Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

GEMA Kecam Keterlibatan TNI Dalam Penangkapan Aktivis Di Maluku

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/febiyana-1'>FEBIYANA</a>
LAPORAN: FEBIYANA
  • Minggu, 15 Mei 2016, 10:03 WIB
GEMA Kecam Keterlibatan TNI Dalam Penangkapan Aktivis Di Maluku
foto: net
rmol news logo . Aktivis Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi (GEMA) mengecam tindakan penangkapan, penahanan dan penyitaan yang dilakukan Unit Intel Kodim 1501 Ternate terhadap Adlun Fikri dan Supriyadi.

"Tindakan tersebut bertentangan dengan syarat formil upaya paksa yang diatur oleh KUHAP dan tindakan tersebut jelas merupakan bentuk perbuatan melawan hukum dan pelanggaran Hak Asasi Manusia," ujar salah satu aktivis GEMA, Asep Komarudin ketika dikonfirmasi, Minggu (15/5).

Menururt Asep pihaknya mempertanyakan keterlibatan TNI dalam melakukan penangkapan, penahanan dan penyitaan tersebut. Sebab, berdasarkan UU TNI, TNI jelas tidak memiliki wewenang maupun tugas untuk melakukan penangkapan dan penahanan bahkan penyitaan.

Oleh karena itu, Unit Intel Kodim 1501 Ternate di bawah pimpinan Dan Unit Intel Kodim Letda INF Andri Gusti Wijaya telah melakukan pelanggaran terhadap sejumlah peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

"Pasal 28 UUD 1945 Pasal 34 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM)
Pasal 9 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang diratifikasi dengan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Bab V Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No. 8 Tahun 1981 tentang Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah, Penyitaan dan Pemeriksaan Surat," terang Asep.

Sedangkan, tindakan yang dilakukan oleh TNI dalam hal ini dapat digolongkan sebagai pelanggaran hukum disiplin militer sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU TNI. Oleh karenanya itu, ia berharap para oknum militer yang terlibat dalam penangkapan, penahanan dan penyitaan sewenang-wenang yang dilakukan terhadap Adlun Fikri dan Supriyadi harus dijatuhi sanksi alias hukuman disiplin militer.

"Penggunaan dasar hukum UU No. 27/1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara tetap harus tunduk pada tata cara Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam pelaksanaannya," bebernya.

Tak hanya itu, GEMA juga mengidikasikan ada upaya pengaburan fakta oleh pihak Kepolisian dalam surat perintah penahanannya yang dikeluarkan pada tanggal 12 mei 2016 padahal Adlun dan kesemua teman-teman aktivisnya sudah ditahan sejak penangkapan oleh Kodim pada 10 Mei 2016.

Sebelumnya, Kepolisian Reso dan Unit Intel Kodim 1501 Ternate resmi menahan dan menetapkan aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Maluku Utara, Adlun Fiqri serta Supriyadi Sawai, sebagai tersangka.  Penangkapan dilakukan di rumah AMAN Tanah Raja, Kecamatan Ternate Tengah, Kota Ternate, Maluku Utara pukul 23.00 WIT lantaran para aktivis tersebut mengoleksi buku berbau paham kiri dan memiliki kaus dengan tulisan PKI, yang merupakan singkatan Pecinta Kopi Indonesia.

Adlun, 20 tahun yang juga mahasiswa Universitas Ternate jurusan Antropologi Sosial ramai namanya diberitakan media ketika ia mengunggah video oknum polisi diduga menerima suap. Ia pun langsung ditahan dua hari kemudian.

Adapun kronologi peristiwa hukum tersebut ialah sebagai berikut:

Pada tanggal 10 Mei 2016, sekitar pukul 23.00 WIT, Adlun Fikri dijemput oleh dua orang anggota militer berpakaian sipil dari sekretariat AMAN. Selanjutnya 4 orang anggota Unit Intel Kodim 1501 Ternate yang berpakaian sipil datang ke Rumah AMAN Maluku Utara dipimpin oleh Dan Unit Intel Kodim Letda INF Andri Gusti Wijaya, langsung melakukan penggeledahan dan memeriksa semua barang-barang di sekretariat AMAN Malut.

Pada Pukul 23.30 WIT, dilakukan penggeledahan terhadap kamar Adlun Fikri dan Supriyadi oleh anggota Unit Intel Kodim. Dari penggeledahan tersebut, pihak Unit Intel Kodim menyita beberapa buku, satu buah laptop & kaos yang menurut mereka mengandung paham komunis.

Buku-buku yang disita di Kamar Adlun Fikri antara lain: "Nalar yang memberontak (filsafat Marxisme)", "Kekerasan Budaya Pasca 1965", Kumpulan Cerpen, dengan Judul "Penjagal itu telah mati", Buku Investigasi Tempo "Lekra dan Geger 1965", dan "Orang yang di Persimpangan Kiri Jalan".

Dan beberapa kaos yang disita antara lain: Kaos warna hitam "Bekerja dan berkarya jangan berharap pada Negara", kaos merah gambar cangkir "Pencinta Kopi Indonesia (PKI)", kaos warna hitam "1965 masalah-masalah yang tak selesai-selesai", dan Kaos Munir "Malawan Lupa".

Menjelang beberapa waktu kemudian, Supriyadi ditangkap di Cafe Djarod dan dibawa ke Makodim 1501 untuk diinterogasi. Lalu pada Pukul 04.00 WIT mereka dipaksa untuk menandatangani surat pernyataan yang berisi pernyataan bahwa mereka tidak akan lagi mengunakan atribut-atribut Pencinta Kopi Indonesia (PKI) dan bahan-bahan lain yang mengarah ke paham komunis. Selanjutnya pada pukul 07.00 WIT diserahkan ke Polres Ternate, dan baru ditetapkan sebagai tersangka pada 13 Mei 2016. [rus]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA