Menurut pengamat politik dari Motion Cipta (MC) Matrix, Wildan Hakim, kegagalan PKS menjadikan Anies sebagai calon Gubernur Jakarta memberikan pelajaran penting bagi partai kader tersebut. Di mana, elektabilitas bukan lagi variabel paling menentukan dalam mencalonkan seseorang dalam kontestasi calon kepada daerah. Ada variabel lain, yakni koalisi politik nasional yang harus dijaga demi keberlangsungan hidup partai di pemerintahan.
"Keputusan PKS untuk bergabung ke dalam KIM Plus sangat dipengaruhi oleh pragmatisme berpolitik. PKS dipaksa patuh dengan aturan main yang berlaku di KIM Plus. Daripada berkonflik, PKS akhirnya memilih berkompromi," kata Wildan kepada Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (29/8).
Wildan menilai, kompromi politik antara pengurus PKS dengan KIM Plus yang menjadikan sosok Anies dianggap tidak penting lagi. Kemudian muncul saran dari politikus PKS agar Anies mendirikan parpol sendiri untuk bisa menjadi RI-1.
"Nasibnya mas Anies ada sedikit kesamaan dengan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Keduanya dianggap bukan tokoh politik yang penting lagi setelah dinyatakan kalah. Dulu, Ahok kalah dalam Pilgub DKI Jakarta 2017. Sementara, Anies kalah dalam Pilpres 2024. Setelah kalah, keduanya bukan lagi sosok yang dianggap diperhitungkan," terang Wildan.
Dosen ilmu komunikasi Universitas Al Azhar Indonesia ini melihat, dinamika politik yang terjadi menjelang Pilgub Jakarta memang memperlihatkan ada upaya serius dari PKS untuk mengusung Anies bersama Sohibul Iman sebagai pasangan cagub dan cawagub Jakarta. Namun, kompensasi politik yang ditawarkan KIM Plus dinilai lebih menguntungkan bagi PKS, karena itulah sosok Anies bukan lagi variabel yang penting.
"Akhirnya, PKS dengan mudah berkompromi untuk mendukung Ridwan Kamil dan Suswono. Secara kebetulan, sosok Ridwan Kamil ini juga dinilai pas dari sisi keislaman yang diusung PKS. Meski terjadi subsitusi figur, namun tetap dinilai pas. Karena itulah PKS putar haluan dan meninggalkan Anies Baswedan," pungkas Wildan.
BERITA TERKAIT: