dong?
Ya, pada bidang tertentu, seÂperti bidang perdata. Sebab, jumÂlah hakim terbatas, sedangkan perkara yang ditangani banyak. Di Perancis tidak ada sistem kaÂmar, tapi bagus. Begitu juga di Amerika Serikat tiap perkara diadili semua hakim agung yang berjumlah 9 orang.
Ini kan soal policy atau keÂbijakan, bukan ideologi. Saya tidak setuju dibuat sistem kamar, karena bisa menambah penumÂpukan perkara. Saya berpendiÂrian, sistem kamar bukan doktrin dan ideologi, bukan sesuatu hal yang menyangkut sistem hukum, tapi kebijakan. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01
Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06
Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48
Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
UPDATE
Minggu, 28 Desember 2025 | 13:46
Minggu, 28 Desember 2025 | 13:17
Minggu, 28 Desember 2025 | 13:13
Minggu, 28 Desember 2025 | 12:45
Minggu, 28 Desember 2025 | 12:27
Minggu, 28 Desember 2025 | 12:02
Minggu, 28 Desember 2025 | 11:45
Minggu, 28 Desember 2025 | 11:39
Minggu, 28 Desember 2025 | 11:33
Minggu, 28 Desember 2025 | 11:05