Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Urgensi Pengesahan RUU KUHP Dari Masa Orla, Orba Hingga Kini

Senin, 23 September 2019, 22:18 WIB
Urgensi Pengesahan RUU KUHP Dari Masa Orla, Orba Hingga Kini
Ilustrasi
INDONESIA adalah negara hukum, negara diatur berdasarkan hukum yang berlaku, yang berkeadilan, tersusun dalam suatu konstitusi, dimana semua orang dalam negara tersebut yang diperintah maupun yang memerintah harus tunduk dengan hukum yang sama, setiap orang diperlakukan sama dan setiap orang yang berbeda diberlakukan berbeda dengan dasar pembedaan yang rasional, tanpa memandang warna kulit, ras, gender, agama, daerah dan kepercayaan.

Kewenangan pemerintah dibatasi berdasarkan satu prinsip distribusi kekuasaan, sehingga pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang dan tidak melanggar hak-hak fundamental dari individu dan masyarakat merupakan rukun dari suatu negara berdasarkan Rule of Law.

Negara hukum disebut “due Process Substancial” konsep yang masih asing bagi banyak pemimpin negara karena tidak punya “sense” untuk mengapresiasi, menghargai hak-hak fundamental dari masyarakat, sehingga karena ketidaktahuan masyarakat akan hak fundamental tersebut menyebabkan suburnya tindakkan pembiaran terhadap pelanggaran-pelanggaran hak, yang dilakukan sesama masyarakat dan terutama oleh pemerintah.

Negara Hukum memberikan penghargaan tinggi terhadap hak-hak.

Alasan sosiologis menghendaki adanya hukum yang mencerminkan nilai nilai kebudayaan dari suatu bangsa (latency), sedang alasan praktis, antara lain bersumber pada kenyataan bahwa biasanya bekas negara jajahan mewarisi sistem hukum dari negara yang menjajahnya dengan bahasa aslinya, baik melalui asas konkordansi, yurisprudensi dan doktrin yang ditanamkan oleh penjajah yang kemudian banyak tidak dipahami oleh generasi muda dari negara yang baru merdeka tersebut.

Hal ini dikarenakan negara yang baru merdeka tersebut ingin menjadikan sistem dan bahasanya sendiri sebagai sistem dan bahasa kesatuan sehingga bahasa dari negara penjajahnya hanya dimiliki oleh generasi yang mengalami penjajahan.
 
Pembaharuan dan pembangunan hukum pidana tidak dapat dilakukan secara ad-hoc (parsial) tetapi harus bersifat mendasar, menyeluruh dan sistemik dalam bentuk rekodifikasi yang mencakup tiga permasalahan pokok hukum pidana yaitu perumusan perbuatan yang bersifat melawan hukum (criminal act), pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) baik dari pelaku berupa manusia alamiah (natural person) maupun korporasi (corporate criminal responsibility) dan pidana serta tindakan yang dapat diterapkan.

Peraturan perundangan yang dapat menetapkan Politik Hukum adalah MPR RI, sesuai dengan Pasal 3 Ayat 1 UUD 45, DPR RI bersama Presiden berwenang mengajukan rancangan Undang-Undang, membahasnya untuk mendapatkan persetujuan bersama antara DPR RI dan selanjutnya disahkan oleh Presiden menjadi Undang-Undang.

Pasal 5 Ayat 1 dan 2 Juncto pasal 20 Ayat 1, 2, 3, 4 UUD 1945, Presiden berwenang menetapkan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (Perppu), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres) diatur dalam Pasal 22 ayat 1 Juncto Pasal 4 Ayat 1 dan Pasal 5 UUD 1945, dan Peraturan Daerah wewenang Daerah.

Menurut amandemen UUD 1945 Presiden atau Wakil Presiden dapat diberhentikan atau dimakzulkan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun terbukti tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai presiden oleh DPR dalam rangka fungsi pengawasan.

Pemerintahan Indonesia mengalami memiliki 7 Presiden mulai dari masa pemerintahan Orla kekuasaan dipimpin Oleh Presiden Soekarno (1945-1966), masa pemerintahan Orba kekuasaan dipimpin oleh Presiden Soeharto (1966-1998), masa Reformasi kekuasaan dipimpin oleh 5 orang Presiden BJ Habibie (1998-1999), Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001), Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014), Presiden Joko Widodo (2014-2024).

Dalam jabatan presiden sebagai kepala pemerintahan melekat hak-hak tertentu yang disebut hak prerogratif merupakan hak istimewa dari pihak eksekutif tanpa persetujuan pihak lain, maupun rekomendasi pihak lain sebagai contoh kewenangan presiden untuk memberikan grasi, amnesti, abolisi, rehabilitasi dan lainnya. 

Pembahasan


Masa yang paling berat mempertahankan kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan Era Presiden Soekarno terjadi perombakan kabinet sampai 26 kali karena baru merdeka. Lebih dari setengah abad lamanya, Politik hukum merupakan pilihan hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan, gunanya untuk mencapai tujuan Negara yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945, politik hukum merupakan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk.

Sunaryati Hartono pernah mengemukakan “tentang hukum sebagai alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional guna mencapai cita-cita bangsa dan tujuan Negara”.

Hukum sebagai alat melalui pemberlakuan atau menindakberlakuan hukum-hukum sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangan yang dihadapi masyarakat dan negara, saat ini pembahasan RUU KUHP tak kunjung rampung dibahas dan disahkan menjadi KUHP nasional. Bila dihitung periode kepemimpinan presiden, berarti sudah tujuh presiden berganti. Kalau dilihat berapa banyak menteri hukum dan HAM (dulu menteri kehakiman), sudah 13 kali pergantian menteri. Bahkan, tim penyusun yang pernah terlibat menyusun RKUHP, sekitar 17 orang telah wafat. Hal ini diungkap Guru Besar Universitas Diponegoro Prof. Barda Nawawi Arief pada Maret 2016 lalu.

Sejarah Rancangan KUHP Era Orde Lama

Era Orde Lama (Orla) dipimpin oleh Presiden Soekarno produk hukum diwarnai dengan kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan, konfigurasi politik otoriter era Orla negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijakan.

Pimpinan negara dominan untuk menentukkan arah kebijakan itu adalah satu doktrin yang membenarkan konsentrasi kekuasaan.  

Orla pernah menganut sistem parlementer atau dikenal juga dengan masa demokrasi liberal dan sistem demokrasi terpimpin, perkembangan partai politik di masa ini ditandai dengan yang menurut Miriam Budiardjo, peranan partai politik terbatas, berkembangnya pengaruh komunis, serta meluasnya perang ABRI dalam unsur politik.

Selain itu, Soekarno juga memangkas jumlah partai politik dari sebelumnya yang ada menjadi 10 partai. Soekarno melalui  jargonnya Nasakom menandai permulaan aksi Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk melebarkan sayap seluas-luasnya.

PKI mengalami kemajuan pesat karena mendapat dukungan penuh dari Presiden Soekarno. Sepuluh partai yang tersisa setelah pemangkasan jumlah partai politik melalui Perpres tahun 1959, saat itu Indonesia menganut sistem parlementer yang diwarnai tiga macam UUD sistem pemerintahan yang resmi dipakai.

Dalam praktiknya diberlakukan sistem parlementer, karena kesamaan konfigurasi konstitusional. Dalam Pasal 4 ayat 1 dan Pasal 17, sistem yang dianut UUD adalah presidensial, yaitu presiden menjadi kepala pemerintahan tapi tidak bertanggung jawab dengan DPR, menteri diangkat, diberhentikan, dan bertanggung jawab pada presiden, bukan pada DPR, dilihat dari ketentuan Pasal 6, bahwa presiden dipilih oleh MPR merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, semua anggota DPR adalah anggota MPR maka dapat dikatakan UUD menganut sistem parlementer.

MPR adalah penjelmaan seluruh rakyat Indonesia artinya sistem parlementer tidak murni, atau parlementer semu, hubungan antara lembaga negara adanya keseimbangan check anda balance yang khas antara pemerintah dan DPR sama-sama kuat, pola hubungan itu merupakan unsur terpenting dalam demokrasi Pancasila.
 
Pembaharuan hukum pidana pasca kemerdekaan, sejatinya sudah dimulai dengan diundangkannya UU 1/1946 yang diumumkan tanggal 26 Februari 1946 tentang peraturan hukum pidana.

Dalam Pasal 5 menegaskan, peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan, atau bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka, atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruh atau sebagian sementara tidak berlaku.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Wetboek van Strafrecht adalah peninggalan kolonial yang tidak sesuai dengan corak dan cara hidup bangsa Indonesia sebagai bangsa merdeka. Pandangan ini merefleksikan warisan pandangan para ahli hukum pada masa Orde Lama yang menginginkan nasionalisasi terhadap semua produk hukum peninggalan Hindia Belanda dan mendorong penggunaan pranata hukum adat sebagai sistem utama dalam upaya pembaruan dan pembentukan hukum nasional.

Muh. Yamin, dalam buku Sapta Darma menyebutkan, jaksa agung telah menyatakan KUHP yang digunakan untuk mendakwa Yamin sudah bersifat nasional karena tidak lagi memiliki sifat kolonial. Lembaga Pembinaan Hukum Nasional pada 1961 menerbitkan kertas kerja "Pokok-pokok dan Asas-asas Tertib Hukum Nasional", yang menyatakan semangat mewujudkan unifikasi dan kodifikasi hukum berdasarkan asas-asas hukum adat.

Lembaga itu mengkritik upaya tambal sulam dari pembaruan hukum sebagai ketidakmampuan untuk melepaskan diri dari sistem hukum barat.

Pada Seminar Hukum Nasional I di Semarang, tahun 1963, salah satunya membahas Rancangan KUHP (RKUHP) selain Rancangan KUHAP KUHPerdata, KUHDagang.

Seminar ini menjadi titik awal sejarah pembaruan KUHP di Indonesia, setahun kemudian mulai dirumuskan oleh tim pemerintah, substansi RKUHP yang ada saat ini sebagian masih mengacu hasil seminar tersebut diantaranya menambahkan ataupun perluasan delik-delik (tindak pidana) kejahatan keamanan negara (kejahatan ideologi); delik ekonomi; hukum adat (living law); delik kesusilaan.

Beberapa tahun terakhir, diadopsinya delik korupsi; delik penyebaran kebencian terhadap pemerintah; penghinaan kepala negara (presiden); contempt of court; kualifikasi delik penghinaan; dan beberapa delik yang selama ini tersebar di luar KUHP. 

Pembaruan hukum pidana nasional hanya membawa misi tunggal, yaitu membimbing masyarakat ke arah masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Manipol/USDEK, sehingga penyelesaian revolusi Indonesia dapat terjamin, dengan kata lain dekolonisasi hukum pidana.

Dalam Rancangan KUHP yang kini dibahas pemerintah, misi ini sudah berubah menjadi dekolonisasi, demokratisasi, konsolidasi, adaptasi, dan harmonisasi hukum pidana. Munculnya lima misi pembaruan hukum pidana itu tentu tidak lepas dari pengaruh dan perkembangan politik hukum ketika hukum difungsikan sebagai sarana pembangunan ekonomi.

Tindak pidana pemberantasan korupsi telah dimulai sejak Indonesia merdeka. Saat itu pada tahun 1950an, KUHP dianggap tidak dapat mengakomodir penanganan kejahatan korupsi yang terus berkembang. pada 1960an, parlemen saat itu berpikir penanganan korupsi harus ditangani dengan UU khusus. Pasalnya, korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa yang dapat merugikan perekonomian dan keuangan negara.

Era Orde Baru


Tercatat dalam sejarah pemerintah Orba menunjukkan Langgam Libertarian yang sebenarnya adalah langgam transisi sambil mencari format baru bagi konfigurasi politik. Orba menitikberatkan pada pembangunan ekonomi harus diamankan dengan “stabilitas nasional” sebagai prasyarat yang ternyata realisasinya menuntut langgam otoritarian, sejak mendapatkan format baru tahun 1969/1971, Indonesia menampilkan konfigurasi politik yang otoriter birokratis yang diperlukan untuk mengamankan jalannya pembangunan, produk hukumnya konservatif ortodoks.

Tragedi nasional G30S PKI pada bulan september tahun 1965 mengakibatkan Indonesia mengalami pergolakan.

Tiga kekuatan yang mendominasi selama orde lama kini tinggal satu yang tersisa setelah PKI dan presiden tersingkir melalui pembantaian antek-antek komunis serta melalui Supersemar.

Dari situ tongkat kekuasaan dipegang oleh Soeharto. Babak baru Indonesia dimulai dalam orde baru.
 
Strategi politik dalam masa orde baru menurut Ali Moestopo memiliki empat tahapan diantaranya “Tahap penghancuran PKI dan tahap konsolidasi pemerintahan dan pemurnian pancasila dan UUD 1945.

Era Orde Baru pada masa Presiden Soeharto menganut Demokrasi Pancasila, pemilu pertama pada masa orde baru dilaksanakan pada tahun 1971 diikuti 9 partai politik, karena PKI telah dibubarkan. Namun sebuah partai baru muncul dan ikut pemilu tersebut, yaitu Golongan Karya.

Partai ini menghimpun 300 buah organisasai fungsional yang dulunya tidak beriorentasi pada politik. Kehadirannya, oleh beberapa pihak disebut sebagai perpanjangan tangan dari ABRI, hal ini bisa dilihat dari sejumlah petinggi partai Golkar ini merupakan ABRI yang masih aktif di satuannya masing-masing.
Pada tahun 1973, terjadi peleburan partai politik melalui UU Nomor 3/1973. Pemerintah menyederhanakan partai politik.

Empat partai Islam, NU, Parmusi, Partai Sarikat Islam, dan Perti bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Lima partai lainnya, yaitu, PNI, Partai Kristen Indonesia, Partai Katholik, Partai Murba, dan IPKI bergabung menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Sehingga pada tahun 1977 hanya ada tiga partai politik yaitu, PPP, PDI dan Golkar. Dan hal ini bertahan sampai dengan pemilu tahun 1997, perwakilan tiga partai politik yang duduk di DPR RI. Era Orba UU Tipikor disahkan oleh DPR RI pada tahun 1971, rancangan ini disusun pertama kali pada masa pemerintahan Orde Baru, membawa pembaharuan politik hukum dari pemerintahan yang sentralistik dan tidak ramah terhadap hak asasi manusia.
 
Dalam pembahasan mengenai hukum yang hidup di masyarakat, tidak terpikirkan hal ini akan memicu munculnya 548 KUHP lokal (provinsi dan kota/kabupaten).

Menteri Hukum menegaskan bahwa alternatif pemidanaan nonpenjara. Rancangan ini juga masih mengekang kebebasan berekspresi, sesuatu yang telah kita nikmati sejak 1998. Meski upaya rekodifikasi KUHP patut diapresiasi, model ini punya tantangan khusus, umumnya dilakukan dalam waktu yang lama.

Perubahan secara mendasar juga sulit dilakukan tanpa mengganggu tatanan peraturan perundang-undangan terkait.

Dalam konteks politik, rekodifikasi juga akan membuat konsentrasi perhatian pemerintah, parlemen, dan masyarakat terpecah dengan munculnya berbagai isu, seperti tindak pidana santet, kumpul kebo, prostitusi, penghinaan presiden, dan korupsi. Bahkan, sejak pertama kali dibahas, upaya rekodifikasi sudah menemui kegagalan ketika, meski kejahatan terorisme sudah diatur dalam Rancangan KUHP tidak menghalangi pemerintah dan DPR mengamendemen Undang-Undang Terorisme dengan menambahkan jenis kejahatan baru.

Era Reformasi


Konfigurasi politik demokratis melahirkan hukum-hukum yang responsif aspiratif, memuat materi-materi secara umum sesuai dengan aspirasi dan kehendak masyarakat yang dilayaninya.

Produk hukum dapat dipandang sebagai kristalisasi kehendak masyarakat, produk hukum berkarakter responsif memuat hal-hal penting secara rinci sehingga sulit bagi pemerintah membuat penafsiran sendiri.

Fakta menunjukkan tidak ada negara yang selamat jika hanya menekankan pada salah satu unsur saja, diawal reformasi Indonesia setelah tumbang masa pemerintahan orde baru yang sangat totaliter tersebut, masyarakat Indonesia berpestapora dan oleh Presiden Habibie diberi peran yang sangat besar pada rakyat dalam politik dan pemerintahan, salah satu hasilnya adalah hilangnya Timor Timur, menjadi negara yang merdeka, sehingga di ikuti wilayah lainnya sepert Aceh Merdeka, gerakan Papua Merdeka, Maluku Selatan, dan gerakan Riau merdeka.

Yang menjadi poin terpenting adalah Pemerintahan Habibie sama berbahayanya dengan sistem pemerintahan yang menekankan pada stabilitas dan keamanan seperti yang terjadi diakhir masa Orla dan Orba.

Konstitusi merupakan dasar dari segala dasar hukum, karena itu konstitusi mengikat seluruh warga Indonesia, konstitusi merupakan perwujudan kehendak rakyat yang dibuat sewaktu negara itu didirikan, hak-hak fundamental dari rakyat umumnya tertulis dalam konstitusi, hak-hak tersebut tidak boleh dilanggar oleh siapapun termasuk pemerintah atau eksekutif. 
                                                                                                                                          Reformasi merupakan perjalanan historis bangsa Indonesia yang ditandai berakhirnya rezim orde baru, kebebasan mendirikan partai politik adalah bagian dari esensial hak konstitusional yang telah dirumuskan oleh founding father dalam UUD 1945 Ayat 3.
Peraturan perundang-undangan bidang politik tentu menggunakan prinsip “kemerdekaan berserikat dan berkumpul”, yang digariskan dalam konstitusi. Hal itu sejalan pula dengan pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik (civil and political rights) dalam instrumen hukum internasional yang kemudian dimasukkan dalam amendemen UUD 1945 dengan penyisipan Bab XA “Hak Asasi Manusia”.

Pada 1999, MPR saat itu menilai banyak ketidak puasan dengan UU khusus produk tahun 1971. Indonesia yang baru saja meninggalkan orde baru dan masuk ke era reformasi dibanjiri banyak kasus korupsi yang mencuat di permukaan.

Akhirnya pada tahun 2001, kembali dikeluarkan UU khusus yang mengatur penanganan korupsi tersebut. Tidak hanya itu, UU khusus itu juga dilengakapi dengan lembaga khusus yang menangani persoalan korupsi, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kepolisian dan kejaksaan dinilai kurang efektif dalam menangani kasus korupsi, UU yang mengatakan, dipertimbangan hukum mengatakan lembaga hukum yang ada tidak efektif dan efisien. Anggota Panja RUU KUHP Arsul Sani mengatakan, DPR memutuskan untuk mengambil jalan tengah.

DPR tetap memasukan tindak pidana korupsi ke RKUHP tapi tidak seluruh pasal di UU Tipikor, di KUHP,  dibuat suatu bab baru yang namanya tentang tindak pidana khusus. Ini bab yang menjadi bridging elemen antara KUHP dengan UU sektoral, RKUHP hanya mengambil 2 atau 3 pasal di setiap UU yang terkait dengan tindak pidana khusus, termasuk UU Tipikor.
 
Pasal-pasal tindak pidana khusus yang masuk ke RKUHP yaitu pasal yang dianggap core crime atau inti dari tindak pidana tersebut. Sejumlah ketentuan tindak pidana korupsi yang secara khusus sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31/1999 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang KPK turut dimasukkan ke dalam RUU KUHP.

Berdasarkan draf Februari 2017, Pasal 687 RUU KUHP senada dengan Pasal 2 UU Tipikor, Pasal 688 RUU KUHP senada dengan Pasal 3 UU Tipikor, Pasal 689 RUU KUHP senada dengan Pasal 4 UU Tipikor, dan sebagainya.

Terkait RUU KUHP-KUHAP ini, KPK telah mengirimkan surat kepada presiden, pimpinan DPR, dan pimpinan panitia kerja (panja) RUU KUHP dan KUHAP di DPR. Surat tersebut berisi rekomendasi agar pembahasan dua RUU itu dihentikan dan dibahas oleh DPR dan pemerintah periode 2014-2019.

Perkembangan RKUHP yang saat ini telah disampaikan Komisi III DPR kepada pemerintah sebanyak 2.394 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang terdiri dari 847 DIM substansi, 88 DIM baru, serta selebihnya adalah DIM yang bersifat meminta penjelasan, catatan redaksional, dan DIM yang bersifat tetap.

Kementerian Hukum dan HAM mengundang tim perumus KUHP untuk kembali mendiskusikan RUU KUHP yang menuai penolakan dari sejumlah kalangan.

Ketua Tim Perumus KUHP Muladi mengatakan, pihaknya siap untuk berdebat dengan KPK terkait RUU KUHP ini.

Ia menegaskan, pemerintah dan Tim Perumus RUU KUHP tidak pernah kongkalikong untuk melemahkan KPK, pembahasan draft RKUHP intensif dibahas antara Panitia Kerja (Panja) DPR dan tim pemerintah, berbagai masukan sejumlah elemen masyarakat sudah ditempuh baik melalui media maupun rapat dengar pendapat umum (RDPU).

Janji wakil rakyat pernah terlontar untuk segera merampungkan pembahasan RKUHP. Penundaan itu, sejak awal RKUHP memang tak luput dari kontroversi. Sebab, jika nantinya disahkan, keberadaan pasal-pasal di dalamnya berpotensi besar mengkriminalisasikan masyarakat dalam banyak hal.

RKUHP sendiri memuat dua bagian: Buku I dan Buku II. Buku I mengatur mengenai ketentuan umum yang menjadi landasan pemberlakukan hukum pidana di Indonesia. Landasan hukum tersebut ialah asas-asas hukum pidana, seperti asas legalitas, dasar pertanggungjawaban pidana, dasar penjatuhan pidana, pedoman, serta tujuan pemidanaan.

Buku II berisikan pengaturan tentang perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana. Ada sekitar 516 pasal ketentuan tindak pidana yang termaktub dalam Buku II.

KHUP juga menyoroti keberadaan rancangan yang tak berpihak pada kelompok rentan, khususnya perempuan.

Hal ini bisa dilihat lewat pasal perzinaan dan kumpul kebo. Dua pasal tersebut, dibuat tanpa pertimbangan yang matang dan berpotensi membahayakan 40 hingga 50 juta masyarakat adat serta 55 persen pasangan menikah di rumah tangga miskin yang selama ini kesulitan memperoleh dokumen perkawinan resmi, DPR berusaha memasukan kembali pasal penghinaan presiden ke dalam rancangan KUHP.

Panja DPR menyebut, pasal ini substansinya berbeda dengan pasal serupa yang pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Namun banyak yang menilai rencana menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden berpotensi mengancam demokrasi.

Periode DPR RI 2014-2019 tahun ini berakhir jika RKUHP tak selesai di masa periode tahun ini, maka pembahasan tak akan dimulai lagi sedari awal, bila masuk di periode selanjutnya. Pembahasan tetap berlanjut sesuai dengan alurnya, meskipun anggota di komisi hukum DPR berganti.

Kesimpulan


Negara Hukum atau Rule of Law membatasi kekuasaan penguasa negara agar tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk menindas rakyatnya (abuse of power, abuse de droit). Sehingga dalam Negara Hukum semua orang harus tunduk pada hukum secara sama, dan tunduk pada hukum yang adil, tiada seorangpun termasuk penguasa negara yang kebal terhadap hukum.

Konsep Negara Hukum sangat tidak menoleril UU baru di luar KUHP yang mengatur delik-delik khusus dan aturan-aturan khusus. Namun UU baru di luar KUHP itu, walaupun merupakan produk nasional, masih tetap berada dalam naungan aturan umum KUHP.

Jika dilihat dalam kerangka sistem, asas-asas dan dasar-dasar tata hukum pidana dan hukum pidana kolonial (KUHP) masih tetap bertahan dengan “selimut dan wajah Indonesia”.

Undang-Undang khusus itu membuat aturan khusus yang menyimpang dari aturan induk KUHP, namun dalam perkembangannya, UU khusus itu tumbuh seperti tumbuhan (kecil) liar yang tidak bersistem (tidak berpola), tidak konsisten, bermasalah secara yuridis, dan bahkan menggerogoti bahkan mencabik-cabik sistem induk.

Kondisi ini merupakan salah satu alasan yang melatarbelakangi perlunya menata ulang (rekonstruksi) keseluruhan bangunan sistem hukum pidana nasional dalam bentuk kodifikasi dan unifikasi nasional yang integral.

Setelah pembahasan di Panja ada Pandangan Fraksi untuk mengambil sebuah keputusan, kajian, atau masukkan dari masing-masing fraksi soal setuju atau tidaknya dengan RKUHP, dan juga presiden yang pada prinsipnya untuk mendapatkan persetujuan bersama.

Dua tujuan yang ingin dicapai oleh hukum  pidana yaitu “perlindungan masyarakat” dan “kesejahteraan masyarakat”. Kedua tujuan tersebut sebagai batu landasan (acornerstone) dari hukum pidana dan pembaruan hukum pidana. Selain itu terdapat pula tujuan ikut sereta menciptakan ketertiban dunia sehubungan dengan perkembangan kejahatan Internasional. rmol news logo article

Oleh Prihatin Kusdini


Penulis adalah mahasiswa Program Doktoral Universitas 17 Agustus 1945.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA