Lagipula, sebagai Labay desa, Labay Mansur punya simpanan sarung yang melimpah. Bagus-bagus pula. Pasalnya tiap lebaran dia dapat sedekah kain sarung dari orang kaya di rantau. Buat apa pula dia mau bersusah-susah mencuri sarung surau yang lobangnya sudah tiga itu.
Memang akhirnya semua orang di kampung ini paham. Pasti si Dulah yang mencuri. Perangainya sudah dihapal orang sekampung. Suka membuat gaduh. Bicara sesuka perutnya. Tapi dia kesayangan kepala desa. Kesalahan apapun yang dia buat selalu dapat lindungan dari kepala desa. Pernah suatu kali si Dulah hampir dipukuli orang sekampung.
Pasalnya dia sudah terlalu kelewatan. Buya Hamid, ulama paling disegani di kampung ini dia perolok-olok. Dibilangnya Buya Hamid besar nafsu waktu sang Buya akan menikahi istri ketiganya. Buru-buru kepala desa datang ke rumah Buya dan minta maaf. Si Dulah yang berulah, kepala desa yang minta maaf. Setelah mendapat maaf dari buya masalah itu dianggap selesai walaupun warga sebenarnya masih jengkel kesumat sama si Dulah.
Entah kenapa kepala desa sayang sekali dengan si Dulah. Padahal si Dulah orang bodoh. Baca tulis saja terbata-bata. Sukanya tidur. Kalau minum kopi di warung selalu berhutang yang ujung-ujungnya kepala desa juga yang membayar. Selidik punya selidik, orang-orang kampung mulai paham. Kepala desa sebenarnya tidak punya kuasa apa-apa. Tapi amaknya lah yang berkuasa. Amak Saripah. Siapa yang tidak takut padanya. Janda kaya hasil peninggalan suaminya. Sukanya marah-marah. Anak-anak yang melihat dia dari jauh pasti akan langsung lari terbirit-birit. Takut mereka disuruh apa-apa oleh amak Saripah.
Amak kepala desa ini memang suka menyuruh orang yang lewat di depan rumah untuk belanja ke pasar, atau untuk memanjat pohon jengkol, atau mencari belut di sawah. Dan jangan sekali-kali menolak suruhannya. Sumpah serapah yang keluar dari bibir bergincu merahnya bisa membuat semua badan gatal-gatal. Empat hari baru hilang gatalnya.
Jadilah si Dulah makin berkuasa. Dia dapat perlindungan penuh dari Amak Saripah. Dia sering terlihat warga dipanggil amak Saripah ke dalam rumahnya. Padahal tidak semua orang bisa masuk ke rumah besar itu. Mungkin si Dulah pandai mengurut. Tapi abak Gani tukang urut paling hebat di kampung saja tidak pernah dipanggil amak Saripah. Desas-desus memang sudah lama menyebar tapi orang kampung tidak ada yang berani bicara.
Diluar kebodohan dan kekurang ajarannya, si Dulah memang punya wajah agak lumayan. Kulitnya terbilang lebih cerah dibanding rata-rata laki-laki kampung ini yang hitam legam. Amak Saripah kan janda. Tapi orang-orang tak ada ada yang berani membicarakan itu. Mereka takut terdengar centengnya amak Saripah yang berkeliaran dimana-mana. Bisa mati kena gatal-gatal nanti mereka.
Masalah lebih besar terjadi ketika masa jabatan kepala dusun Karambia akan berakhir. Amak Saripah bersikukuh mencalonkan Dulah jadi kepala dusun. Karuan saja warga tidak ada yang setuju. Siapa yang mau dipimpin biang ribut. Kerjanya hanya tidur. Bagaimana bisa memimpin dusun.
Tapi amak Saripah bersikeras mencalonkan Dulah. Kepala desa juga sudah tentu mendukung mati-matian. Sementara warga punya calon sendiri. Si Japri namanya. Sarjana yang baru pulang dari kota. Orangnya pintar, bicaranya halus, alim, pandai jadi imam shalat. Orang-orang senang berkumpul di dekat Japri. Dia punya banyak cerita dari kota. Cara berceritanya juga membuat orang betah berlama-lama mendengarnya.
Waktu tiba masa berkampanye, masyarakat berbondong-bondong menghadiri kampanye si Japri. Bahkan warga dusun sebelah juga ikut.
Si Japri bercerita rencana-rencananya membangun dusun Karambia. Dia katanya mau mengajak anak-anak mengaji ke surau setiap maghrib. Orang kampung senang mendengarnya karena anak-anak mereka sekarang sudah malas ke surau. Hobi mereka main kartu saja di warung.
Kata si Japri, surau bisa kita buat lebih bersih, ada tamannya supaya anak-anak senang ke surau. Orang kampung menganggunk-angguk mendengar rencana si Japri. Kenapa tidak terpikir selama ini oleh mereka membuat surau lebih nyaman untuk anak-anak. Selama ini surau itu muram sekali. Kamar mandinya saja bau bangkai jengkol yang sudah setahun membusuk. Mana ada anak-anak yang mau mendekat. Senanglah mereka dengan ide si Japri. Mereka pulang dengan ceria.
Kampanye si Dulah terlihat sepi. Amak Saripah bermuka muram di atas panggung. Kepala desa juga tak bisa berbuat apa. Padahal nasi bungkus sudah mereka siapkan tiga becak penuh. Si Dulah berkampanye di depan warga yang tidak seberapa itu. Warga tidak paham apa yang dikampanyekan Dulah. Tepatnya tidak ada yang mau peduli. Sebagian mereka duduk dibawah pohon menghindari terik matahari. Sebagian asik mengobrol. Sebagian mengerubuti becak yang penuh berisi makanan. Kampanye si Dulah bubar bergitu saja saat azan asar mulai berkumandang.
Amak Saripah mengumpulkan centang-centengnya. Kepala desa dan beberapa perangkat desa ikut dikumpulkan. Titahnya hanya satu. Apapun caranya si Dulah harus jadi kepala dusun. Dan kalau amak Saripah sudah bertitah kepala dan perangkat desa tidak akan bisa berbuat apa-apa lagi. Mereka jadi bingung. Bagaimana menjadikan Dulah kepala dusun padahal warga jelas-jelas tidak menyukainya. Para perangkat desa pulang ke rumah masing-masing dengan kening berkerut. Saat rapat di rumah amak Saripah bubar, seorang dari mereka bergumam kesal; gara-gara Dulah!!!
[***]
Abrar AzizKetua PP Pemuda Muhammadiyah