Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Selamat Jalan Setiadi Tryman, Tokoh Pers Dan Film Indonesia

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/ilham-bintang-5'>ILHAM BINTANG</a>
OLEH: ILHAM BINTANG
  • Minggu, 16 Mei 2021, 12:46 WIB
Selamat Jalan Setiadi Tryman, Tokoh Pers Dan Film Indonesia
Wartawan senior Ilham Bintang dan Setiadi Tryman/Ist
“TELAH berpulang ke rumah Bapa di Surga dalam damai. Suami, Papa dan Opa kami tercinta, Bapak Setiadi Tryman, dalam usia 84 tahun pada hari Sabtu, 15 Mei 2021 pukul 19.00 WIB.”
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Berita duka itu dikirim Rita, Carmel, Lola, Carla beserta Cucu & Cici atas nama keluarga besar.

Info itu segera menyebar di berbagai group WA. Saya membacanyanya di grup WA Pengurus PWI Pusat.

Almarhum memang wartawan. Wartawan sangat senior. Tokoh pers dan film Indonesia. Saya mengenal Setiadi (tepatnya berguru pada Setiadi) saat ia menjadi redaktur Harian Sinar Harapan, surat kabar terpandang dan  terbesar di Indonesia. Setelah media itu dibreidel pemerintah dan kemudian terbit lagi dengan nama baru Harian Suara Pembaruan, Mas Setiadi Tryman diangkat menjadi  Pemimpin Redaksi pertamanya.

Saya merasa sangat kehilangan atas kepergian Setiadi Tryman. Sedih kehilangan seorang sahabat dan mentor sekaligus. Saya yakin perasaan kehilangan itu juga dirasaksn kalangan pers dan perfilman Indonesia pada umumnya.

Kami bersahabat lama dengan beliau. Sikapnya yang egaliter sangat mengesankan dalam posisinya sebagai pemimpin redaksi media besar. Orangnya sangat rendah  hati, dan memilih banyak banyak tersenyum dengan humor-humor bernasnta. Di dunia film Setiadi sudah mencapai tingkat ketokohan yang dihormati masyarakat film. Sudah berkali kali menjadi juri FFI pada saat saya baru mulai menjadi wartawan. Namun sejak perkenalan pertama praktis setelah  kami menjalin persahabatan.

Mas Setiadi lah yang menjadi penopang utama di masa saya menjabat Ketua Humas Festival Film Indonesia (FFI) dan Festival Sinetron (FSI), tiga priode -- 15 tahun -- di masa Harmoko menjadi Menteri Penerangan.

Setiadi Tryman satu angkatan dan teman gaul Harmoko yang kelak menjadi Menteri Penerangan tiga priode di masa pemerintahan Presiden Soeharto.

Sebelum itu Setiadi sudah mengikuti dinamika kehidupan seniman dan budayawan dengan ikut berkecimpung dalam komunitas  Seniman Senen yang terkenal di Jakarta. Di situ bergaul dengan aktor terkenal Soekarno M Noer dan Haji Misbach Jusa Biran, antara lain.

Saat menjadi Pemred Harian Suara Pembaruan, saya sering diundang untuk menulis ulasan film dan bahkan menulis artikel itu langsung di kantornya. Di meja dalam ruangan kantornya. Kawan senior lain yang juga teman kolaborasi kami di masa itu adalah Paul Lumban Tobing, redaktur film Sinar Harapan. Paul juga termasuk tokoh wartawan film yang terpandang di masanya.

Markas kami masa kolaborasi itu di kantor Dewan Film Nasional, Menteng Raya. Di sini berkantor juga sahabat lama Setiadi. Namanya Zulharmans Said dan Chaidir Rahman yang merupakan kawan perjuanggan sejak tahun 1950an.

Zulharmans Said adalah Ketua Umum PWI Pusat yang sekaligus menjabat Direktur Utama PT Perusahasn Pengedar Film Indonesia (Perfin). Wartawan senior  Chaidir Rahman juga berkiprah di PT Perfin.

Pernah dalam  kurun yang panjang, setiap sore, sepulang kantor,  kami berkumpul di Dewan Film National  sampai tengah malam. Lokasi Dewan Film di tengah kota, Jalan Menteng Raya.

Suatu kali saya ingat, suatu sore datang seorang teman wartawan film namanya Gagar Mayang Dia datang untuk curhat. Ceritanya, puterinya mendadak dibatalkan oleh gurunya untuk ikut Paskibraka. Pokok soalnya, menurut cerita Gagar Mayang, sejak gagal itu, anaknya menjadi pemurung, tidak punya nafsu makan.

Gagar minta teman -teman mendukungnya menuntut guru sekolah anaknya. Saya setuju. Teman-teman mendukung. Terakhir ia minta pandangan ke Setiadi Tryman.

Namun, Setiadi tidak setuju. Dia mengajukan pandangan lain. “Coba cek dulu ibunya anak kamu Gagar. Anaknya dikasih makan apa, lauknya apa? Data ini  penting diketahui,” tanya Setiadi.

Gagar langsung menukas, “Apa hubungannya Mas?“

“Ya, banyak. Seumpama anak itu dikasih makan dengan lauk ikan asing, masuk akal kalau dia tidak nafsu makan. Jangankan anakmu, gurunya pun saya khawatir tidak nafsu makan juga kalau lauknya ikan asin,” papar Setiadi.

Semua terdiam menyimak pandangan itu. Yang gusar hanya Gagar Mayang seorang. Rencana  gugatan kepada guru itu memang tidak berlanjut.

Setiadi sepengetahuan saya memang tabu untuk menggunakan cara konfrontasi dalam menyelesaikan masalah. Dia meyakini dialog atau saling mendengar adalah kuncinya. Teman yang curhat diminta  cari tahu secara jelas duduk perkara suatu masalah dengan pendekatan humoristis supaya soal berat pun jadi ringan.

Contoh tadi itu. Betapapun tak puas, toh kekesalan Gagarma yang bisa diredam dengan humor. Bicara soal diplomasi humor Setiadi memang ahlinya.

Surat-Surat Nyasar

Karya Setiadi Tryman dalam karir sebagai wartawan dan  film yang bisa dikenang  berhasil menulis banyak sekenario film dan rubrik “Surat-Surat Nyasar” di Sinar Harapan.

Di rubrik yang digawanginya itu semua masalah yang dibahas, serumit apapun, dia pecahkan dengan selera humor tinggi. Tak heran jika “Surat-Surat Nyasar” memiliki pembaca fanatik  dalam jumlah besar.

Di tangan Setiadi humor menjadi serius. Atau hal serius bisa encer dibuatnya dalam kemasan  humor. Gayanya kritis tapi  tidak menyakiti, nyeleneh, tapi  mengundang senyum.

Atas permintaannya setelah pensiun, “Surat-Surat Nyasar” itu dilanjutkan pemuatannya di Tabloid Cek & Ricek. Sempat terbit beberapa tahun sampai  Setiadi sendiri menghentikan karena tidak punya waktu banyak lagi untuk mengisinya secara rutin. “Surat-Surat Nyasar” di Sinar Harapan maupun di Tabloid C&R menggunakan logo karikatur wajah Setiadi Tryman.

Beberapa kali Setiadi sempat menyambangi saya di  kantor C&R. Ngobrol-ngobrol sambil bersenda gurau.

Belakangan lama kami tidak berkomunikasi lagi. Tapi  berita duka kepergiannya yang beredar di WAG  membuat sedih, membuat  saya membuka kembali kenangan-kenangan manis persahabatan kami tempo hari.

Setiadi Tryman lahir di Demak, Jawa Tengah. Setamat  SMA ia melanjutkan kursus manajemen, seni drama HBS di Solo (1955), ATNI di Solo (1957) dan Workshop film Directing (KFT).

Sebelum terjun ke dunia film ia menjadi wartawan. Dari Berita Indonesia (1960), Sinar Harapan (1962-1986), kemudian  memimpin surat kabar Suara Pembaruan. Anggota Dewan Film Nasional yang juga anggota PWI yang terjun pertama kali di dunia film sejak tahun 1964 sebagai penulis skenario.

Kini Setiadi Tryman, sahabat yang sekaligus mentor itu  telah pergi mendahului kita. Selamat jalan sahabat senior dan mentor kami. Semoga Tuhan memberimu tempat lapang, nyaman, dan indah di sisiNya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA