RELIGIOUS-HATE SPEECH (16)

Antara RHS Dan Free of Speech

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Selasa, 19 Januari 2016, 08:25 WIB
Antara RHS Dan Free of Speech
nasaruddin umar:net
DALAM era reformasi ser­ingkali sulit dibedakan antara Religious-Hate Speech (RHS) dan Free of Speech. Satu sisi orang berada di da­lam suasana bebas berbi­cara, bebas mengemukakan pendapat, bebas mengung­kapkan pikiran dan gagasan, suatu era di mana hak asasi manusia harus dihargai, tetapi pada sisi lain ada pembatasan yang tidak bisa disepelekan bagi sia­papun. Pembatasan ini agak kontroversi bukan hanya di dalam masyarakat umum (grass root) tetapi juga para ilmuan, termasuk para pengab­di kemanusiaan. Jika kebebasan berbicara dan mengemukakan pendapat tidak dibatasi, maka justru bukannya meningkatkan martabat kemanu­siaan tetapi justru bisa menurunkan derajat dan martabat kemanusiaan.

Pro-kontra antara kebebasan berekspresi dan RHS perlu dijelaskan. Dalam batas mana kebe­basan berpendapat dan berekspresi soal agama dimungkinkan, dan dalam wilayah apa saja yang masuk kategori RHS dan sebaliknya bahkan harus dihindari. Pertanyaan ini lebih rumit karena subyek­tifitas pemahaman keagamaan setiap orang ber­beda satu sama lain. Boleh jadi suatu pernyataan dianggap biasa oleh sekelompok orang, tetapi hal sama dianggap RHS oleh kelompok lain. Dari sini perlu ada aturan agar orang tidak terjebak dengan sesuatu yang seharusnya tidak perlu terjadi. Sepa­njang tidak ada aturan yang jelas maka sepanjang itu masalah konseptual akan muncul. Peraturan dan perundang-undangan yang ada bisa ditafsirkan se­cara subyektif dan riskan untuk dipolitisir. Akhirnya ada orang yang sesungguhnya berniat baik tetapi disangka berbuat pelanggaran. Sebaliknya ada yang nyata-nyata melakukan pelanggaran tetapi di­maafkan karena yang bersangkutan memiliki power yang kuat.

Kebebasan berpendapat dan berekspresi juga bisa dibedakan antara mereka yang berangkat dari niat yang buruk dan orang yang tidak sengaja atau tidak memperkirakan akan memiliki dampak lebih jauh terhadap pernyataannya. Persoalan ini juga tidak mudah karena bagaimana caranya menghukum niat. Seburuk apapun sebuah niat jika belum direalisasikan dalam bentuk perbua­tan maka tidak bisa disebut pelanggaran. Nabi Muhammad Saw sendiri pernah marah besar ke­pada panglima angkatan perangnya, Usama bin Zaid karena membunuh seorang musuh yang su­dah bersyahadat. Peristiwanya ketika Usama bin Zaid mengejar seorang musuh. Ketika musuh itu terjebak di antara tebing dan gunung terjal tiba-tiba ia bersyahadat. Usama menafsirkannya se­bagai upaya penyelamatan diri. Dengan kata lain syahadatnya palsu. Akhirnya sampai berita itu ke­pada Nabi, lalu Nabi memanggil Usamah dan me­marahinya lantaran membunuh orang yang su­dah bersyahadat. Nabi memberikan pernyataan penting di situ dengan mengatakan: Nahnu nah­kumu bi al-dhawahir wallahu yatawalla al-sarair (kita hanya menghukum apa yang tampak, dan hanya Allah Yang Maha Mengetahui yang terse­bunyi di dalam pikiran orang).

Sebetulnya di dalam UUD 1945 sudah mem­berikan rambu-rambu antara kebebasan ber­pendapat dan berserikat dan pembatasan-pem­batasannya sudah diatur, terutama di dalam pasal 28 dan UU No. 9 tahun 1998 yang meng­atur tentang demonstrasi dan unjuk rasa. Jika sebuah perbuatan dianggap melampaui batas maka diancam dengan hukuman tertentu seba­gaimana diatur di dalam pasal 160-161 KUHP tentang penghasutan, dan pasal 310 ayat (1) dan pasal 311 ayat (2) KUHP tentang pence­maran nama baik. Demikian pula diatur dalam UU ITE pasal (27) tentang pencemaran nama bail melalui media social dan internet. ***
  • TAGS

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA