Kehidupannya sekarang hebat betul. Hijrah dari yang biasa-biasa saja, menuju ke gegap-gempita.
Dulu, dia itu ramah sekali. Tiap ketemu kami cipika-cipiki. Tak terlupa, sebungkus rokok digotong bersama. Seplastik dia, seplastik aku. Usah malu, memang begitu. Kopi? Join!
Itu dulu.
Sekarang dia alergi kalau makan bakso emperan. Kalau lagi mau bakso, dia import dari Skandinavia. Barang sini, nggak kelas dia lagi, kata dia.
Jangan sekali-sekali tawarkan dia nasi. Makan nasi itu sebangsa badokan kelas kebanyakan. Yang ada di pucuk elite, makannya bancakan anggaran. Nasi itu kelas curut. Cuman pantas buat yang bau comberan. Malu sama dasi, sama safari.
Dia sekarang sering muncul di tipi. Akun instagramnya punya followers banyak. Ada seribu tiga ratus dua puluh tujuh. Hasil bayar, cari pengikut pakai robot, pengikutnya juga robot. Tiap posting dapat love minimal lima. Di profilnya dia ngaku selebgram.
Kalau ngobrol dengan jelata, dagunya macam keseleo. Macam Mbah Togog. Kalau ngobrol dengan yang pakai jengkol, lidahnya menetes-netes. Petahana itu semacam anjungan tunai mandiri. Dipencet, keluar duit.
Kalau dulu dia kere. Sekarang duitnya banyak, kawannya hebat-hebat, selingkuhannya cantik-cantik.
Semua gara-gara jadi komisioner. Kacrut!
Puisi karya wartawan asal Lampung, Adolf Ayatullah Indrajaya, ditulis pada Desember 2019 di Gedongmeneng. Puisi ini dibacakan penulisnya pada lomba baca puisi virtual yang diselenggarakan Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) pada 28 Juni 2020, yang mendapatkan rekor MURI sebagai lomba baca puisi virtual pertama yang diikuti wartawan di dunia.
BERITA TERKAIT: