Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Dedolarisasi dalam Perdagangan China-Brasil, Ancaman bagi Dolar AS?

OLEH: OKTA HERLINA PUTRI*

Kamis, 06 Juli 2023, 12:57 WIB
Dedolarisasi dalam Perdagangan China-Brasil, Ancaman bagi Dolar AS?
Ilustrasi dolar Amerika Serikat/Net
PADA bulan Maret lalu, Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva melakukan kunjungan ke Beijing untuk bertemu dengan Presiden China, Xi Jinping. Dalam pertemuan tersebut, kedua pemimpin negara itu sepakat mengganti dolar dengan mata uang masing-masing negara, yakni yuan dan real sebagai alat transaksi perdagangan bilateral.

Lula da Silva sempat menyuarakan kampanyenya penghentian penggunaan dolar AS sebagai alat transaksi internasional. Ia juga menentang peran IMF sebagai organisasi internasional yang memberikan bantuan kepada negara-negara yang sedang kesulitan dalam bentuk pinjaman uang.

Menurutnya, kehadiran IMF justru cukup menyulitkan karena memberikan bunga yang malah semakin mencekik negara-negara yang berutang.

Dalam kunjungannya ke China, tujuan Brasil pada dasarnya adalah untuk menguatkan hubungan dengan mitra dagang terbesarnya itu. Ia juga berusaha menyampaikan misinya untuk kembali aktif ke panggung internasional dengan slogan “Brazil is Back”.

Selain itu, pada pertemuan ini, kedua negara juga membahas mengenai perang Rusia-Ukraina yang kemudian berkaitan dengan rencana peralihan mata uang.

Perihal rencana peralihan penggunaan mata uang ini, Brasil dan China menyetujui wacana untuk menukar yuan langsung ke real dan sebaliknya, serta meninggalkan dolar sepenuhnya sebagai perantara pertukaran uang.

Upaya ini direalisasikan dengan menunjuk dua bank di masing-masing negara untuk mengurus transaksi tersebut.

Wacana ini menjadi hasil dari hubungan perdagangan kedua negara yang cukup baik. Sejak abad kedua puluh satu, hubungan antara China dan Brasil berkembang cukup signifikan, khususnya dalam sektor ekonomi.

Brasil merupakan salah satu negara di Amerika Latin yang memiliki tingkat perekonomian paling tinggi di antara negara-negara Amerika Latin lainnya. Hubungannya dengan China dapat dikatakan sebagai hubungan simbiosis mutualisme, karena keduanya saling menguntungkan.

Brasil yang kaya akan komoditas pertanian, energi, dan mineral menjadikan China sebagai pengekspor bahan-bahan seperti kedelai, bijih besi, dan minyak. Hal itu yang kemudian membantu Brasil mendongkrak perekonomian di tengah-tengah persaingan yang kuat. Bukan hanya itu, Brasil juga menjadikan China sebagai salah satu pemasok utama produk manufaktur.

Di sisi lain, China juga menjadikan Brasil sebagai tujuan utama investasinya di Amerika Latin. Selain itu, pada tahun 2017 China juga menjadi mitra impor terbesar dan tujuan ekspor terbesar di Brasil dengan total impor yang mengungguli AS, yakni China sebesar 18,1 persen, sedangkan AS hanya 16,7 persen saja.

Kemudian China juga menjadi tujuan utama ekspor Brasil dengan total ekspor sebesar 21,8 persen dan AS hanya 12,5 persen. Sehingga dapat dilihat bahwa China telah menggantikan posisi AS sebagai mitra dagang utama Brasil.

Hal inilah yang kemudian membuka peluang bagi China dan Brasil semakin menguatkan hubungan dengan melakukan berbagai dialog, salah satunya rencana peralihan mata uang untuk menghilangkan dominasi dolar, atau yang bisa disebut sebagai dedolarisasi.

Dedolarisasi sendiri dapat dipahami sebagai peralihan mata uang dalam transaksi lintas batas negara, dari dolar menjadi mata uang lokal. Dolar AS telah bertahan sejak akhir Perang Dunia II sebagai mata uang dunia.

Awalnya, negara-negara menggunakan emas sebagai standar untuk nilai mata uang mereka. Akan tetapi, dampak dari perang yang menimbulkan berbagai kerugian membuat ketersediaan emas semakin berkurang, sehingga sulit bagi negara untuk menstabilkan standar emas.

Akhirnya pada tahun 1944, 44 negara perwakilan melakukan pertemuan di Bretton Woods dan menyusun sistem moneter global baru. Dalam pertemuan itu, dolar AS ditetapkan sebagai mata uang cadangan utama dunia.

Dolar AS semakin menguat pasca Perang Dunia II, di mana pada saat itu AS muncul sebagai kekuatan ekonomi terbesar. Dengan penetapan dolar AS sebagai mata uang cadangan, maka eksistensi AS sendiri menjadi penting dalam panggung internasional.

Hal itu juga turut menjadi penyokong ekonomi AS, karena bank sentral, departemen keuangan, hingga perusahaan besar dunia banyak menggunakan dolar AS untuk menyimpan kepemilikan valuta asing mereka.

Oleh karena itu, pergeseran mata uang dolar sebagai mata uang cadangan menjadi pukulan yang cukup serius bagi Amerika Serikat. Tetapi, hal ini juga dapat terjadi tak lepas dari tindakan yang dilakukan oleh AS sendiri.

Perang Rusia-Ukraina dan pemberian sanksi oleh negara-negara termasuk AS terhadap Rusia menjadi pemicu upaya dedolarisasi ini. Dengan adanya sanksi tersebut, Rusia merasa kesulitan melakukan transaksi perdagangan global karena adanya keterbatasan dalam kegiatan pembayaran barang ekspor dan impor.

Akhirnya, Rusia bersama negara-negara BRICS kembali menginisiasikan rencana untuk pembuatan mata uang baru sebagai alternatif pembayaran global.

Sebelumnya, negara-negara seperti Indonesia dan Korea Selatan sudah memulai dedolarisasi ini dengan menggunakan mata uang lokal sebagai alat transaksi. China juga sudah melakukan hal itu dengan Rusia dan Pakistan, serta Arab Saudi yang masih dipertimbangkan.

Dedolarisasi sendiri bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar Amerika. Ketergantungan terhadap mata uang tertentu dalam perdagangan internasional dan investasi, akan sangat rentan terhadap inflasi dan mengancam stabilitas finansial. Sehingga negara-negara berusaha mengurangi ketergantungan tersebut dengan berupaya menciptakan sistem moneter yang baru.

Dalam kasus China-Brazil, upaya peralihan mata uang ini dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS, memangkas biaya, mempromosikan perdagangan bilateral, dan memfasilitasi investasi.

Dedolarisasi yang dilakukan oleh China dan Brazil tentunya memberikan dampak signifikan kepada AS karena membuka celah bagi negara-negara lain untuk mengikuti langkah tersebut.

Melihat fenomena ini, tentu saja AS tidak akan tinggal diam, pemerintah AS mungkin saja sudah memprediksi hal ini dan sudah menyiapkan langkah-langkah untuk mengatasinya. Tidak mudah bagi negara-negara untuk merealisasikan upaya ini karena banyak hal-hal penting yang tidak boleh terlewatkan.

Tantangan yang pertama yakni AS sendiri merupakan negara adidaya, dimana pengaruh dan power-nya sangatlah kuat, apalagi China merupakan rival utama AS dalam bidang ekonomi.

Sebagai negara yang tinggal di satu benua, maka upaya yang dilakukan Brasil ini bisa saja memicu konflik di kawasan tersebut, bahkan berisiko terjadinya perang dagang. Selain itu, banyak negara yang masih sangat bergantung dengan AS, sehingga jika mereka mendukung upaya ini, maka hubungan diplomatik kedua negara dapat terancam.

Selanjutnya, peralihan mata uang ini mungkin membutuhkan waktu yang cukup lama, karena jika upaya ini dilakukan secara cepat berpotensi mengganggu stabilitas keuangan dunia.

Akan tetapi, tantangan-tantangan tersebut tidak dapat menghilangkan kemungkinan adanya keberhasilan. Upaya dedolarisasi ini mungkin saja dapat berhasil jika negara-negara di dunia telah sepakat dan berkomitmen untuk mengubah tatanan dunia dengan membuat mata uang baru.

Kekuatan-kekuatan besar seperti BRICS juga sangat berpengaruh dalam upaya ini. Selain itu, walaupun upaya ini berjalan lambat, akan tetapi dedolarisasi ini akan tetap bisa terealisasikan dan eksistensi dolar perlahan-lahan akan memudar. rmol news logo article

*Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
EDITOR: DIKI TRIANTO

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA