Jika Kasus "Penghina" Presiden

Dipaksakan, KBBI Pun Perlu Direvisi

Senin, 21 Maret 2016, 09:41 WIB
Jika Kasus "Penghina" Presiden
Yulian Paonganan alias Ongen:net
rmol news logo Jika kasus kasus Yulian Paonganan alias Ongen, yang dituduh menghina presiden tetap akan dibawa ke pengadilan, apalagi jika hakim nanti memvonis bersalah, negara harus men­gubah banyak hal. Mulai dari UU Pornografi, sampai definisi 'lonte' di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Hal ini diungkapkan aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa un­tuk Reformasi dan Demokrasi (Kamerad), Haris Pertama.

Tak hanya itu, lanjutnya, nega­ra juga harus membuat larangan foto anak kecil telanjang agar tidak dipajang di media so­sial, karena itu melanggar UU Pornografi seperti tuduhan polisi terhadap Ongen.

Seperti diketahui, Ongen di­tangkap oleh tim Bareskrim Mabes Polri karena dianggap melanggar UU Pornografi atas hastagnya di Twitter, yaitu #PapaDoyanLonte dan menye­barkan foto alat kelamin anak kecil. Karena dia lakukan di media social, dia juga di jerat UU ITE.

Jadi dalam kasus ini, ujar Haris, ada hal-hal yang tentu­nya melanggar aturan baku dan ilmu pengetahuan. "Kata 'lonte' dalam KBBI tidak melanggar UU Pornografi, tentu ini harus diubah definisinya, jika nanti Ongen bersalah."

"Sebaiknya, hal-hal seperti ini dihindari oleh penegak hukum kita. Jangan sampai karena in­tervensi kekuasaan, hukum pun diperkosa," tandasnya.

Dihubungi terpisah, ahli bahasa Prof Hanafie Sulaiman menegas­kan, jika memang nanti jaksa maupun hakim memutuskan ber­salah, konsekuensi lain harus jadi pertimbangan. "Aturan-aturan yang sudah baku tentu harus diperhatikan. Karena jelas, kata 'lonte' itu bukan pornografi, dan alat kelamin anak kecil itu juga bukan porno," ujarnya.

Hanafie pun menyatakan kesia­pannya memberikan keterangan di pengadilan. "Jaksa sepertinya masih mikir-mikir untuk melan­jutkan kasus ini, karena mereka takut kalah di pengadilan nanti, karena alat bukti yang mereka miliki dari kepolisian jelas sangat lemah," tandasnya.

Hal yang sama dikatakan pengamat hukum tata negara, Margarito Kamis. Menurutnya, jika hakim dan jaksa tetap me­maksakan Ongen bersalah, maka semua yang terkait dengan hast­ag Ongen harus diatur secara spesifik lagi. "Tentunya harus diatur lagi baik itu definisi mau­pun UU pornografinya, karena saya lihat ini koq tidak ada unsur pidana," ujarnya.

Tapi Margarito menilai hal tersebut sebagai soal lain. Karena yang terpenting, lanjutnya, ada­lah soal kasus hukumnya yang tidak diatur dalam UU. Bahkan jaksa dia nilai harusnya menyat­akan, perbuatan Ongen itu bukan perbuatan pidana. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA