Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Ekosistem Reformasi Adalah “Kolam Susu” Aksi Subversi dan Terorisme

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/haris-rusly-moti-5'>HARIS RUSLY MOTI</a>
OLEH: HARIS RUSLY MOTI
  • Senin, 14 Mei 2018, 11:28 WIB
Ekosistem Reformasi Adalah “Kolam Susu” Aksi Subversi dan Terorisme
Haris Rusly Moti/Net
MENGAWALI tulisan ini, izinkan kami menyampaikan turut berbelasungkawa atas wafatnya sejumlah jemaah gereja dan anggota Polri yang menjadi korban teror bom bunuh diri di Surabaya maupun sebelumnya di Mako Brimob.

Kami turut mengutuk aksi terorisme yang keji dan biadab yang ditujukan kepada umat beragama yang sedang menjalani kebaktian. Apapun motivasi yang melatarinya, tindakan teror seperti itu tetap tidak bisa dibenarkan.

“Terorisme, jika diibaratkan sebagai sebuah pohon, maka para teroris hanya merupakan daun-daun dari pohon tersebut. Batang dan ranting-ranting pohon merupakan organisasinya, serta filsafat dan ideologi adalah akarnya”.

Demikian pandangan yang disampaikan oleh Prof. DR. Jenderal (Purn) Hendropriyono dalam buku Terorisme, Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam (Penerbit Kompas, 2009).

Pendekatan dari segi filsafat dan ideologi dalam membedah tindakan terorisme yang disampaikan oleh Prof. Hendro tersebut tentunya tetap menarik secara akademik.

Hipotesa yang diajukan cukup sederhana, tidak ada gerakan radikal yang tidak berlandaskan pada cara pandang yang radikal dalam melihat sebuah keadaan. Dengan kata lain, cara pandang yang radikal adalah dasar bagi sebuah aksi yang radikal dan militan.

Pandangan seperti itu nampaknya yang menjadi acuan dasar dan arah dari “projek” deradikalisasi yang dijalankan saat ini. Projek deradikalisasi adalah sebuah kontra-terorisme yang dijalankan melalui operasi mindset.

Berangkat dari pandangan yang mengatakan bahwa aksi terorisme berakar dari paham agama yang radikal. Maka, untuk mencegah aksi terorisme, dilakukan operasi mindset untuk men-deradikalisasi paham dalam beragama.

Deradikalisasi sendiri tentunya dimaksudkan untuk tujuan memoderasi ideologi atau paham radikalisme beragama yang manjadi akar yang menumbuh suburkan pohon terorisme.

“Kolam Susu” Subversi

Ada banyak sebab yang melatarbelakangi munculnya sebuah gerakan ekstrem. Diantaranya adalah sebab ideologi radikal sebagaimana tesis yang dikemukakan oleh Prof. Hendro di atas.

Sebab lainnya bisa juga dilatarbelakangi oleh subversi atau serangan kepentingan asing dengan menggunakan tangan-tangan di dalam negeri, baik tangan teroris, tangan politisi, tangan aktivis dan jurnalis, maupun tangan pejabat negara.

Subversi asing melalui aksi terorisme merupakan salah satu warfare yang sering sekali dipakai, ketimbang pilihan pada aksi militer yang beresiko putusnya hubungan diplomatik.

Jika terorisme adalah salah satu bentuk serangan subversi asing, maka tindakan pencegahan melalui projek deradikalisasi rasanya sulit untuk menghentikan aksi aksi teror tersebut.

Karena itu, perlu juga kita cermati secara jujur, terkait ekosistem atau lingkungan sosial politik yang menjadi faktor utama yang menyuburkan cara-cara ekstrem seperti aksi terorisme.

Jika kita belajar pada hukum alam, ada banyak jenis pohon dan tumbuhan lainnya yang hanya bisa tumbuh sesuai dengan ekosistemnya. Ada jenis pohon yang dapat tumbuh di atas bebatuan, tapi ada juga jenis tumbuhan yang benihnya mati seketika jika digeletak di atas bebatuan.

Demikian juga ada bibit, benih dan akar dari jenis pohon tertentu yang hanya bisa tumbuh subur di dalam sebuah ekosistem dengan tanah yang subur. Di atas tanah yang gersang, tidak memungkinkan tumbuhnya benih dan akar dari pohon tertentu secara subur.

Jika terorisme diibaratkan seperti pohon, maka terorisme dan berbagai bentuk paham radikal lainnya adalah jenis pohon yang benih dan akarnya hanya dapat tumbuh subur di dalam ekosistem yang liberal, apalagi disertai oleh ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan sosial.

Ekosistem negara reformasi yang sangat liberal saat ini dapat dikatakan sebagai ladang subur bagi tumbuhnya benih, bibit dan akar dari paham radikal dalam beragam jenisnya.

Di atas medan ekosistem yang liberal, timpang dan tidak adil, dapat diibaratkan persis seperti tanah yang subur secara alami. Benih, bibit dan batang dari berbagai jenis paham radikal, maupun potensi subversi asing, cukup digeletak di atas tanah, otomatis akan tumbuh subur dengan sendirinya.

Di dalam ekosistem yang liberal, timpang dan tidak adil, setiap jenis benih, bibit dan batang dari pohon atau tumbuhan lainnya dapat tumbuh tanpa perawatan khusus.

Persis seperti lirik lagu Kolam Susu yang dinyanyikan oleh Koes Plus, “...Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu. Tiada badai tiada topan kau temui. Ikan dan udang menghampiri dirimu. Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman…”

Lirik lagu tersebut memang menggambarkan secara filosofis tentang ekosistem dan atmosfir dari tanah Indonesia yang sedemikian suburnya, hingga tongkat yang digelatakan tanpa sengaja saja, dapat tumbuh secara subur.

Lirik lagu “kolam susu” tersebut dapat dijadikan metafora untuk menggambarkan kesuburan alam reformasi yang sangat liberal dan liar, yang memungkinkan tumbuh suburnya paham radikal yang bertentangan dengan ideologi Pancasila.

Situasi reformasi yang liberal dan liar itu makin diperparah lagi baik oleh revolusi digital maupun oleh kebijakan Presiden Joko Widodo yang mengeluarkan kebijakan bebas visa kepada 169 negara.

Indonesia berubah menjadi hutan rimba dengan hukum rimba. Subversi asing, pertarungan antat kepentingan ideologi, hingga kejahatan transnasional bergumul dan bertarung di atas tanah tanpa sistem dan tak bertuan.

Meninjau Deradikalisasi


Kembali kepada tesis dari Prof. Hendropriyono yang menjadi dasar bagi projek deradikalisasi. Pertama, benar bahwa setiap gerakan radikal pasti berbasis pada paham atau ideologi yang radikal. Namun, perlu diluruskan tidak semua aksi terorisme berdiri di atas paham atau ideologi radikal. Bisa juga dilatarbelakangi oleh aksi subversi asing.

Kedua, pendekatan deradikalisai dengan memoderasi paham radikal dalam beragama terbukti tak efektif lagi mencegah tumbuh suburnya paham yang membenarkan aksi teror yang mengatasnamakan agama.

Apalagi pendekatan represif, justru malah menimbulkan dendam dan menambah makin kuat keyakinan terhadap paham atau ideologinya.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa segala jenis paham atau ideologi itu hanya bisa tumbuh di atas ekosistem yang liberal, liar dan disertai ketimpangan seperti di alam reformasi saat ini.

Karena itu, jika deradikalisasi hanya diarahkan untuk memoderasi, mematikan atau memotong akar ideologi dari pohon terorisme, pertanyaannya berapa juta pohon yang mesti dideradikalisasi?

Bukankah di alam reformasi yang liberal dan disertai kebijakan bebas visa kepada 169 negara yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo, benih atau batang dari paham yang bertentangan dengan Pancasila cukup digeletak di atas tanah bisa tumbuh dengan sendiri.

Karena itu menurut pandangan kami, deradikalisasi itu mestinya diarahkan melalui jalan menata ulang sistem negara, merekayasa ekosistem sosial dan politik negara, sehingga benih, bibit atau akar dari beragam jenis paham radikal dan subversi asing tak bisa tumbuh.

Sebetulnya konstitusi negara UUD 1945 yang dirancang oleh pendiri bangsa itu adalah sebuah rekayasa ekosistem negara, agar pembangunan karakter bangsa dapat dicapai sebagai benteng kepribadian dalam menangkal paham radikal dan subversi asing.

Karena itu sekali lagi, untuk mencegah perang saudara dan jatuhnya korban berikutnya. Marilah kita menyadari untuk segera kembali ke nilai nilai Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi 1945, Pancasila dan UUD 1945 yang asli sebagai operasional sistemnya. [***]

Penulis adalah eksponen gerakan mahasiswa 1998 yang juga Kepala Pusat Pengkajian Nusantara Pasifik (PPNP)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA