Akhirnya Indonesia masuk peta dunia: sebagai sedikit negara yang punya kereta cepat. Anda sudah tahu: perintisnya dulu adalah Jepang. Sudah sejak Anda belum lahir: 1964. Bersamaan dengan Olimpiade Tokyo yang pertama.
Jepang pun jadi juara dunia. Begitu lama. Eropa, apalagi Amerika, seperti tidak tertarik ke kereta cepat. Baru 50 tahun kemudian Spanyol masuk ke persaingan itu.
Lalu muncul kejutan baru: Tiongkok. Tahun 2007. Jurusan Beijing-Tianjin. Setahun setelah saya transplantasi hati di Tianjin. Kereta Beijing-Tiannin itu sekaligus mengalahkan Jepang –kecepatannya maupun jumlahnya.
Sebelum itu pun Tiongkok sudah mencoba kereta yang lebih cepat: 430 km/jam. Maglev Shanghai. Tahun 2011. Roda keretanya sedikit mengambang di atas rel. Gesekan roda dengan rel membuat gerak roda kereta terhambat.
Proyek Maglev itu akhirnya tidak dikembangkan: tetap hanya dari Bandara Pudong ke kota baru Shanghai di Pudong. Rencana meneruskannya sampai kota Hangzhou dibatalkan.
Terlalu cepat.
Terlalu mahal.
Dan, yang terpenting, terlalu asing: Jerman tidak mau mengalihkan teknologi maglev ke Tiongkok.
Lalu Tiongkok bikin kereta cepat sendiri: 350 km/jam. Proyek pertamanya di jalur Beijing-Tianjin. Jalur pendek –untuk ukuran Tiongkok: sekitar 120 km.
Saya beruntung bisa mencoba maglev Shanghai maupun Beijing-Tianjin ketika baru diresmikan.
Setelah empat kali naik maglev saya tidak mau lagi. Tidak praktis. Tujuan saya biasanya pusat kota Shanghai. Kalau turun di stasiun maglev Pudong saya masih harus naik taksi ke Puxi.
Pudong di timur sungai Pu, Puxi di barat sungai Pu. Banyak jembatan di atas sungai Pu. Juga banyak terowongan bawah sungai. Tapi pindah-pindah moda angkutan tetap tidak praktis.
Ups...saya salah. Maglev ternyata sempat dikembangkan di satu lokasi lagi. Saya baru tahu itu akhir April lalu. Yakni ketika saya ''ziarah'' ke patung Mao Zedong di kota Changsha.
Ada maglev di Changsha. Juga dari bandara ke kota saja. Itu baru dibangun tahun 2016 lalu. Jaraknya hanya 18 km. Itulah maglev yang menggunakan teknologi Tiongkok sendiri.
Kecepatannya hanya 140 km/jam. Maka dari bandara ke kota Changsha hanya perlu waktu 3 menit.
Saya tidak naik itu. Saya pilih naik mobil. Bisa langsung ke lokasi patung.
Itulah problem utama kereta cepat Yawan nanti. Anda harus naik dari stasiun baru di Halim. Tepatnya di Jalan Wangko, kelurahan Makassar, Halim, Jakarta Timur.
Lalu Anda harus turun di stasiun Padalarang, jauh di luar kota Bandung.
Tapi, itu akan teratasi kelak kalau jalurnya sudah ditambah. Sampai Yogyakarta. Lalu sampai Surabaya. Apalagi kalau disambung lagi sampai Cilegon di barat dan Banyuwangi di timur.
Anda tentu tidak akan kehilangan rasa humor: kalau untuk Yawan yang 100 km diperlukan waktu pembangunan 8 tahun, lalu berapa lama untuk jarak 1000 km.
Tentu tidak harus begitu. Proyek Yawan (Ya Jiada - Wan Long) adalah pertama. Serba sulit. Bekerja sambil belajar. Mikir sambil membaca kehebohan di medsos. Untung Indonesia punya sosok Teflon. Lalu ditambah Teflon besar bernama Luhut Binsar Panjaitan.
Melihat kereta Yawan meluncur di langit Jagorawi rasanya bangga: nih, Indonesia. Kehebohan di medsos pun seperti terlupakan. Setidaknya sementara.
Inilah masa-masa bulan madu kereta cepat. Kagum. Hebat. Bangga. Harga diri bangsa seperti tiba-tiba mirip saham yang lagi naik.
Tiongkok sendiri kini sudah punya 30.000 km jalur kereta cepat. Jauh meninggalkan Jepang yang 3.000 km. Bahkan Spanyol sudah lebih panjang dari Jepang: 4.000 km. Saya pernah mencobanya di rute Madrid-Barcelona.
Amerika pernah nekat mau membangun kereta cepat. Dimulai dari San Francisco ke Los Angeles. Ambles. Sampai sekarang belum jadi. Sudah hampir 20 tahun. Bahkan terancam macet.
Maka apalah arti 8 tahun dibanding itu.
Perlombaan kecepatan kereta masih terus terjadi. Target kecepatan kereta jenis baru itu: 1000 km/jam. Melebihi kecepatan pesawat Boeing 737.
Salah satu ide awal datang dari perusahaan milik Elon Musk. Yakni untuk mengatasi kemacetan lalu-lintas di Los Angeles. Ide itu hampir terlaksana. Tapi perizinan tidak mudah. Akhirnya dibatalkan.
Beberapa negara juga berminat ke sana. Tapi yang serius banget barulah Tiongkok. Serius sekali. Sudah mendirikan pusat riset. Termasuk sudah membangun terowongan sejauh 200 km untuk uji coba.
Uji coba itu pun bukan baru rencana. Sudah dilakukan. Januari lalu. Sudah berhasil: kereta dengan kecepatan 1000 km/jam. Itu nyata.
Lokasi uji coba itu di provinsi Shanxi. Bukan provinsi Shaanxi. Tepatnya di kabupaten Datong. Sekitar 4 jam dari Beijing. Ke arah barat. Dekat dengan perbatasan Mongolia Dalam.
Bagaimana bisa kecepatan kereta itu 1000 km/jam?
Tidak aneh. Kereta itu berjalan di terowongan vakum udara. Lebih tepatnya meluncur. Rodanya sedikit mengambang di atas rel.
Berarti setelah penumpang masuk kereta, pintu terowongan ditutup. Pintunya rapat. Terowongannya tidak boleh bocor. Lalu udara di dalam terowongan diisap dari luar. Terowongan hampa udara. Oksigen untuk keperluan penumpang disiapkan di dalam kereta.
Kereta pun meluncur 1000 km/jam.
Saya sungguh berharap masih sempat mencobanya kelak. Mudahan tidak lama lagi. Beijing-Shanghai hanya 1 jam. Jakarta-Bandung hanya 10 menit.
BERITA TERKAIT: