Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

August Parengkuan Masih Ke Kantor Sehari Sebelum Masuk RS

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/ilham-bintang-5'>ILHAM BINTANG</a>
OLEH: ILHAM BINTANG
  • Kamis, 17 Oktober 2019, 19:00 WIB
August Parengkuan Masih Ke Kantor Sehari Sebelum Masuk RS
Mendiang August Parengkuan didampingi sang istri/Ist
“TUHAN sudah berkehendak, dan kita tidak ada kuasa mengelak takdirnya untuk Pak August. Memang, mendiang juga mendambakan itu: jika sampai waktunya tidak sampai menderita. Dan, Tuhan mengabulkan,” cerita Sonya Parengkuan, istri mendiang August Parengkuan.

August meninggalkan Sonya, empat anak, dan sembilan cucu. Kepergian August termasuk mendadak.

Selasa, 15 Maret August masih berkantor seperti biasa di Gedung Kompas. Ia tengah menyiapkan penerbitan bukunya. Rabu malam (16/10), August mengeluh sesak nafas.

“Kami segera membawanya ke RS Medistra. Dokter memutuskan dirawat di ICU. Tengah malam itu saya pulang. Jam setengah enam Kamis tadi dapat kabar duka, ternyata dia sudah tiada,” ungkap Sonya di Rumah Duka RSPAD, Kamis siang (17/10).

Jenazah mendiang baru tiba di rumah duka RSPAD, tempat mendiang akan disemayamkan hingga Senin (21/10). Sebelumnya diumumkan jenazah akan disemayamkan di kediamannya di Jalan Dukuh Patra III Kuningan. Tapi  kemudian diputuskan rumah duka di RSPAD. Menurut rencana pemakaman Senin siang di San Diego Hills, Kerawang, Jawa Barat.

“Anak dan cucunya di Chicago, meminta pemakaman menunggu mereka tiba di Tanah Air,“ cerita Sonya.

Siang itu, saya bertiga satu mobil dengan Dirut TVRI, Helmy Yahya dan Anggota Komisi I DPR-RI, Muhammad Farhan melayat ke rumah duka. Kami disambut Sonya Parengkuan. Sebelumnya kami sempat juga ke rumah duka Kuningan. Namun, jenazah sudah diberangkatkan ke RSPAD setengah jam sebelum kami tiba.

Sulit Dipercaya

Rasanya memang sulit saya percaya, tetapi nyata. Ada lima sumber dekat saya konfirmasi tadi pagi, semua membenarkan. August Parengkuan telah tiada. Wartawan senior, generasi pertama Harian Kompas itu mengembuskan nafas terakhir Kamis ( 17/10) pagi pukul 05.50 WIB di RS Medistra. Akibat serangan jantung, kata Tri Agung salah satu pimpinan Harian Kompas, kemudian.

Saya menerima kabar duka ini pertama kali dari wartawan senior Marah Sakti Siregar. Saat  baru pulang jogging, Marah Sakti mengirim kabar duka itu via WA. Berita itu sekejap membuat saya terhenyak. Jika sampai waktunya tiada siapapun bisa mengelak.

Masih segar dalam ingatan dua bulan lalu kami bersama-sama selama tiga hari tiga malam di Bali. Menjadi tamu undangan rangkaian acara perkawinan tokoh perfilman Nasional, Raam Punjabi. Dia hadir bersama isterinya, Sonya Parengkuan.

Waktu ketemu pertama kali dalam salah satu acara siang, dia mendatangi meja tempat kami duduk. Dia secara khusus menyampaikan apresiasi atas “obituari” yang saya tulis mengenai mendiang P. Swantoro, juga mendiang pimpinan Kompas.

“Oo Anda sempat baca yah,” saya tanya. “Iya, obituari itu kan viral di keluarga Kompas,“ ujarnya.

Meski terpaut usia 10 tahun, dan dari media yang berbeda “ideologinya”  tetapi dengan August Parengkuan saya bersahabat puluhan tahun.

August lahir di Surabaya, tetapi bersekolah di Pare-Pare dan di Makassar, Sulawesi Selatan. Dia dibesarkan dalam kultur masyarakat Bugis Makassar.

Kedekatan kultur itu juga menjadi perekat persahabatan kami. Kami tertawa terbahak-bahak ketika mengantri di ruang rias acara Bali. Mengantri dipasangi ubel-ubel India.

Di organisasi PWI, August aktif sejak lama. Terakhir sebagai penasihat. Dalam rapat-rapat di PWI itu juga kami sering berdiskusi, bertukar pikiran. Setelah purna tugas sebagai Dubes RI di Italia, kantor yang sering disambangi adalah PWI. Inilah cerita ketika bertandang ke PWI beberapa bulan lalu, yang saya khawatir itulah kunjungan terakhirnya.

Topik diskusi hari itu tentang posisi wartawan dan media yang mengalami kegamangan menghadapi penguasa justru di era kemerdekaan pers. Era yang didambakan puluhan tahun oleh para wartawan senior dan pendahulu kita. August yang selalu berpembawaan tenang, berkata-kata datar tanpa tanda seru, siang itu seperti dengan sadar menggunakan pengucapan bertanda seru. Terasa sangat mendalam rasa kekhawatirannya terhadap pers dan media menghadapi penguasa di era milenial ini.

“Dulu kita diancam-ancam penguasa untuk menuruti dia. Tapi keadaan sekarang, seperti wartawan dan medialah yang menyerahkan dirinya kepada penguasa untuk dikooptasi,” katanya lirih. Tajam.

August dari dulu memang tajam. Itu sebabnya, pemerintah cq Departemen Penerangan tidak pernah memberikan rekomendasi untuknya menjabat Pemimpin Redaksi Harian Kompas. Saya sudah jadi pengurus PWI ketika PWI mengeluarkan rekomendasi untuk August Parengkuan jadi Pemimpin Redaksi Kompas atas pengajuan direksi Kompas. Namun, ternyata Departemen Penerangan menolak rekomendasi itu.

Kelak sampai umur pensiun di Harian Kompas, August hanya tercatat sebagai Pelaksana Harian Pemred Kompas. Padahal, dia generasi pertama surat kabar ternama Tanah Air. Dialah sesungguhnya Putera Mahkota Jakob Oetama pendiri dan pemilik Kompas.

Saya pernah menulis profil August dengan judul provokatif “Putera Mahkota Tanpa Mahkota “. Dia hanya tersenyum kecut membaca opini saya.

Sayang  reformasi terlambat datang. Dan, August Parengkuan salah satu korban rezim Orde Baru yang otoriter. Bayangkan untuk menjadi pemimpin redaksi saja, masa itu seseoranng harus mengantongi rekomendasi dari banyak institusi. Terakhir izin dan restu dari Menteri Penerangan.

Bandingkan di era reformasi sekarang. Di era kemerdekaan pers. Anytime Anda mau terbitkan media, tidak perlu restu dan izin dari pemerintah, kecuali restu dari pemilik modal saja. Tapi itu tadi, dampak lain dari kemerdekaan pers itulah yang dikritisi oleh August Parengkuan. Kemerdekaan pers sudah di tangan, namun ada banyak wartawan dan mdia sibuk sendiri menawar-nawarkan agar dikooptasi penguasa.

August Parengkuan memang sosok unik. Di masa Orde Baru dia amat dekat dengan Megawati. Tapi August menjadi Dubes di Italia justru diangkat oleh Presiden SBY, seteru politik Megawati.

Empat tahun August menjadi Dubes di Italia. Tapi selama menunaikam tugas di sana, hanya satu kali saya ketemu dia di Eropa. Itu pun di Expo di Milan, bukan di poskonya di Roma. Padahal, dia mewanti-wanti supaya menengok dia di sana. Dia iming-iming akan menjamu dengan ikan bakar dan gulai kepala ikan kakap, kuliner kesukaannya.

Sebelum menjabat Dubes, August Parengkuan menangani pembangunan hotel milik Kompas. Kami sering ketemu di Singapore ketika membangun hotel di kawasan Bugis Street. Di sinilah kuliner ikan bakar dilanjutkan. August ketemu kedai ikan bakar yang kemudian menjadi langganannya tiap kali ke kota Singa itu.

Tiada lagi August Parengkuan. Tapi semangatnya sebagai jurnalis sejati tak pernah bisa terkubur. Pernyataan kekhawatiranya terhadap nasib wartawan dan media di rapat PWI itulah legacy terbesar dia.
 
Selamat istirahat, sobat. rmol news logo article

Penulis adalah Wartawan Senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA