Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

RISALAH KANG TATANG

Quo Vadis Gelar Akademik?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/tatang-muttaqin-5'>TATANG MUTTAQIN</a>
OLEH: TATANG MUTTAQIN
  • Selasa, 07 Juni 2016, 06:14 WIB
Quo Vadis Gelar Akademik?
tatang muttaqien
SETIAP masyarakat memiliki perankingan sosial secara relatif antar-anggotanya yang menjadi kebanggaan (prestise) dengan segala macam dampak kenyamanan sosialnya (privilege) yang dikenal dengan status sosial. Status sosial ini bisa diperoleh tanpa perlu usaha karena melekat (ascribed), seperti gelar kebangsawanan. Selain itu ada juga yang diraih berdasarkan usaha yang membutuhkan kualifikasi khusus (achieved), semisal gelar akademik.

Sebagai pengejawantahan status sosial, gelar akademik yang disandang seseorang bukanlah hanya sekedar titel yang melengkapi nama namun simbolisasi capaian yang mewakili tingkat kompetensi, kewenangan, hak yang bersandingan dengan kewajiban. Dalam konteks Indonesia termutakhir, pemilahan status yang dilekatkan dan diusahakan tidak kaku karena faktanya gelar kebangsawanan yang berbasis "darah biru" juga bisa diraih oleh non-darah biru sebagaimana gelar Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) dan Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) di Kasunanan Surakarta.

Namun demikian, peluang untuk meraih gelar akademik relatif lebih terbuka seiring dengan perubahan kontur sosial kemasyarakatan gelar-gelar kesarjanaan tak sulit diraih. Untuk meningkatkan prestise, maka keberhasilan dalam capaian karier dan ekonomi juga berjalan berdampingan dengan keinginan meraih gelar yang lebih tinggi, termasuk tingkat doktoral apalagi prestise pekerjaan sebagai akademisi menduduki ranking teratas dalam prestise pekerjaan. Thomas dan Soeparman (1963) mebandingkan kesamaan ranking tertinggi pekerjaan di Indonesia dan di Amerika Serikat, di mana posisi dokter berada di urutan nomor 1 dan dosen/guru besar di urutan kedua.

Dengan demikian, sangat wajar jika pemerolehan gelar akademik akan meningkatkan status sosial seseorang dan keinginan yang kuat untuk meraihnya merupakan keniscayaan. Hanya saja keinginan yang lumrah ini sering terdistorsi oleh adanya mental menerabas yang menginginkan pencapaian instan termasuk dalam meraih gelar akademik yang semu bahkan palsu.

Penambahanan jumlah pejabat struktural birokrasi,polisi, militer, dan wirausahawan sukses serta kepala daerah yang semakin banyak yang berdampak pada permintaan capaian gelar yang lebih tinggi. Hukum permintaan ini diselipi mental menerabas yang menjadi peluang usaha bagi penyedia gelar-gelar akademik instan. Pucuk dicinta, ulam tiba dan ini pernah terjadi juga pada dekade sebelumnya saat menjamur gelar-gelar prestisius Master Bussinees Administration (MBA) lokal, juga sebagian program pendidikan purna sarjana kelas eksekutif yang sudah dibatasi oleh Ditjen Dikti Kemdiknas sejak lima tahun lalu.

Mensinergikan Regulasi dan Membanalisasi Ambisi


Untuk melindungi masyarakat dari kerugian penyalahgunaan gelar akademik, penggunaan gelar akademik telah diatur sejak dari pemerolehan dan juga penggunaannya di dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 21 ayat 4 yang dimutakhirkan dengan No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi pasal 26. Peraturan perundangan tersebut dioperasionalisasikan detailnya lewat PP No. 17/2010 pasal 98 dan 99 dan Keputusan Mendiknas No.178/U/2001 pasal 1 -12.

Ternyata pembatasan tersebut tak sepenuhnya mampu mengatasi masalah gelar akademik instan namun bermetamorfosa dalam format pemolesan dengan melakukan pemiripan nama dengan perguruan tinggi di luar negeri sehingga memberikan kesan yang lebih terpercaya. Fakta tersebut menunjukkan bahwa pengaturan saja tak cukup namun juga bagaimana penegakaan aturan tersebut dilakukan secara konsisten dengan juga mempertimbangkan konteks sosio-psikologis masyarakat.

Sehubungan dengan realitas tersebut, teori pembingkaian tujuan dalam memprediksi tindakan dan perilaku individu atau Goal Framing (Lindenberg, 2001) nampaknya relevan untuk dipertimbangkan dipraktekan sehingga mampu mendudukkan silang sengkarut penggunaan gelar akademikinstan dengan cara mensinergikan pendekatan normatif dan upaya membanalisasi naluri untuk meraih keuntungan optimal (gain) dan kenyamanan maksimal (hedonistic).

Pendekatan normatif dengan memperkuat kerangka regulasi dan petunjuk pelaksanaan serta penegakan hukumnya perlu terus dilakukan secara konsisten dan konsekwen sehingga menimbulkan dampak penggetar bagi pelaku penyalahgunaan pemberian dan penggunaan gelar akademik. Upaya normatif ini dilakukan dari sejak hulu dengan pengaturan dan pengawasan perguruan tinggi sebagai institusi yang memiliki hak menyematkan gelar akademik. Terus berkembangnya jumlah perguruan tinggi dan jurusan yang menyelenggarakan pendidikan purnasarjana menjadi tantangan yang tak mudah untuk melakukan standarisasi, akreditasi dan pengawasannya namun tetap harus dilakukan dengan mensinergikan sumberdaya yang tersedia di Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi, Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi (BAN PT) dan juga aparat penegak hukum.

Dari sisi hilir, pengguna para purnasarjana yang mencakup institusi pemerintah, baik sipil, polisi dan juga militer dan juga dunia usaha perlu melakukan seleksi administrasi yang lebih baik dan juga pembinaan dalam pengembangan pendidikan para karyawannya. Seiring dengan demokrasi langsung, para penyelenggara pemilihan pimpinan eksektutif dan legislatif di berbagai jenjang perlu melakukan verifikasi administrasi yang lebih teliti dengan melibatkan beragam pihak terkait sehingga mampu menekan penggunaan gelar akademik palsu. Dengan pemantapan sistem seleksi dan verifikasi akan mampu memilah gelar akademik asli dan palsu atau instan. Demikian halnya, pembinaan dan pengembangan pendidikan karyawan yang terkontrol dan teruji akan mampu menimimalisasi peluang maraknya gelar akademik instan.
 
Upaya penegakan hukum tersebut tentu tak mungkin sepenuhnya mampu mengatasi penyalahgunaan gelar akademik karena juga terkait dengan mentalitas sehingga senantiasa memanfaatkan peluang adanya kekosongan aturan normatif. Untuk itu, perlu juga disinergikan dengan upaya membanalisasi naluri untuk meraih keuntungan optimal dan kenyamanan maksimal. Untuk menekan motif meraih keuntungan dan kenikmatan maksimal, gerakan untuk mengembangkan pola hukuman sosial dan moral yang efektif perlu dilakukan.

Eksperimen Lindenberg (2013) mengkonfirmasi bahwa orang yang memiliki motif meraih keuntungan dan kenyamanan optimal sangat sensitif dengan peningkatan dan penurunan keuntungan dan kenikmatannya sehingga setiap hukuman sosial akan sangat terasa. Posisi dan sumberdaya yang dimiliki pemimpin atau pengusaha yang menyalahgunakan gelar akademik terkadang mampu mengelabui hukum normatif yang ada sehingga hukuman sosial dengan tidak dipilih dalam pemilihan langsung akan menjadi batu sandungan untuk menekan penyalahgunaan gelar akademik. Di sisi lain, penilaian sosial atas pelanggaran moral menyalahgunakan gelar akademik juga akan menjadi disinsentif yang cukup efektif dan penilaian masyarakat atas prestasi akan menjadi insentif untuk menghindari manipulasi gelar akademik.

Semua usaha tersebut diharapkan mampu mendudukan posisi gelar akademik pada tempat dan proporsinya sehingga gelar akademik hanya relevan digunakan untuk kepentingan akademik. Lambat laun, bukan hanya penyalahgunaan gelar akademik yang mampu ditekan juga penggunaan gelar akademik tidak pada tempatnya akan semakin berkurang. Semoga![***]

Penulis adalah peneliti di The Inter-university Center for Social Science Theory and Methodology (ICS), University of Groningen, The Netherlands. 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA