Soal kemungkinan tersangka baru ini diungkap Agus di Hotel Arya Duta, Jalan Sumatera, Bandung, kemarin. "Ada, kemungkinan ada (tersangka baru). Yang pernah berkomunikasi kita panggil," ungkap Agus.
Eks Kepala BKKP itu menengarai, uang suap untuk memuluskan aturan yang bakal menjadi dasar hukum reklamasi Teluk Jakarta itu lebih dari Rp 5 miliar. "Mungkin nilainya lebih dari itu (Rp 5 miliar)," tuturnya. Untuk memastikannya, penyidik KPK akan terus menelusuri kasus ini. "Kami masih terus telusuri kasus itu," tutupnya.
Calon tersangka, sepertinya akan mengarah ke DPRD. Kemarin KPK memeriksa Wakil Ketua DPRD M. Taufik. Taufik tiba sekitar pukul 09.25 WIB di Kantor KPK.
Ini adalah pemeriksaan kedua bagi kakak kandung M. Sanusi itu. Saat diperiksa pada 11 April 2016 lalu, dia ditanya mengenai mekanisme pembahasan raperda itu.
Namun, Taufik enggan mengungkapkan mengenai pertemuan antara DPRD DKI Jakarta dengan bos PT Agung Sedayu Group Sugiyanto Kusuma alias Aguan. "Tanya Pak Ketua, tanya Ketua ya," ujar Taufik sembari masuk ke lobi gedung KPK. Ketua yang dimaksud Taufik adalah Ketua DPRD DKI Prasetio Edi Marsudi.
Selain Taufik, KPK juga memanggil saksi lain: Presiden Direktur PT Kapuk Naga Indah Nono Sampono yang saat ini juga menjabat sebagai anggota DPD 2014-2019. KPK juga memanggil Kepala Sub-Bagian Raperda DPRD DKI Jakarta Dameria Hutagalung; Wakil Ketua Baleg DPRD Jakarta Merry Hotma; ajudan M Taufik, Riki Sudani; serta Personal Assistant PT Agung Podomoro Land Trinanda Prihantoro.
Taufik keluar dari Gedung KPK pukul 19.20 WIB. Rampung diperiksa, politikus partai Gerindra itu irit bicara. Dia hanya menjelaskan, pemeriksaannya terkait pembahasan raperda tentang reklamasi saja. "Masih seputar soal itu, soal pembahasan," imbuhnya. Setelah itu, Taufik yang menjabat Ketua Badan Legislasi Daerah (Balegda) DKI itu tergesa masuk ke dalam mobilnya.
Sementara Nono, diperiksa dalam kapasitasnya sebagai salah satu petinggi di PT Kapuk Naga Indah, anak perusahaan Agung Sedayu Group yang menggarap lima pulau di proyek reklamasi pantai utara Jakarta. Lima pulau tersebut antara lain, Pulau A (79 Ha), Pulau B (380 Ha), Pulau C (276 Ha), Pulau D (312 Ha), dan Pulau E (284 Ha).
Usai menjalani pemeriksaan selama 8,5 jam, Nono Sampono mengaku memenuhi panggilan KPK untuk menunjukkan itikad baik dalam menjalani proses hukum. "Sebagai warga negara yang baik saya penuhi panggilan KPK," ujar Nono.
Menurutnya ada beberapa pertanyaan yang dilontarkan penyidik KPK kepadanya terkait kasus tersebut. "Ada 15 pertanyaan dari penyidik," ucapnya.
Pensiunan jenderal bintang tiga dari Angkatan Laut itu membantah ditanyai soal reklamasi dan pengembang yang terlibat dalam reklamasi di pantai utara Jakarta. "Enggak ada urusan. Enggak ada kaitan," jelasnya.
KPK kemarin juga memeriksa Mohamad Sanusi. Tersangka kasus dugaan suap pembahasan dua raperda terkait reklamasi Jakarta itu diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Ariesman Widjaja, Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (APL).
Kelar diperiksa, Sanusi irit bicara dia mengaku akan terus kooperatif dengan KPK dalam kasus ini. Bahkan dia mengaku siap buka-bukaan. "Saya akan terus kooperatif dan akan terus terbuka," janji Sanusi. Dia mengaku sudah mengundurkan diri dari Partai Gerindra. Begitu pula dari keanggotaannya di DPRD DKI.
Saat disinggung apakah akan mengajukan diri sebagai
justice collaborator (JC) atau pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum, Sanusi mengatakan tidak. "Tidak, tidak," ucap Sanusi.
Sanusi minta dirinya lekas dibawa ke meja hijau. "Saya percaya KPK profesional karenanya harapan saya agar kasus ini segera diajukan ke muka persidangan," ujar Sanusi.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai, jika tersangka baru kasus ini hanya orang DPRD, KPK era Agus Rahardjo masih kalah kelas dengan era Abraham Samad Cs.
Samad cs, berani menyeret nama-nama besar semisal Hartati Murdaya yang dikenal dekat dengan penguasa. Menpora Andi Mallarangeng juga tercatat sebagai menteri aktif pertama yang digelandang KPK. Berikutnya, Samad Cs juga berani mentersangkakan Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum, yang kala itu masih menjadi partai penguasa.
Lebih gila lagi, Samad Cs juga jadikan dua petinggi Polri jadi tersangka: eks Kakorlantas Polri Irjen Djoko Susilo dan Komjen Budi Gunawan. Nama terakhir inilah yang kemudian "melengserkan" Samad dan BW dari KPK. Mereka juga menangkap tangan Akil Mochtar yang saat itu menjabat Ketua MK. "Kalau cuma anggota DPRD, KPK sekarang kalah kelas. OTT-nya banyak, tapi tangkapannya kecil," ujar Boyamin. "Padahal ada hiu yang berkeliaran dalam kasus ini."
Menurutnya, KPK harus berani menangkap penyuap dalam kasus suap raperda reklamasi itu. Dia menduga, tak satu atau dua pengembang yang menyuap untuk memuluskan raperda reklamasi. "Bisa jadi mereka urunan untuk menyuap. Atau menyuap sendiri-sendiri lewat orang-orang DPRD yang berbeda-beda. KPK mesti mengusutnya," tegasnya. ***
BERITA TERKAIT: