Rakyat jelata pergi ke ladang, mencari rumput untuk ternaknya atau memikul gabah yang baru saja dipanennya.
Rakyat jelata pergi ke pabrik, upah mepet, badan remuk dan tenaga terkuras.
Rakyat jelata membuka lapak dagangan, mencari untung 10 ribu perak untuk tiap barang yang dijajakan.
Rakyat jelata tidak banyak yang memiliki kendaraan roda empat, cukup motor kreditan atau beli bekas.
Rakyat jelata tidak nongkrong di Hard Rock Cafe, cukup kopi yang diaduk isteri di dapur.
Rakyat jelata tidak pergi berseminar di hotel bintang lima, mereka hanya mengunjungi rumah tetangga yang sama sederhananya.
Kesemuanya itu, cara hidup rakyat itu, sungguh tampak jauh dari menggairahkan, bahkan mungkin sangat mengerikan.
Dan inilah salah satu phobia intelektual di Indonesia. Phobia menjadi rakyat jelata, hidup sebagaimana cara hidup rakyat kebanyakan.
Pada titik ini, diakui atau tidak, intelektual Indonesia sebenarnya telah membangun garis demarkasi yang tegas dan angkuh.
Garis demarkasi yang memisahkan diri mereka dengan kebanyakan rakyat, sejak dalam fikiran ! Garis batas yang menceraikan teori dengan praktek, memenggal ucapan dengan tindakan.
Ide berhenti dalam fikiran dan tulisan.
[***]
Samali,13 Januari 2018
Agung NugrohoKetua Relawan Kesehatan (Rekan Indonesia) Agung Nugroho
BERITA TERKAIT: