Soal inilah yang
kini tengah banyak disoroti dan digugat oleh sejumlah aktivis hak asasi
manusia. Seruan agar Indonesia segera turun tangan, atau setidaknya
mengambil prakarsa ikut menekan pemerintah Cina, bergema di media
sosial. Namun harapan itu tampaknya akan sangat sulit terwujud. Seorang
netizen menulis status menohok “Muslimin Uigur maafkan kami. Pemerintah
kami sedang tidur.â€
Lemahnya kompetensi Jokowi, membuat Indonesia
saat ini menjadi negara yang kurang diperhitungkan dalam diplomasi
internasional. Sepanjang periode pemerintahannya, Jokowi malah menarik
diri dari forum-forum internasional. Dia terkesan sangat nyaman
berlindung dalam “tempurung†aktivitas dalam negeri. Peran Indonesia
sangat jauh bila dibandingkan dengan era Soekarno, Soeharto, Habibie,
maupun SBY.
Hubungan dengan Cina yang disebut oleh Menko Maritim
Luhut Panjaitan “tengah mesra-mesranya,†makin membuat Indonesia sulit
untuk diharapkan berani bersikap keras atas negara tirai bambu itu.
Posisinya
sangat berbeda dengan negara-negara Barat yang juga punya hubungan
dagang sangat besar dengan Cina. Laman The economist.com edisi 22
November 2018 menurunkan sebuah laporan, negara-negara Barat saat ini
tengah meningkatkan tekanan terhadap pemerintah Cina.
Dengan
judul “The West begins to stir over China’s massive abuse of Muslims,â€
The Economist melaporkan 14 negara Barat yang dipimpin Kanada mengirim
para duta besarnya untuk menekan pemerintah Cina.
Bagi
negara-negara Barat, situasi tersebut bukannya tidak menimbulkan dilema.
Simon Tisdall dalam artikel berjudul â€China’s pitiless war on Muslim
Uighurs poses a dilemma for the west,†pada laman The guardian.com
menilai saat ini hubungan negara Barat dengan Cina tengah memasuki “era
emas,†perdagangan dan ivestasi. Hal itu ditunjukkan dengan kedatangan
PM Inggris Theresa May ke Beijing, Februari lalu.
Namun pada saat
bersamaan, keyakinan mereka atas nilai-nilai hukum internasional yang
telah lama mereka junjung tinggi, dihancurkan oleh rezim pemerintahan
Cina. Dilema itulah yang menjelaskan mengapa kemudian negara Barat,
ramai-ramai menekan Cina.
Berdasarkan laporan yang dikumpulkan
oleh Komisi Tinggi HAM PBB, Cina melakukan langkah sistematis
menghancurkan dan menghilangkan eksistensi etnis Uigur. Selain menangkap
dan memasukkan mereka ke kamp konsentrasi, anak-anak Uigur dimasukkan
ke sekolah-sekolah indoktrinasi Partai Komunis, banyak wanita Uigur yang
dipaksa menikah dengan pria etnis HAN.
Pada bulan Ramadhan
mereka dilarang berpuasa, pelaksanaan ibadah dan perayaan keagamaan umat
Islam mulai dibatasi. Pemerintah Cina berdalih kamp itu dibuat guna
menekan radikalisme di kalangan etnis Uighur. â€Kami ingin supaya Cina
bersikap serius dengan masalah ini," kata Komisioner Tinggi Hak Asasi
Manusia PBB, Michelle Bachelet, seperti dilansir CNN, Kamis (6/12).
Jokowi Sering AbsenSebagai
negara dengan komunitas Islam terbesar di dunia, sangat wajar bila
banyak yang yang berharap Indonesia menjalankan perannya. Apalagi
Indonesia saat ini mempunyai hubungan yang sangat akrab dengan Cina.
Sayangnya
sejak pemerintahan Jokowi, peran Indonesia di dunia internasional
semakin lemah. Bahkan dalam skala regional Asean peran Indonesia sebagai
big brother juga mulai melemah, digantikan Singapura dan Malaysia.
Kembalinya Mahathir Muhammad sebagai PM Malaysia, semakin meminggirkan
peran Jokowi. Secara aura dia kalah jauh.
Indonesia semakin
kurang diperhitungkan seiring sikap pribadi Jokowi yang terkesan
menghindari berbagai forum internasional. Sampai saat ini Jokowi sudah
absen sebanyak empat kali dalam gelaran Sidang Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa (SU PBB). Kehadirannya banyak diwakilkan kepada Wapres
Jusuf Kalla.
Media mencatat Jokowi sebagai seorang kepala negara
yang paling banyak “membolos†dari SU PBB. Dia mengalahkan Presiden
Rusia Vladimir Putin dan Presiden Cina Xi Jinping yang masing-masing
tidak hadir sebanyak dua kali. Namun agak berbeda dengan Putin dan
Jinping yang punya alasan politis, Jokowi selalu menjadikan kesibukan di
dalam negeri sebagai alasan.
Jokowi kembali tidak hadir dalam
KTT negara-negara G-20 yang berlangsung di Argentina akhir November
lalu. Kehadirannya kembali diwakili oleh Wapres Jusuf Kalla. Bagi
Indonesia sesungguhnya keanggotaan di G-20 sangat prestisius. Forum
tersebut beranggotakan 19 negara dengan ekonomi terbesar di dunia,
ditambah Uni Eropa.
Indonesia adalah satu-satunya negara Asean
yang masuk menjadi anggota G-20. Sementara untuk Asia, Indonesia adalah
salah satu dari enam negara bersama Arab Saudi, Cina, India, Korea
Selatan, dan Jepang.
Sebelum Jokowi berkuasa, Indonesia dikenal
sebagai negara yang sangat aktif di kancah internasiaonal. Hal itu
sesuai dengan amanat dalam Pembukaan UUD 45 bahwa tujuan Indonesia
merdeka selain melindungi segenap tanah tumpah darah Indonesia, juga
ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Amanat ini dijalankan dengan
sangat baik oleh para kepala negara sejak Indonesia merdeka. Presiden
pertama Bung Karno di tengah berbagai keterbatasan negara Indonesia,
dikenal sebagai figur yang sangat berpengaruh di dunia.
Bersama
Jawaharlal Nehru (India), Josip Broz Tito (Yugoslavia) , Gamal Abdul
Nasir (Mesir) dan Kwame Nkrumah (Ghana), Bung Karno mendirikan Gerakan
Non Blok (GNB) pada 1 Septemer 1961 di Beograd, Yugoslavia. GNB dibentuk
oleh negara-negara berkembang untuk keluar dari bayang-bayang negara
Blok Timur dan Barat.
Era Soeharto ditandai dengan berdirinya
Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara (Asean) pada 8 Agustus 1967
dengan kantor pusat di Jakarta. Indonesia juga memainkan peran besar
sebagai “Saudara besar†di Asean. PM Malaysia Mahathir Muhammad dan PM
Singapura Lee Kuan Yew dua tokoh besar pada masanya, selalu
berkonsultasi kepada Pak Harto ketika akan mengambil keputusan penting
berkaitan dengan Asean.
Indonesia juga memainkan peran penting
sebagai penengah dalam konflik di Mindanau Selatan, Filipina. Konflik
antara gerakan kelompok muslim MNLF dengan pemerintah Filipina itu
ditengahi Indonesia sejak 1993 dan berakhir dengan kesepakatan damai
pada 2 September 1996.
Pada era Soeharto Indonesia juga termasuk
negara di dunia yang paling awal mengakui kemerdekaan Palestina (1988).
Kedutaan besar Palestina kemudian dibuka di Jakarta pada 19 Oktober
1989.
Di Era Susilo Bambang Yudhoyono, MNLF kembali bertikai
dengan pemerintah Filipina (2013), Indonesia juga kembali diminta
sebagai penengah. Selain itu Indonesia juga menjadi penengah dalam
konflik bersenjata di Lebanon dan sejumlah negara lainnya.
Pada
masa Jokowi peran diplomasi internasional semakin surut. Pada saat
terjadi genosida terhadap muslimin Rohingya di Myanmar, peran pemerintah
Indonesia banyak dikritik, karena kalah jauh dibandingkan
lembaga-lembaga kemanusiaan di dalam negeri.
Sekarang peran
Indonesia kembali dipertanyakan dengan memburuknya situasi di Xinjiang,
Cina. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia tidak pada
tempatnya Indonesia berdiam diri.
Bagi Jokowi yang tengah
berjuang untuk menduduki kursi kepresidenan yang kedua kali, sudah
seharusnya isu muslim Uigur menjadi ‘jualan†penting untuk meraih
simpati pemilih Islam.
Sayangnya melihat pola hubungan Indonesia
yang tidak setara dengan Cina, dan lemahnya kompetensi Jokowi dalam
diplomasi internasional, sangat sulit berharap Jokowi dapat memainkan
peran yang lebih besar.
Dalam berbagai forum internasional yang
dihadiri, Jokowi terlihat sering sangat kikuk dan tidak nyaman berada di
tengah-tengah para pemimpin dunia.
Dalam kunjungannya ke
Amerika Serikat dan bertemu Presiden AS Donald Trump, Jokowi terlihat
berdialog, bahkan bercanda dengan menggunakan teks.
https://www.youtube.com/watch?v=HN7j7oau1io
Video Jokowi
berbicara dalam bahasa Inggris yang “aneh†dengan mudah kita temukan
bertebaran di youtube. Terkesan Jokowi sangat memaksakan diri. Padahal
dalam undang-undang diatur seorang presiden sebenarnya diwajibkan
menggunakan bahasa nasional Indonesia ketika menyampaikan pidato di
forum internasional.
UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera,
Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, mengatur kewajiban
itu. Aturan itu kemudian dijabarkan secara lebih rinci dalam Perpres
Nomor 16 tahun 2010.
Keberadaan seorang presiden terhadap posisi
sebuah negara di mata internasional sangat besar pengaruhnya. Semakin
berkelas dan berpengaruh seorang presiden, semakin besar pula pengaruh
sebuah negara.
Presiden adalah representasi sebuah negara. Bagaimana seorang presidennya, seperti itulah negaranya.
[***]Penulis adalah pemerhati ruang publik. Artikel ini dikirim penulis untuk Kantor Berita Politik RMOL