Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Memecahkan Dilema Krisis Kembar Akibat Covid-19

Rabu, 19 Agustus 2020, 08:32 WIB
Memecahkan Dilema Krisis Kembar Akibat Covid-19
SEPANJANG perjalanan usia 75 tahun, Indonesia mengalami banyak pasang dan surut.

Termasuk diantaranya bencana alam dahsyat seperti tsunami di Aceh yang menewaskan lebih dari 200 ribu orang dan membuat jutaan orang kehilangan tempat tinggal dalam waktu singkat. Indonesia juga pernah menghadapi bencana non alam pandemi penyakit akibat virus dari luar negeri. Perekonomian Indonesia pun pernah didera krisis, dampak rontoknya perekonomian global. Ini belum termasuk konflik-konflik horisontal, yang membuat banyak pengamat sempat meramalkan balkanisasi Indonesia.

Toh sejarah berkata lain. Alhamdulillah Indonesia tetap utuh, dan bersatu berkat semangat gotong royong, pantang menyerah dan belajar dari masa lalu.

Pengalaman adalah Guru Terbaik

Dalam konteks ini, sumbangan pemikiran Presiden ke-6 RI SBY untuk menangani krisis kembar kesehatan dan ekonomi, patut dicermati.

Pada masa pemerintahan Presiden SBY (2004-20014), Indonesia berhasil merehabilitasi dan merekonstruksi Aceh serta Nias usai dihantam tsunami, sukses mengatasi ancaman pandemi SARS, endemi MERS maupun flu burung serta lolos dari goncangan krisis ekonomi global dengan menerapkan keep buying strategy, memanfaatkan besarnya pasar domestik Indonesia untuk tetap menggerakkan perekonomian nasional, walaupun perekonomian dunia gonjang-ganjing.

Dalam buku "Pandemi Covid-19, Jangan Ada yang Dikorbankan Manusia dan Ekonomi, Keduanya Dapat Diselamatkan" yang diterbitkan The Yudhoyono Institute (2020), SBY berbagi pandangan agar bangsa Indonesia tidak perlu terjebak pada dilema simalakama, memilih mengatasi krisis kesehatan dulu, dengan membiarkan perekonomian ambruk atau menyelamatkan ekonomi, dengan membiarkan rakyat menanggung resiko terpapar virus.

Memasuki bulan keenam sejak kasus Covid-19 pertama diumumkan pada 2 Maret 2020, jumlah kasus harian Covid-19 masih terus naik, dengan total kasus yang sudah melampaui Cina.

Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi kuartal kedua (April-Juni) tercatat minus 5,32% (BPS), menimbulkan kekhawatiran Indonesia jatuh ke jurang resesi jika pada kuartal ketiga (Juli-September), pertumbuhan perekonomian Indonesia masih negatif.

Menurut SBY, dilema simalakama ini bisa dihindari, dengan pendekatan yang terukur dan simultan. Daerah-daerah yang berstatus zona hijau, diberi insentif ekonomi untuk membangkitkan perekonomian setempat.

Tapi untuk daerah-daerah zona merah dan oranye, diutamakan penanganan kesehatan, baik preventif dan kuratif, dengan menahan untuk sementara kegiatan-kegiatan perekonomian guna memutus rantai penyebaran wabah. Untuk daerah-daerah zona kuning, dilakukan perimbangan kebijakan sesuai perkembangan situasi setempat. Jadi kebijakannya dinamis, tidak gebyah-uyah.

SBY menekankan pentingnya pendataan yang tepat, akurat dan transparan, sehingga pemerintah pusat dan daerah maupun masyarakat tahu persis kondisi daerah masing-masing. Data tidak boleh ditutup-tutupi, apalagi dipermak agar kelihatan bagus. Resikonya adalah data terlihat bagus di atas kertas, tapi di lapangan, ada banyak kasus terpendam. Mirip api dalam sekam.

Persyaratan utama untuk menjalankan pendekatan yang dinamis, sistematis dan terukur ini adalah kepemimpinan yang kuat. Ini untuk memberi arah yang jelas ditengah kepanikan dan kekacauan akibat serangan musuh yang tidak terlihat tersebut. Kuatnya kepemimpinan ini juga diperlukan untuk memastikan perencanaan, koordinasi dan komunikasi saat pelaksanaan maupun pengawasan bisa berjalan dengan baik.

Seringkali perencanaan yang baik menjadi kehilangan gigi saat dilaksanakan di lapangan karena hambatan regulasi, kurangnya koordinasi dan komunikasi atau hambatan-hambatan lain. Kekompakan pimpinan nasional dan para pemimpin daerah menjadi kunci utama penanggulangan, tanpa dibebani kepentingan-kepentingan politik jangka pendek.

Pada buku "Dunia Damai Jika Keadilan Tegak, No Justice No Peace", SBY menekankan pentingnya keadilan sebagai syarat utama perdamaian. SBY menyoroti gerakan Black Lives Matter yang sudah berminggu-minggu mengguncang Amerika Serikat yang selama ini dikenal sebagai kiblat demokrasi dan menyebar menjadi gerakan global untuk kesetaraan bagi semua golongan.

Sistem pemerintahan bisa demokratis atau non demokratis, tapi selama keadilan tidak ditegakkan, maka perdamaian akan selalu berdiri di atas landasan yang rapuh.

No Justice, No Peace, tulis SBY, meminjam slogan gerakan BLM. Ini terbukti sepanjang sejarah, termasuk dalam sejarah Indonesia.

Selama 10 tahun memimpin Indonesia pada masa awal konsolidasi demokrasi pada awal reformasi, SBY berhasil membuat Indonesia stabil secara politik, sosial dan keamanan, sehingga memberikan ruang tumbuh yang besar bagi aktivitas perekonomian, disertai kepastian hukum dan keadilan.

Tidak sepenuhnya sempurna, tapi fondasi stabilitas ini mampu membuat Indonesia tumbuh rata-rata 6% per tahun selama 10 tahun, menyerap tenaga kerja baru, mengurangi angka kemiskinan, meski Indonesia diguncang berbagai bencana alam, non-alam maupun konflik horisontal. Bukan pekerjaan mudah di negara kepulauan terbesar dengan lebih dari 300 suku bangsa dan bahasa.

Kekuatan Sekaligus Kelemahan


Kekuatan buku ini sekaligus menjadi kelemahannya. Kedua buku ini ditulis SBY dengan bahasa sehari-hari, masing-masing hanya 100-an halaman. Cukup tipis untuk selesai dibaca dalam 30 menitan, saat perjalanan atau saat menunggu, tanpa membuat kening berkerut. Tidak perlu juga buka ensiklopedia.

Meski tidak berpretensi menjadi naskah ilmiah dengan catatan akhir (end note) dan referensi yang berderet, buku ini memiliki dasar-dasar argumentasi yang kuat dan komprehensif, baik di bidang kesehatan masyarakat, perekonomian, maupun politik-keamanan, mencerminkan pemahaman dan pengalaman penulisnya selama 10 tahun memimpin Indonesia.

Butir-butir pengalaman inilah yang menjadikan buku ini berharga untuk membantu memandang krisis kembar ini secara lebih utuh dan sekaligus sebagai rujukan pertimbangan kebijakan untuk mengurai persoalan satu demi satu. Buku untuk semua orang, meminjam istilah pak SBY saat peluncuran kedua buku ini memperingati tiga tahun The Yudhoyono Institute (10/3) di Cikeas, Jawa Barat.

Namun ini juga yang jadi kelemahan. Membaca buku ini ibarat menikmati makanan enak, padat tapi hanya sedikit. Memanjakan pikiran tanpa melelahkan mata tapi terasa nanggung, terutama bagi pembaca buku yang serius. Ketiadaan daftar referensi menyulitkan pembaca yang ingin membaca lebih lanjut, walaupun terlihat alur pemikiran (train of thought) yang jejaknya bisa dilacak pada berbagai buku rujukan.

Kedua buku ini enak dibaca dan perlu, guna memahami turbulensi yang tengah terjadi. Pengalaman menjadi guru yang sungguh berharga. rmol news logo article

Tomi Satryatomo
Pengamat Media

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA