Gemah ripah loh jinawi tidak merata dan tidak terasa
jurang kesenjangan tampak teramat lebar menganga.
Yang papa kian terpuruk, mengais hingga mencuri
yang berlimpah membusungkan dada tak peduli banyak hati tersakiti.
Masih bolehkah aku berbangga?
Ketika hutan hujan nan hijau mengangkasa jadi lautan asap dan api
nama nusantara seburuk-buruknya membahana seantero jagat bumi.
Dielukkan negara-negara maju sebab ini
tangan terbuka menerima sampah serupa bahaya merkuri.
Tak sanggup lagi aku berbangga.
Hidup seirama dengan corona, mengalah
mengiyakan titah new normal, untuk ke pasar juga ke sekolah.
Iri mendengar Ho Chi Minh dan Hanoi tidur dengan nyenyak
melambai goodbye tanpa takut pandemi kembali menyalak.
Pantaskah aku berbangga?
Perang kata seolah tak peduli logika dan nilai agama
yang memihak dan yang tidak memihak menjauh dari nurani dan asa.
Terlalu banyak intrik, kepalsuan, dan kebohongan
hingga rakyat tak mampu lagi meraba kebenaran.
Bilakah aku kembali berbangga?
Hukum belum juga memaknai keadilan bahkan kian ternoda
tang ting tung apakah pantas dua belas tahun atau hanya satu tahun penjara.
Ribuan orang boleh saja mengungkap data fakta bahkan bukti
Tapi semua buram dan terkalahkan oleh tirani yang hakiki.
Akankah aku berbangga?
Masih banyak anak bangsa saling bergandeng tangan menajamkan nurani dan intuisi
setapak demi setapak memperbaiki kerusakan di sana sini.
Menghabiskan tenaga dan waktu berbuat sesuatu walau harus terluka di jalan terjal berliku
karena tak akan ada perubahan tanpa memulai langkah satu demi satu.
Ajari aku bagaimana berbangga.
Mengokohkan diri di jalan kebaikan lalu menebar manfaat seluas semesta
mengubur kepalsuan, kemalasan, kesombongan, dan kebodohan dalam kotak jingga.
Mengendapkannya ke dasar samudera tanpa sekali pun berpikir untuk membuka
karena anak bangsa ini memilih maju membawa garuda terbang merdeka.
Tuhan, izinkan aku berbangga.
Untuk tegar melewati setiap ujian dan menghadirkan hikmahnya ke dalam jiwa
cukup sudah menangis dan menyesali, ini saatnya membuka mata.
Mencium bunga mekar dan semilir angin saat penghujung gerimis di beranda rumah
aku kan melangkah seiring bismillah.
Kini aku mulai merasa bisa berbangga.
Tanah Air tempat napas bersatu dengan raga selalu kupuja
Ibu Pertiwi tak boleh lagi menangis lara.
Lelahku, lelahmu, lelah kita, semoga menjadi sinergi mahadaya
Untuk Indonesia sejahtera dan bumi yang selalu menjaga anak bangsa.
Puisi karya Ovi Shofianur, wartawan Farah.id, yang dibacakan penulis dalam Lomba Baca Puisi yang digelar Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) secara virtual, Minggu, 28 Juni 2020. Lomba Baca Puisi yang diikuti 43 peserta itu dicatat sebagai rekor dunia oleh Museum Rekor Indonesia-Dunia (MURI).
BERITA TERKAIT: