Pro-kontra antara kebebasan berekspresi dan RHS perlu dijelaskan. Dalam batas mana kebeÂbasan berpendapat dan berekspresi soal agama dimungkinkan, dan dalam wilayah apa saja yang masuk kategori RHS dan sebaliknya bahkan harus dihindari. Pertanyaan ini lebih rumit karena subyekÂtifitas pemahaman keagamaan setiap orang berÂbeda satu sama lain. Boleh jadi suatu pernyataan dianggap biasa oleh sekelompok orang, tetapi hal sama dianggap RHS oleh kelompok lain. Dari sini perlu ada aturan agar orang tidak terjebak dengan sesuatu yang seharusnya tidak perlu terjadi. SepaÂnjang tidak ada aturan yang jelas maka sepanjang itu masalah konseptual akan muncul. Peraturan dan perundang-undangan yang ada bisa ditafsirkan seÂcara subyektif dan riskan untuk dipolitisir. Akhirnya ada orang yang sesungguhnya berniat baik tetapi disangka berbuat pelanggaran. Sebaliknya ada yang nyata-nyata melakukan pelanggaran tetapi diÂmaafkan karena yang bersangkutan memiliki power yang kuat.
Kebebasan berpendapat dan berekspresi juga bisa dibedakan antara mereka yang berangkat dari niat yang buruk dan orang yang tidak sengaja atau tidak memperkirakan akan memiliki dampak lebih jauh terhadap pernyataannya. Persoalan ini juga tidak mudah karena bagaimana caranya menghukum niat. Seburuk apapun sebuah niat jika belum direalisasikan dalam bentuk perbuaÂtan maka tidak bisa disebut pelanggaran. Nabi Muhammad Saw sendiri pernah marah besar keÂpada panglima angkatan perangnya, Usama bin Zaid karena membunuh seorang musuh yang suÂdah bersyahadat. Peristiwanya ketika Usama bin Zaid mengejar seorang musuh. Ketika musuh itu terjebak di antara tebing dan gunung terjal tiba-tiba ia bersyahadat. Usama menafsirkannya seÂbagai upaya penyelamatan diri. Dengan kata lain syahadatnya palsu. Akhirnya sampai berita itu keÂpada Nabi, lalu Nabi memanggil Usamah dan meÂmarahinya lantaran membunuh orang yang suÂdah bersyahadat. Nabi memberikan pernyataan penting di situ dengan mengatakan: Nahnu nahÂkumu bi al-dhawahir wallahu yatawalla al-sarair (kita hanya menghukum apa yang tampak, dan hanya Allah Yang Maha Mengetahui yang terseÂbunyi di dalam pikiran orang).
Sebetulnya di dalam UUD 1945 sudah memÂberikan rambu-rambu antara kebebasan berÂpendapat dan berserikat dan pembatasan-pemÂbatasannya sudah diatur, terutama di dalam pasal 28 dan UU No. 9 tahun 1998 yang mengÂatur tentang demonstrasi dan unjuk rasa. Jika sebuah perbuatan dianggap melampaui batas maka diancam dengan hukuman tertentu sebaÂgaimana diatur di dalam pasal 160-161 KUHP tentang penghasutan, dan pasal 310 ayat (1) dan pasal 311 ayat (2) KUHP tentang penceÂmaran nama baik. Demikian pula diatur dalam UU ITE pasal (27) tentang pencemaran nama bail melalui media social dan internet. ***
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.