Itu untuk lebih gampang menyebutkannya.
Nama aslinya panjang. Anda sudah tahu. Itulah UU yang baru ditandatangani Presiden Joe Biden tiga hari lalu –setelah disetujui Kongres lebih seminggu sebelumnya.
Lahirnya undang-undang baru itu sebenarnya prestasi besar bagi Biden. Begitu ngotot ia mengusulkannya. Begitu ramai kontroversi pembahasannya. Biden harus bekerja keras meyakinkan parlemen. Terutama yang dari Partai Republik. Apalagi sebagian anggota parlemen dari Demokrat sendiri ada yang menentang: 6 orang.
Biden tidak mampu berharap bisa seperti Presiden Indonesia. Yang bisa meloloskan Omnibus Law Cipta Kerja begitu mudahnya.
Pun anggota Kongres dari partainya sendiri tidak sepenuhnya mendukung. Sebagian anggota Kongres dari Demokrat justru memilih ''No!''. Untung sebagian anggota Kongres dari Partai Republik justru memilih ''Yes''. Jumlahnya 13 orang.
Mereka itulah yang membuat Donald Trump sewot: mengapa anggota parlemen dari Republik mendukung rencana besar presiden dari Partai Demokrat. Mengapa mereka dulu justru menentang ketika Trump sendiri yang mengusulkannya.
Maka mereka itu, oleh Trump diberi gelar RINO –
Republican In Name Only. Republik KTP. Menurut Trump mereka harus dimusuhi dan disingkirkan.
Biden, Mirza tahu itu, memang dikenal sebagai jago lobi. Sejak lama. Ia memang politikus sejati seumur hidupnya.
Presiden Obama gagal meyakinkan Kongres. Presiden Trump senasib dengan Obama. Gertak Trump ternyata kalah dengan lirikan mata Luhut Binsar Panjahitan.
Biden bikin sejarah. Lahirlah UU Tiongkok itu. Itulah UU paket infrastruktur senilai Rp 16.000.000.000.000.000. USD 1,2 triliun. Sebagian besar untuk memperbaiki jembatan, jalan, penyediaan air, dan pembangunan charger mobil listrik. Termasuk membangun sedikit jembatan dan jalan baru.
Lebih setengah tahun Kongres memperdebatkan usulan Biden itu. Akhirnya lolos meski dengan suara ''Yes'' yang tidak banyak beda dengan suara ''No''. Ini dia: 228 Yes, 206 No.
Itulah pengesahan anggaran proyek terbesar dalam Sejarah Amerika 50 tahun terakhir. Biden yang membuat sejarah itu. Mestinya nama Biden bisa berkibar.
Nyatanya: tidak.
Rating popularitasnya, yang seperti roket jatuh, tidak terangkat. Tetap kalah dua digit dari Trump.
Maka Biden pun membuat podium. Di tengah jembatan rusak. Senin lalu. Ia berpidato di podium di tengah jembatan jelek itu.
Itulah salah satu jembatan yang akan diperbaiki lewat UU Tiongkok USD 1,2 triliun.
Jembatan itu memang sudah terlihat retak. Klasifikasinya: merah. Artinya: bahaya untuk dilewati. Lampu merah itu sudah dinyalakan sejak tahun 2014 lalu. Tidak kunjung ada anggaran untuk memperbaikinya.
Umur jembatan itu memang sudah gaek: dibangun tahun 1930-an. Biden menang telak di New Hampshire di Pilpres tahun 2020. Jembatan merah itu ada di pedalaman negara bagian itu.
Itu, sebenarnya, bukan jembatan yang penting-penting amat. Bukan di jalan interstate –yang mirip jalan tol gratis di negara kita. Bukan pula di jalan highway –mirip jalan negara di Indonesia. Itu 'hanya' jembatan yang menghubungkan jalan sekelas jalan kabupaten di negara kita.
Sudah bertahun-tahun soal jalan rusak dan jembatan berbahaya jadi bahan omongan di meja makan di keluarga-keluarga di pedalaman Amerika. Terutama di musim salju. Tumpukan salju membuat mereka lebih takut melewati jembatan seperti itu.
Orang kota besar memang tidak merasakannya. Jembatan
interstate dan
highway baik-baik saja. Umumnya juga masih belum tua.
Banyaknya jembatan dan rusak itulah yang dulu, oleh Trump sering disebut, infrastruktur di Amerika itu sudah seperti di negara ketiga. Sedang infrastruktur di Tiongkok begitu modernnya, sudah seperti di negara maju.
Di sini Amerika merasa perlu mengejar Tiongkok. Maka UU baru itu, sejak pembahasannya, lebih sering disebut sebagai UU Tiongkok.
Lucu juga, Amerika mengejar Tiongkok. Maka seminggu ke depan akan banyak pidato di atas jembatan.
BERITA TERKAIT: