Lagi-lagi hasil survei yang dijadikan alasan untuk melakukan penggusuran. Golkar oleh hasil survei Litbang Kompas pada Mei 2023 ditempatkan di posisi ke-4 dengan elektabilitas 7,3 persen. Sementara Lembaga Survei Indonesia (LSI) turut menempatkan partai beringin di posisi 4 dengan elektabilitas 6 persen. Lembaga survei tampak kompak ingin mengatakan bahwa Golkar sedang dalam bahaya.
Klise. Berdalih partai sedang dalam keadaan darurat, lalu ingin tampil menjadi pahlawan kesiangan dan menjanjikan bisa mengerek partai dari jurang kehancuran. Begitulah peran yang sedang dimainkan Luhut Binsar Pandjaitan, yang belakangan gayanya diikuti Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia.
Padahal sudah banyak orang mulai tidak peduli dengan hasil survei. Penggiringan opini untuk suatu kasus tertentu atau untuk mengendorse orang tertentu sudah dengan mudah bisa dibaca publik. Sementara sebagian besar survei banyak yang meleset.
Ambil contoh PAN. Setiap survei muncul, partai berlambang matahari ini tidak pernah mencapai angka 4 persen. Artinya, jika survei itu benar, maka PAN tidak lolos di Senayan. Tapi fakta membuktikan bahwa PAN selalu lolos parlemen.
Contoh kedua adalah Kiai Maruf Amin. Jelang Pilpres 2019, nama mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu tidak pernah terdengar di dalam survei. Beragam simulasi yang dibuat lembaga survei, nama Kiai Maruf tidak pernah dilirik. Tapi fakta membuktikan, dia bisa membuat Jokowi kembali menang untuk periode kedua.
Jadi masihkah pantas hasil survei dijadikan patokan untuk mengkudeta partai? Atau ada maksud lain di balik upaya tersebut? Artinya bukan lagi menyelamatkan partai sebagai tujuan melainkan memang ingin menguasai partai.
Apa tujuannya? Tentu saja pilpres yang ada di depan mata.
Posisi Airlangga SeksiAirlangga Hartarto merupakan ketua umum partai yang memiliki posisi paling seksi. Partainya memiliki kursi nomor dua terbesar di parlemen. Artinya, hanya butuh tambahan satu partai lagi (kecuali PPP), Golkar bisa berpartisipasi di Pilpres 2024.
Airlangga bisa saja membuat poros keempat bersama PAN. Dirinya sebagai capres, sementara Zulkifli Hasan atau tokoh lain yang didorong PAN dijadikan cawapres. Peluang menang terbuka, semua tergantung bagaimana mesin partai bekerja dan program-program yang ditawarkan.
Airlangga juga bisa menawarkan dirinya sebagai cawapres. Untuk Prabowo, Ganjar, maupun Anies. Prabowo mungkin sulit karena ada Cak Imin yang sudah investasi duluan. Sementara untuk Ganjar, chemistry PDIP tampak belum bisa berbaur dengan Golkar. Masih terbayang perseteruan masa lalu.
Lalu bagaimana dengan Anies? Airlangga dan Golkar relatif lebih cair dan berpeluang menjadi cawapres. Surya Paloh yang pernah menjadi kader Golkar adalah tali penghubung. Selain itu, senior Partai Golkar, Jusuf Kalla juga bisa menjembatani agar Airlangga berlabuh.
Paling yang akan terusik adalah Demokrat karena impian menjadikan AHY sebagai cawapres terkubur. Tapi jika Demokrat tetap berkomitmen, maka Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) punya peluang lebih besar untuk menang.
Bisa jadi ini juga yang sedang terbaca oleh “penguasa”. Mereka tidak ingin Golkar bergabung ke KPP. Atau bisa juga karena manuver-manuver Airlangga untuk memperkuat Golkar mulai ditakuti.
Jurus Pecah Belah PartaiSejak awal 2014, pecah-belah partai sudah mulai terjadi. Partai Golkar dan PPP merasakan betul bagaimana pucuk pimpinan mereka digoyang. Kemudian setelah huru-hara terjadi, partai masuk lingkaran penguasa. PAN hampir bernasib serupa. Hanya saja mereka lebih lihai dalam bermanuver.
Kini jelang Pilpres 2024, kejadian serupa terjadi. Mula-mula Demokrat yang diusik oleh kelompok tandingan yang dipimpin Moeldoko. Ceritanya sama, sekelompok orang berkumpul mengatasnamakan Demokrat lalu mendaulat Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) itu sebagai ketua umum.
Langkah selanjutnya, selisih dibawa ke jalur hukum. Terus berlarut hingga mengganggu mesin partai bergerak. Seolah memberi kuncian untuk tidak macam-macam. “Penguasa” tampak mengamini apa yang dilakukan pegawai utamanya itu. Sebab tidak ada teguran terucap untuk aksi yang ugal-ugalan tersebut.
Golkar seperti menjadi target selanjutnya. “Penguasa” merasa dengan memimpin langsung Golkar, maka beringin tidak akan membelot dan mendukung antitesa mereka yang menghendaki perubahan.
Dua menteri langsung dikerahkan. Pertama, Luhut Binsar Pandjaitan yang kini menjabat sebagai Ketua Dewan Penasihat Golkar. Kedua, Bahlil Lahadalia yang tiba-tiba mengaku kembali sebagai kader Golkar, walau kini diragukan apakah dia memiliki kartu tanda anggota (KTA) atau tidak.
Apakah mereka akan berhasil mengambil alih Golkar. Atau Golkar yang kini solid memiliki kesadaran bahwa kekisruhan hanya akan membuat partai menjadi melorot. Dengan kesadaran itu kemudian semua kompak melawan.
BERITA TERKAIT: