Intinya, David Jenkins memberikan gambaran, siapa saja yang menjadi orang-orang kepercayaan Jenderal Soeharto di era awal rezim Orde Baru tersebut.
Secara tersirat, David menasehatkan, bagi siapa yang ingin berhubungan dengan Indonesia, agar tahu persis siapa yang harus didekati agar bisa masuk sampai ke ruang pribadi Presiden Soeharto.
Sebab dalam cara Soeharto memerintah, tidak sama dengan sistem negara Barat. Cara Soeharto, tidak semua yang kelihatan itu lalu punya kewenangan dan kekuasaan.
Contohnya lembaga MPR dan Ketua MPR.
Secara konstitusional, MPR merupakan Lembaga Tertinggi Negara saat itu. Artinya Ketua MPR, kekuasaannya di atas Presiden Soeharto. Tapi nyatanya kan, Ketua MPR tak lebih dari seorang "pion". Siapa yang menjadi Ketua Lembaga itu bahkan ditentukan oleh Presiden Soeharto.
Gambaran itu diberikan dari sudut pandang negara Barat, Australia, yang sistem politik dan demokrasinya berbeda dengan Indonesia.
Sayangnya tanpa pemahaman yang komprehensif, David Jenkins dicekal. Dia dianggap menulis opini yang tidak didasarkan pada fakta.
Keluhan inilah yang disampaikanya kepada saya, ketika di tahun 1984 kami bertemu di Sydney.
Namun David menyadari tindakan Jakarta. Sebab tulisannya terbit hampir bersamaan dengan terbunuhnya 5 wartawan Australia di Balibo, Timor Timur.
Media-media Australia khususnya dan negara-negara anggota persemakmuran (Commonwealth) pada umumnya, tak henti-hentinya memberitakan tragedi itu dengan tuduhan, pelakunya adalah anggota militer Indonesia.
Begitu detilnya persoalan itu diberitakan oleh media Australia dan kawan-kawan. Sebab nama seorang Jenderal bintang tiga dari Resimen Baret Merah yang saat itu masih berpangkat Kapten, terus-terusan disebut.
Bahkan ketika Jenderal ini dipercaya menjadi Menteri di era Presiden Habibie, namanya terus dipersoalkan oleh kalangan pejuang HAM. Jenderalnya membantah, tetapi bantahannya tak bisa merubah tuduhan.
Ada yang bilang, media Australia bisa mendeteksi tragedi itu, karena disuplai informasi oleh intelejens Australia. Intel Australia memantau gerak-gerak pasukan Indonesia di Timtim, lewat satelit, penginderaan jarak jauh.
Media dari negara persemakmuran, negara yang semuanya berbahasa Inggeris dan berinduk ke London, menaruh perhatian besar atas pembunuhan atau terbunuhnya lima wartawan tersebut.
Sebabnya di antara mereka terdapat warga Selandia Baru (Tonny Stewart, 21 tahun), dan Inggeris (Brian Peters ,24 serta Malcolm Rennie, 29).
Dalam peristiwa yang dikenal dengan "Balibo Five" tersebut jumlah warga Austalia, justru hanya dua orang yakni Greg Schackleton (29) dan Gary Cunningham (27).
Dua tahun lalu isteri Schackleton bahkan datang ke Jakarta dan meminta jasad suaminya yang dikubur di Tanah Kusir, Jakarta agar bisa dipindakan ke Sydney.
Dan berita tentang permintaan memindahkan jasad inipun menjadi viral di media negara-negara persemakmuran. Sehingga kejadian yang sudah terjadi 4 dekade lalu itu, terus melekat dalam ingatan.
Tahun 1994, John Pilger, wartawan Australia yang berdomisili, London, Inggeris, memproduksi film "The Massacre In Dili" (Pembantaian di Dili).
Film ini diangkat dari buku karyanya dengan judul yang sama.
'Pembantaian di Dili' merupakan istilah wartawan Barat yang merujuk pada insiden di pekuburan Santa Cruz, Dili pada 12 Nopember 1991.
Dalam insiden berupa perlawanan rakyat sipil terhadap militer, mengakibatkan sejumlah rakyat yang tak bersenjata tewas. Jumlah yang tewas antara versi militer Indonesia dengan LSM asing, berbeda. Asing yang tidak suka pada militer, lalu me"mark-up" jumlah korban yang meninggal. Sehingga muncullah istilah "pembantaian". Dan media Barat tetap lebih percaya pada versi asing.
Tulisan wartawan Australia ini berisi lebih banyak opini dari pada fakta. Karena ketika Insiden Dili (istilah versi Indoneisa) itu terjadi, John Pilger sendiri tidak berada di Dili.
Saya tahu ini, karena ketika sebagai Pemimpin Redaksi "Bali News", mendampingi Pangdam/Udayana, Mayjen Sintong Panjaitan untuk pertemuan dengan semua wartawan asing: Reuters, ABC Australia, Far Eastern Economic Review dll, nama John Pilger tidak ada.
Dan kehadiran Pangdam dari Bali serta rombongan Kepala BIA Arie Sudowo dari Jakarta, terjadi pada 22 Nopember 1991, kurang dari 24 jam setelah insiden tersebut. Sehingga saya berani memastikan, Joh Pilger banyak ngarang dan berdongeng soal "Massacre in Dili".
Saya juga menonton film tersebut di Adelaide, Australia Selatan pada pertengahan 1994. Terjadi manipulasi gambar tentang suasana di pekuburan Santa Cruz. Namun hanya orang yang sudah pernah ke Santa Cruz - seperti saya, yang bisa memastikan bahwa gambar editan di film itu, sebuah "hoax".
Fakta yang dia gunakan lebih banyak kutipan dari sumber ketiga. Yang dia kleim netral tetapi sebetulnya berpihak pada yang tidak suka terhadap militer Indonesia.
Militer Indonesia berada di Dili pada tahun 1991 itu, sebab saat itu Timor Timur masih merupakan provinsi ke-27 Indonesia. Timtim baru menjadi negara merdeka dengan nama Timor Leste pada tahun 1999.
Diakui atau tidak, opini John Pilger ini membentuk stigma bahwa Indonesia dengan kekuatan militernya suka berbuat semaunya. Membantai rakyat sipil di Santa Cruz dan membunuh wartawan asing di Balibo.
Stigma ini sukar dibantah. Karena kita tidak siap. Tidak menduga ada serangan seperti itu. Kalaupun kita membantah, sudah terlambat.
Sementara cara Indonesia merespon - yang sudah terlambat, kurang meyakinkan. Kita tidak berhitung bagaimana cara berpikir pihak sana.
Kejadian-kejadian masa lalu di atas itu saya angkat, karena tertarik dengan perkembangan atas tulisan Allan Nairn yang berkaitan dengan militer Indonesia.
Wartawan Amerika Serikat itu menulis bahwa militer Indonesia sedang merencanakan sebuah kudeta terhadap pemerintahan Joko Widodo. Laporan Allan Nairn ini sudah saya tanggapi kemarin (
Catatan Tengah Sabtu 22 April 2017).
Yang ingin saya tambahkan, laporan ini tidak berdiri sendiri. Laporan ini ada latar belakangnya. Latar belakang itu berupa stigma dan persepsi.
Stigma yang ada militer Indonesia (TNI) sama dengan postur di tahun 1970-an.
Stigma ini kemudian menjadi persepsi wartawan Barat tentang militer Indonesia.
Stigma yang ada atau yang dibangun wartawan Barat, wartawan dari negara berbahasa Inggeris, militer Indonesia di tahun 2017, doktrinnya sama dengan 50 tahun lalu, yaitu 1967. Bahwa kekuasaan itu harus direbut melalui kudeta.
Stigma lainnya, militer Indonesia kelakuannya sama dengan ketika menduduki Timor Timor.
Wartawan Barat lupa atas perubahan konstalasi politik di Indonesia. Dimana selama 10 tahun (2004-2014), Indonesia dipimpin Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, yang tampilannya lebih sipil dari sipil yang sejak lahir berstatus sipil.
Oleh sebab itu kalau mau melayani Allan Nairn, harus taktis caranya.
Jangan sampai terulang, cara yang sama seperti ketika kita menghadapi David Jenkins.
Sebab Allan Nairn dengan David Jenkins (Australia), sekalipun sama-sama dari Barat, tetapi pemahaman mereka tentang Indonesia tidak sama.
Allan Nairn hanya berkunjung bila ada perlu. David Jenkins yang menulis "Soeharto And His Generals", memahami persoalan Indonesaia karena dia pernah tinggal di Indonesia.
Tujuan mereka berdua, juga berbeda. Allan cenderung menyiarkan berita yang bersifat insinuatif, sambil mungkin berharap agar kudeta beneran terjadi. Setidaknya ia ingin mendapatkan pembenaran atas hasil investigasinya.
Paling tidak, kalaupun tidak ada kudeta, suhu politik Indonesia bergoncang.
Kalau David Jenkins cenderung berharap agar hubungan Indonesia dengan negaranya Australia bisa menjadi lebih harmonis, dan tidak ada goncangan. Para diplomat Australia memiliki pemahaman yang luas tentang keadaan Indonesia.
Maaf Pak Panglima TNI, tidak bermaksud menggurui. Namun saya menyarankan, sebaiknya TNI tidak usah merespons lagi, dan biarkan peredaman atas dampak tulisan Allan Nairn itu dilakukan oleh para diplomat kita.
Lakukanlah pendekatan dan pertemuan dengannya lewat jalur diplomasi baik oleh Athan di KBRI Washington atau yang berada di PTRI New York.
Atau kalupun TNI tetap berminat melayaninya, harap tidak dengan cara memposting di twitter, yang bahasanya pun terkesan seperti sedang berkelakar atau bercanda.
Soalnya rencana makar itu bisa jadi sebuah pesanan yang disampaikan kepada Allan Nairn, dan secara substantif, hal itu memang tidak bisa dijadikan "barang candaan".
[***]Penulis adalah wartawan senior