"Akibatnya, fluktuasi harga obat tinggi, ketergantungan terhadap negara lain sebagai produsen juga tinggi, sementara ketersediaan obat di Indonesia minim," kata Ketua Bidang Kebijakan Publik PP Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Aza El Munadiyan, dalam keterangan beberapa saat lalu (Sabtu, 9/4).
Aza menuturkan, Data Business Monitoring International terbaru terkait pangsa pasar obat di Indonesia sangat menggiurkan, dimana market value untuk bahan baku obat mencapai 30 persen. Menghadapi realitas ragam dan jumlah yang besar dari penyakit rakyat Indonesia serta ketersediaan obat, pemerintah mencanangkan kemandirian obat.
Namun, permasalahan dalam upaya mencapai kemandirian obat sebenarnya adalah biaya investasi dengan biaya terbesar dialokasikan pada riset. Sementara itu, riset pengembangan bahan baku obat memerlukan jalur yang panjang, mulai dari uji pre klinik (aktivitas farmakologi, toksikologi in vivo dan in vitro), kemudian setelah terbukti berkhasiat dan aman masih melalui tahan uji klinik pada subjek manusia dalam 5 fase studi klinik.
"Tidak seperti kebanyakan industri lain, biaya riset di bidang obat lebih mahal berlipat-lipat dan memakan waktu lama. Padahal, penyakit terus bermutasi dan berevolusi, sehingga riset harus terus berlangsung selama penyakit ada," jelas Aza.
[ysa]
BERITA TERKAIT: