Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Enam Hambatan yang Membuat Implementasi UU Desa Tak Berjalan Optimal

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/zulhidayat-siregar-1'>ZULHIDAYAT SIREGAR</a>
LAPORAN: ZULHIDAYAT SIREGAR
  • Selasa, 15 Desember 2015, 21:28 WIB
Enam Hambatan yang Membuat Implementasi UU Desa Tak Berjalan Optimal
rmol news logo Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Marwan Jafar mengungkapkan UU 6/2014 tentang Desa memberi harapan dan peluang bagi desa untuk membangun dan menata desa secara mandiri.

"Namun banyak hambatan yang membuat implementasi UU Desa tak berjalan optimal," jelas Marwan dalam acara Rembug Nasional Desa Membangun Indonesia di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Selasa (15/12),

Dalam kesempatan itu, Marwan memaparkan sedikitnya enam hambatan implementasi UU Desa. Pertama, adanya fragmentasi penafsiran Undang-Undang Desa di tingkat elit yang berimplikasi pada proses implementasi dan pencapaian mandat yang tidak utuh, bahkan mengarah pada pembelokan terhadap mandat Undang-Undang Desa.

Kedua, di tingkat pemerintahan Desa terjadi pragmatisme yang mengarah pada hilangnya kreativitas dalam menggali sumber daya lokal di desa.  "Penggunaan dana desa masih melakukan replikasi atas 'village project' sebelumnya yang bias pembangunan infrastruktur," papar Menteri Marwan.

Ketiga, Menteri Marwan menyebutkan demokratisasi desa masih menghadapi kendala praktek  administratif.

"Demokratisasi Desa juga terkendala oleh lemahnya tingkat partisipasi yang substantif dan konstruksif dari masyarakat desa. Pada dimensi inilah pemerintah dan pemerintah daerah dapat berperan aktif untuk membina dan memberdayakan masyarakat Desa dalam rangka meningkatkan kualitas partisipasi mereka," tandasnya.

Permasalahan keempat, lanjut Menteri Marwan, adalah masalah penguasaan rakyat atas tanah dan sumber daya alam belum terintegrasi dan menjadi basis dari proses pembangunan dan pemberdayaan desa.

"Masalah struktural seperti konflik agraria, kepastian hak Desa atas wilayahnya dan kedaulatan dalam mengatur ruang Desa belum tercermin dalam kebijakan pembangunan dan pemberdayaan Desa," bebernya.

Kelima, praktek pelaksanaan musyawarah desa cenderung patriarki, peran perempuan mengalami marjinalisasi ketika mereka menyampaikan usulan yang berkaitan dengan kepentingan tubuh, nalar, dan keberlangsungan hidupnya.

"Persoalan terakhir adalah tata ruang kawasan perdesaan yang harus tunduk dengan tata daerah cenderung tidak sesuai dengan aspirasi desa. Pembangunan Desa skala lokal terkendala dengan pola kebijakan Tata Ruang Perdesaan yang berpola 'top-down'. Hal ini tidak jarang menyebabkan Desa kehilangan akses sumber daya akibat kebijakan tata ruang yang belum mengakomodir aspirasi Desa, tandasnya.

Makanya, dengan adanya kegiatan rembug nasional desa membangun dia berharap bisa menghasilkan konsensus mengenai sikap dan langkah terkait dengan implementasi Undang-undang desa secara lebih utuh dan substantif. [zul]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA