Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Menyaksikan Hebatnya Permainan Watak Jokowi

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/hersubeno-arief-5'>HERSUBENO ARIEF</a>
OLEH: HERSUBENO ARIEF
  • Sabtu, 19 Januari 2019, 16:19 WIB
Menyaksikan Hebatnya Permainan Watak Jokowi
SIAPAPUN yang sempat menyaksikan debat pertama pasangan capres-cawapres Kamis (17/1) malam,  bisa menyaksikan salah satu “kehebatan” Jokowi, yakni “pengendalian diri.” Sebuah permainan watak luar biasa yang hanya bisa dimainkan oleh para aktor kawakan kelas atas.

Puncak “kehebatan” Jokowi terlihat ketika menjawab pertanyaan soal strategi mengatasi politik berbiaya tinggi.

“Untuk pejabat-pejabat birokrasi, rekrutmen harus dilakukan transparan, sederhana, dengan standar-standar yang jelas. Dan untuk jabatan-jabatan politik, perlu sebuah penyederhanaan sistem, di dalam sistem kepartaian kita. Sehingga Pemilu menjadi murah,” ujar Jokowi.
 
Jokowi memberi  contoh ketika pemilihan Wali Kota Solo. Ia mengatakan, betul-betul menggunakan anggaran begitu sangat kecil. Jokowi juga mengaku tidak mengeluarkan dana ketika maju pada Pilgub DKI 2012.

“Ke partai pun, waktu pemilihan gubernur di DKI Jakarta saya tidak mengeluarkan uang sama sekali. Pak Prabowo pun juga tahu mengenai itu. Ketua partai pendukung pun juga tahu mengenai itu,” ucap Jokowi.

Silakan putar kembali rekaman debat yang banyak bertebaran di medsos. Jokowi mengucapkan itu dengan ekspresi  datar dan tanpa rasa bersalah. Dia mengucapkan hal itu di depan Prabowo dan adiknya Hashim Djojohadikusumo yang malam itu duduk persis di hadapannya.

Keduanya hanya hanya bisa terbengong-bengong. Bingung, kaget seakan tidak percaya. Kok bisa Jokowi mengucapkan itu tepat di depan mata mereka?
Bolehlah Jokowi mengucapkan hal itu di depan ratusan juta penonton televisi. Tapi langsung di depan Prabowo dan Hashim? Hanya orang super hebat yang berani melakukannya.

Apa ada yang salah dengan ucapan Jokowi? Jokowi tak sepenuhnya salah. Benar dia tak mengeluarkan uang sepeserpun dari kantongnya sendiri. Hashimlah yang mengeluarkan dana ratusan miliar untuk membiayainya, atas permintaannya.
Banyak saksi  hidup yang bisa bercerita soal ini. Salah satunya adalah  Nicholay Aprilindo sahabat Jokowi dan orang dekat Hashim.
 
Jokowi menerima bantuan dana dari Hashim berkali-kali. Uang itu di antar langsung oleh Nicho dan beberapa orang lainnya. Ada yang dalam kantong kresek, ada pula yang diantar dalam koper. “Kami antar langsung ke Jokowi di rumah pemenangan. Jumlahnya kalau ditotal bisa ratusan miliar,” ujarnya.

Nicho sangat geram melihat Jokowi tega berkata seperti itu. “ Dia berbohong. Banyak saksi mata yang masih hidup,” tegasnya.

Cerita bermula  pada 2008. Jokowi mengundang Nicho ke rumah dinas wali kota Solo, Loji Gandrung. Jokowi minta dikenalkan kepada  Hashim Djojohadikusumo.
Nicho segera mengatur pertemuan. Pada saat itu, Jokowi memaparkan kesuksesannya jadi wali kota Solo kepada Hashim dan meminta dibantu untuk jadi gubernur di DKI Jakarta.

Singkat kata Hashim tertarik.  Namun menyarankan agar Jokowi mencalonkan diri sebagai gubernur Jateng. Jokowi bersikeras ingin menjadi  gubernur DKI.  Hashim akhirnya setuju dan bersedia mendukungnya.
 
Persoalan dana sudah selesai. Hashim yang akan menyediakan.  Masalahnya Gerindra tidak bisa mengusung sendirian. Kuncinya ada di PDIP tempat Jokowi bernaung. Saat itu PDIP hampir pada keputusan mendukung gubernur incumbent Fauzi Bowo (Foke). Politisi senior PDI Taufik Kiemas suami Megawati ingin memasangkannya dengan Mayjen TNI (Purn) Adang Ruchiatna.
 
Kalkulasi Taufik sangat masuk akal. Elektabilitas Foke sangat tinggi. Dia bersedia menanggung semua pembiayaan kampanye. Foke juga sudah memasuki periode kedua. Jadi dengan mendukung Foke dan menempatkan kadernya, PDIP akan sangat diuntungkan.
 
Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum kepada media juga sudah mengumumkan partainya akan berkoalisi dengan PDIP mengusung Foke-Adang.

Secara politis sesungguhnya peluang Jokowi sudah tertutup. Tak punya modal, elektabiltas rendah, dan di lingkungan PDIP belum menjadi tokoh yang diperhitungkan. Disitulah Prabowo melakukan manuver.

Dia menemui Megawati dan meyakinkannya untuk mengusung Jokowi. Ketika Megawati mengeluh tak punya dana, Prabowo menyatakan akan menanggungnya.
Jadilah Jokowi dipasangkan dengan Ahok sebagai paslon  yang diusung PDIP-Gerindra. Ahok anggota DPR RI Golkar kemudian di naturalisasi menjadi kader Gerindra.
 
Peran Prabowo selain menjadi mak comblang, juga menyediakan “maharnya,” sekaligus menyiapkan resepsi pesta pernikahannya. Keduanya terima bersih dan tinggal duduk manis di pelaminan. Jokowi-Ahok sukses mengalahkan Foke-Nachrowi.

Prabowo dalam suatu kesempatan sekilas pernah mengakui perannya itu. “ Saya yang bawa beliau dari Surakarta. Saya yang meyakinkan Ibu Mega,” ujarnya. Namun dia tak mau bercerita lebih banyak.

Pengakuan Prabowo dibenarkan Jokowi. Namun menjelang Pilpres 2014 Jokowi mencoba  mengaburkan peran Prabowo. "Semua punya peran. Masyarakat punya peran, simpatisan pun ada peran, apalagi partai sangat berperan. Ya tapi, yang bawa saya ke Jakarta bukan siapa-siapa. Kan itu PDI Perjuangan” ujarnya di Balaikota DKI (27/3/2014).
 
Smoke And Mirrors

Masih banyak “kehebatan” pribadi Jokowi yang bisa kita saksikan dalam debat capres beberapa hari lalu. Dalam salah satu sesi Jokowi mencecar Prabowo soal adanya  mantan napi korupsi yang dicalonkan kembali oleh Gerindra.

Melihat Prabowo cukup kelabakan, Jokowi kembali mencecar Prabowo dan mengulang pertanyaannya. Dia merasa sangat yakin karena data itu katanya diambil dari Indonesian Coruption Watch (ICW). Dalam sesi ini Jokowi kelihatan sangat superior dan berada di atas angin.

Media belakangan mengungkap, 6 orang itu merupakan caleg Gerindra untuk DPRD di beberapa daerah. Pengajuannya menjadi kewenangan dan tanggung jawab Ketua DPD I dan II. Tidak melalui pintu Prabowo sebagai ketua umum.

Kepada media soal caleg mantan napi koruptor ini Jokowi juga jelas sangat  mendukung. Dia menyatakan tidak setuju dengan KPU yang mengeluarkan larangan dan minta aturan itu ditelaah lagi.
 
"Kalau saya, itu hak. Hak seseorang berpolitik. Konstitusi sudah menjamin untuk memberikan hak kepada seluruh warga negara untuk berpolitik, termasuk mantan napi kasus korupsi,” tegasnya.

Hebat! Jokowi berani menggunakan isu caleg eks napi koruptor  itu untuk menyerang Prabowo. Padahal dia sendiri mendukungnya. Sebaliknya cawapres Sandiaga Uno mengaku dilarang Prabowo untuk menyerang Jokowi.
 
Sandi mengaku akan mempertanyakan kasus penyidik KPK Novel Baswedan yang disiram air keras pada 11 April 2017. Novel harus menjalani perawatan panjang di Singapura dan matanya kirinya buta. Sudah hampir dua tahun berselang kasus itu belum juga terungkap.

“Terus terang (isu Novel Baswedan) ada di dalam note saya untuk diangat. Tapi Pak Prabowo bilang (jangan),” ujar Sandi.
 
Menonton Jokowi pada debat capres mengingatkan kita pada artikel yang ditulis seorang wartawan asing John McBeth berjudul “Widodo’s smoke and mirrors hide hard truths.

Dengan difasilitasi oleh media-media yang sebagian besar sudah dikooptasi oleh pemerintah,  tulis McBeth di laman atime.com edisi 23 Januari 2018, Jokowi telah berubah menjadi seorang master  permainan Smoke and mirrors.

Sebuah permainan tipuan “asap dan cermin” yang banyak digunakan oleh para pesulap. Dia meyakinkan publik telah melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak dia lakukan.
 
Pada kasus Prabowo dia melakukan sebaliknya. Dia mencoba mengelabui publik dengan menyembunyikan apa yang telah dia lakukan dan menisbahkannya kepada orang lain. Hebatnya hal itu dengan sangat berani dilakukan di depan Prabowo dan Hashim.

Salut dan selamat! Anda memang layak mendapat “bintang” Pak Jokowi! [***]

Penulis adalah pemerhati ruang publik. Artikel ini dikirim untuk Kantor Berita Politik RMOL.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA