"Lebih konyol lagi, justru Menkumham malah meperpanjang SK Muktamar Bandung yang sudah selesai masa tugasnya," ujar kuasa hukum DPP PPP Muktamar Jakarta, Humphrey Djemat kepada Kantor Berita RMOL, Selasa (23/2).
Jelas Humphrey, Indonesia ini adalah negara hukum sebagaimana yang disebut dalam UUD 1945. Untuk itu putusan MA harus dihormati dan dipatuhi. Siapapun yang melawan putusan MA berarti melawan konstitusi. Dan apabila itu dilakukan oleh pejabat pemerintahan, itu merupakan suatu bentuk penyalahgunaan kekuasaan, bahkan dikatakan modus tertinggi korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan (
the highest mode of corruption is the abuse of power).
"Tidak ada yang lebih efektif untuk terjadinya korupsi selain dengan menyalahgunakan kekuasaan, atau dengan kata lain, kekuasaan adalah senjata yang paling mutakhir dalam mewujudkan suatu perbuatan yang korup. Hal ini yang dirasakan betul PPP Djan Faridz, dimana pemerkosaan hak-hak PPP sedang terus dilakukan oleh Menkumham, dengan sarana yang dimiliki olehnya yaitu kekuasaan," katanya.
Humphrey menambahkan, Menkumham saat ini sedang menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk mengesampingkan kepengurusan DPP PPP Muktamar Jakarta yang sah tanpa menghiraukan keberlakuan dari putusan MA NO 601/2015 yang jelas merupakan salah satu bentuk hukum yang harus dipatuhi.
"Wajar bila muncul anggapan bahwa Pemerintah melalui Menkumham Yasona Laoy sedang memamerkan bagaimana kekuasaan dapat mengkerdilkan hukum," ungkapnya.
Namun, kata Humphrey, karena Menkumham telah melakukan perbuatan melawan hukum, karena melawan putusan MA No.601 yang telah berkekuatan hukum tetap. Karena sebagai pejabat pemerintahan telah bertindak sewenang-wenang. Dan sebagai konsekuensi dari tindakan sewenang-wenang tersebut, menurut UU Administrasi Pemerintahan keputusan dan/atau tindakan yang dibuat oleh pejabat pemerintahan tidak sah apabila dibuat oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan yang bertindak sewenang-wenang.
"Selanjutnya keputusan pejabat pemerintahan tersebut juga tidak mengikat sejak keputusan itu ditetapkan dan segala akibat hukum yang ditimbulkan dianggap tidak pernah ada," katanya.
U Parpol Nomor 2 Tahun 2011, kata Humphrey, jelas menyatakan tidak ada keharusan Kemenkumham menjadi pihak dalam sengketa Parpol, sehingga kewajiban Kemenkumham lebih melaksanakan putusan pengadilan tidak tergantung pada menjadi pihak atau tidak menjadi pihak dalam putusan. "Kewajiban Kemenkumham menurut UU tersebut adalah mendaftar kepengurusan yang dinyatakan sah menurut hukum," katanya.
Sementara, mengenai keputusan Mahkamah Partai PPP yang dilaksanakan di Jakarta dan hal-hal mengenai kehadiran, susunan acara, risalah serta laporan muktamar telah dipertimbangkan dengan sangat cermat baik dalam putusan MA No 504 TUN tanggal 20 Oktober 2015 dan putusan MA No 601 tanggal 2 November 2015. Jadi untuk apa Menkumham mempertanyakan itu, semua kelihatan mengada-ada bertindak seperti kuasa hukum kubu M. Ramahurmuziy saja.
"Semua pihak yang masih bernalar bisa menilai sepak terjang Yasona Laoly sejak awal yang secara kasat mata memperlihatkan keberpihakannya, jadi SK Pengesahan Kembali Muktamar Bandung tidak berdiri sendiri melainkan kelanjutan sikap diskriminatif yang sudah menunjukkan perbuatan melawan hukum malah lebih parah lagi
abuse of power," tegas Humphrey.
[rus]
BERITA TERKAIT: