Mengingat hubungan pribadi antara Mega dan SBY tidak harmonis, penduetan SBY-TK harus juga mencarikan solusi. Bagaimana memposisikan Mega pada tempat terhormat dan tepat.
Penduetan SBY - TK ini dilatar-belakangi oleh pemikiran bahwa persoalan terbesar Indonesia, terletak pada tidak adanya persatuan di kalangan pemimpin.
Ketika itu SBY diakui sebagai pemimpin yang pas bagi Indonesia. Tapi karena ia tidak bisa berdamai dengan Megawati, kepimpinannya yang pas itu, menjadi berkurang bobotnya.
SBY dianggap pas, bukan saja karena kedudukannya sebagai Presiden. Tapi SBY juga merepresentasikan kekuatan militer dan sisa-sisa Orde Baru. Dua kekuatan riel yang tak bisa dianggap sudah hilang pengaruhnya.
Jika SBY dan TK berduet, pasangan ini akan menjadi simbol kekuatan Indonesia yang bertumpu pada pluralisme sejati.
Sementara Mega disejajarkan dengan kekuatan reformis yang selama 32 tahun berada dalam posisi tertindas. Kekuatan yang tertindas di negara ini banyak yang tidak kelihatan, namun mereka menjadi semacam "the silent majority", kekuatan mayoritas, tetapi hanya berdiam diri saja - dimana pengaruh mereka masih cukup kuat.
Ada persepsi, jika rekonsiliasi di papan atas itu terjadi, selebihnya pemerintahan SBY akan mampu membangun Indonesia menjadi sebuah negara kuat dan disegani oleh bangsa-bangsa di dunia.
Potensi Indonesia menjadi negara kuat, masih sangat besar. Akan tetapi potensi itu makin lama makin tergerus sebagai akibat dari banyaknya energi yang kita habiskan untuk saling menjatuhkan.
Sebagai penghormatan kepada Megawati Soekarnoputri, Presiden ke-5 RI yang juga isteri Taufieq Kiemas (TK), Mega diberi tempat tersendiri. Mega diposisikan sebagai Negarawati atau Negarawan.
Dari segi kekuasaan, posisi Negarawati itu, tidak punya kewenangan apa-apa. Tidak punya portoi folio politik. Tetapi dari segi moral dan etika, gelar Negarawati menjadi di atas segala gelar kehormatan. Martabat Megawati sebagai bekas Presiden, dirawat bangsa sedemikian rupa, seperti halnya negara seperti Amerika Serikat yang selalu menghargai para bekas Presiden negara itu.
Penghargaan kepada Megapun, tidak mengada-ada atau dipaksakan. Mega dianggap memenuhi berbagai kelebihan dan kriteria yang tidak dimiliki oleh elit politisi Indonesia.
Ia misalnya menjadi wanita pertama, ibu rumah tangga yang melejit ke kursi Presiden RI. Atau perempuan satu-satunya yang memimpin sebuah partai politik terbesar dan tertua di Indonesia.
Sisi kenegarwatian Mega antara lain sikpanya terhadap rezim Orde Baru. Ia tidak mengobarkan semangat anti-Soeharto, pemimpin Orde Baru yang secara politik dianggap menyingkirkan ayahnya Soekarno dari kekuasaan. Termasuk memberangus paham Soekarno.
Mega tidak mendendam Soeharto, hanya saja ia memendam dendam terhadap SBY.
Di dunia internasional, Mega termasuk yang diperhitungkan oleh negara raksasa seperti Amerika Serikat. Antara lain karena sikap tegasnya yang tidak mengizinkan Armada Perang negara itu mengontrol Selat Malaka.
Draft dokumen politik yang disusun oleh Notaris, sudah siap ditanda-tangani.
Tapi oleh sebuah kekuatan yang hanya bisa dirasakan tetapi tak bisa terlihat, perdamaian atau rekonsiliasi kedua tokoh tersebut, bubar. Momen penting seperti itu sekali hilang tak mungkin kembali.
Duet 2009 - 2014 akhirnya terjadi antara SBY - Boediono. Kalau mau jujur, duet ini memang sangat dipaksakan. Buktinya, pemerintahan SBY di periode kedua (2009 - 2014) mengalami degradasi. Walaupun SBY-Boediono berhasil mengakhiri pemerintahan mereka tanpa gejolak, tetapi dari sisi persatuan dan kesatuan, rekor mereka cukup buruk. Duet ini meninggalkan bangsa dan rakyat masih terbelah. Indonesia terjangkit penyakit politik ala Afrika yang rapuh dimana-mana.
Persatuan dan kesatuan bangsa yang rapuh ini kemudian menjadi persoalan berat rezim pengganti, Joko Widodo. Menyusun kabinet yang satu visi, tak bisa terwujud.
Kisah nostalgia politik itu dan performa Joko Widodo sebagai pemimpin pemersatu, mengusik memoriku.
Terutama karena beberapa tulisan di "Catatan Tengah" yang mengajak Indonesia harus bersikap tegas kepada Singapura, mendapat tanggapan yang nadanya bertanya.
"Bisakah kita menghadapi Singapura .... ?" dan seterusnya,
Pada intinya para penanya khawatir, kita tidak mampu menghadapi negara "liliput" setingkat Singapura, berhubung kelemahan terbesar Indonesia, berada pada lingkaran para elit dan pejabat pemerintah.
Ada yang tidak yakin Presiden Joko Widodo berani bersikap tegas terhadap Singapura, karena belum tentu sikapnya itu didukung oleh "kwartet" yang nama mereka disebutkan di judul tulisan ini.
Satu saja di antara mereka yang bersuara sumbang atau membela Singapura, semua kebijakan Presiden Joko Widodo akan tak berarti.
Atau satu saja yang diam, walaupun Singapura melakukan tindakan yang merugikan Indonesia, hal itu sudah cukup membuat Presiden Joko Widodo berpikir.
Presiden yang wong Solo ini, dinilai terlalu lemah gemulai menghadapi Singapura yang mengkopi berbagai konsep dari negara kecil di Timur Tengah, Israel.
Ditambah lagi anak Presiden Joko Widodo alumni Singapura.
Seandainya para pejabat kita bisa diyakinkan, agar "membuang" semua yang berbau Singapura, persoalannya menjadi lebih mudah. Sekiranya Presiden memerintahkan Menteri Perhubungan agar merevisi perjanjian udara antara kedua negara, ceriteranya akan lain.
Bila jalur-jalur penerbangan Singapore Airlines ke Indonesia jumlahnya diciutkan sama dengan jalur Garuda ke negara itu, situasinya pasti berubah.
Itulah kurang lebih reaksi para sahabat, baik melalu tulisan maupun japri (jaringan pribadi).
Bahwa persoalan terbesar dan terserius yang dihadapi negara kita sejatihnya berada pada visi para elit dan pengambil keputusan di republik ini.
Para elit, tidak bisa bersatu sehingga tidak bisa bersepakat dalam memformulasikan solusi apa yang bisa dilakukan oleh negara atas sebuah persoalan pelik.
Dalam hal ini saya sependapat. Jadi rekonsiliasi nasional untuk menuju ke sebuah persatuan nasional yang kokoh, harus dicapai dulu. Dan untuk mencapai itu, bukan soal yang sulit selama ada keikhlasan masing-masing. Bahwa kepentingan bangsa jauh lebih besar di atas kepentingan pribadi.
Lalu patutkah "kwartet elit" yang nama mereka disebutkan diatas kita tagih komitmen mereka untuk bersatu demi Indonesia?
Yah pertanyaan saya, saya jawab sendiri. Patut. Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono Prabowo Subianto dan Amien Rais, tak boleh tidak harus bersatu. Kalau ada yang mau menambahkan nama lain, silakan.
Mengapa mereka harus bersatu ? Karena sebagai pemimpin formal partai politik, kecuali Amien Rais, di belakang mereka berdiri jutaan massa atau konstituen.
Megawati, Ketua Umum PDIP, SBY Ketua Umum Partai Demokrat, Prabowo Subianto Ketua Umum Partai Gerindra dan Amien Rais intelektual Islam yang masih dihormati di Partai Amanat Nasional (PAN).
Dengan posisi orang nomor satu, kebijaksanaan mereka, salah atau benar akan berdampak ke masyarakat atau dalam penyelenggaraan negara.
Massa yang mereka pimpin, mayoritas merupakan konstituen yang fanatik dan fundamentalis. Mereka tidak menganggap pemimpin mereka berfikir negatif. Ketua Umum mereka selalu benar.
Terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo misalnya, mereka, para konstituen bisa menjadi suporter ataupun destroyer. Tergantung sinyal yang diberikan oleh pemimpin mereka.
Nah menghadapi Singapura, negara yang jumlah penduduknya hanya 5 juta jiwa, tidak sampai separuh penduduk DKI Jakarta, Presiden Joko Widodo pun bisa jiper (takut) jika dia merasa tidak mendapatkan dukungan dari tokoh-tokoh di atas.
Padahal saat sekarang merupakan momen yang tepat menghancurkan semua agenda negatif Singapura.
Pemerintah misalnya seharusnya meminta Singapura mengekstradisi Sukanto Tanoto, pengusaha yang mengemplang pajak Rp. 2,7 triliun tapi diberi perlindungan oleh negara tetangga itu.
Momentum di mana Singapura mau menghambat pelaksanan program Tax Amnesty, harus kita hadapi secasra "all out". Progam ini diangkat sebagai sebuah simbol kebangkitan dan persatuan bangsa.
Delapan belas tahun reformasi, hanya menghasilkan polarisasi. Dan polarisasi ini, ibarat sebuah tim sepakbola, kesebelasan kita tidak punya etos bermain yang kompak. Sehingga walaupun terdiri diri manusia-manusia raksasa, gawang tim Indonesia hanya jadi bulan-bulanan oleh gol anak bawang dari Singapura. Posisi kita mungkin sudah 0 - 11, kalah dari Singapura
Rakyat harus diyakinkan, bahwa kalau program Tax Amnesty itu bukan untuk kepentingan Presiden Joko Widodo.Tetapi kepentingan kita, kepentingan rakyat Indonesia.
Singkirkan semua opini dari dalam negeri yang sarkastis dan sinis terhadap Tax Amnesty (Pengampunan Pajak).
Sebab kalau Tax Amnesty gagal, bukan hanya pemerintah saja yang menderita. Melainkan termasuk para pengeritik dan penyebar opini sarkastis itu.
Kalau seorang Tomy Soeharto bisa memahami manfaat Tax Amnesty bagi hari depan bangsa, mengapa yang tidak punya kewajiban seperti putera Jenderal Soeharto itu "tereak"nya, gaduhnya lebih memekakan telinga ?
Tax Amnesty harus kita dukung, agar dana-dana yang terkunci di Singapura sebanyak Rp. 4,600 triliun, atawa US$ 200,- milyar, bisa kembali ke Indonesia.
Dana itu bukan jumlah yang kecil.
Ingat APBN kita tahun 2016 diproyeksikan hanya Rp 2,000 triliun. Catat "diproyeksikan". Artinya duit itu belum semuanya ada. Masih harus dicari.
Kembali ke "kwartet" Mega-SBY-Prabowo Subianto-Amien Rais. JIka mereka tetap tidak mau berdamai, saya sarankan dan himbau agar para konstituen masing-masing partai, hukum mereka. Lengserkan mereka dari kedudukan masing-masing. Posisikan mereka rakyat jelata.
Kita hormati mereka sebagi politisi senior, tetapi kita juga perlu beri mereka pembelajaran. Bahwa penghormatan dan kehormatan layak untuk mereka ambil, sepanjang mereka masih peduli atas kepentingan rakyat.
Jangan biarkan mereka menjadi "destroyer" atau perusak negara, apalagi menjadi perusak dari dalam.
Penulis adalah jurnalis senior