Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Dinamika Amerika Latin Dan Pelajaran Untuk Indonesia

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/dradjad-h-wibowo-5'>DRADJAD H WIBOWO</a>
OLEH: DRADJAD H WIBOWO
  • Selasa, 08 Desember 2015, 08:33 WIB
Dinamika Amerika Latin Dan Pelajaran Untuk Indonesia
dradjad h wibowo/net
SEJALAN dengan anjloknya harga komoditi, sosialisme di Amerika Latin ambruk. Sementara itu, neoliberalisme mulai bangkit.

Minggu ini, Mauricio Macri yang liberal akan dilantik menggantikan Presiden Cristina Fernandez de Kirchner yang kiri. Macri menang telak atas Daniel Scioli, calon pilihan de Kirchner, dan ini mengakhiri 12 tahun kekuasaan sosialis di Argentina.

Dua hari lalu, partainya Chaves kalah telak dari oposisi yang liberal dalam pemilihan legislatif Venezuela. Presiden Venzuela memang masih Maduro, tapi parlemen dikuasai oposisi. Jika berhasil menang 2/3 kursi, mereka berhak meminta referendum untuk menurunkan Maduro pada April 2016 (setelah Maduro melalui setengah masa jabatan).

Sosialisme Argentina dan Venezuela yang terlalu tergantung pada harga komoditas meninggalkan defisit APBN yang besar, cadangan devisa ambruk, produksi ambruk, kebutuhan pokok menghilang. Di Venezuela, orang antri bukan berjam-jam lagi, tapi bisa lebih dari sehari hanya untuk membeli telur dan susu. Pelayanan kesehatan yang menjadi andalan di kedua negara juga anjlok karena negara tidak lagi mempunyai uang untuk menyubsidi kesehatan.

Di bawah sosialisme, pertumbuhan cenderung lebih jelek namun pemerataan membaik untuk waktu sekitar 10 tahun sampai kemudian negara tidak punya uang untuk membiayai pemerataan.

Sementara di bawah kapitalisme-neoliberalisme, pertumbuhan cenderung lebih bagus namun pemerataan merosot terus dan jurang kaya-miskin meningkat. Waktunya bisa lama, sampai kemudian terjadi revolusi karena rakyat miskin mengamuk.

Sepertinya harus ada jalan tengah. Setiap negara harus mencari sendiri di mana jalan tengah antara neoliberalisme versus sosialisme yang tepat untuk negaranya. Mana jalan tengah antara pertumbuhan versus pemerataan, ditopang stabilitas dan sustainabilitas. Tanpa stabilitas dan sustainabilitas terjamin, pertumbuhan dan pemerataan bisa ambruk bersama-sama, serta menjadi negara gagal ekonomi.

Apa Indonesia ada di jalan tengah? Sepertinya belum. Buktinya, ketika harga komoditas anjlok, pertumbuhan juga anjlok. Di era Presiden SBY, Indonesia diuntungkan oleh harga komoditas. Pertumbuhan relatif tinggi. Tapi karena terlalu miring ke neoliberalisme, pemerataan rusak. Gini ratio jelek sekali. Sekarang harga komoditas ambruk.

Saya rasa pemerintahan Presiden Jokowi perlu mencari titik tengah yang cocok tersebut. Sosialisme dengan liberalisasi terbatas di China juga sedang mengalami banyak masalah sekarang. Jadi tidak bisa begitu saja meniru China. Jalan tengah ala Indonesia ini yang harus dicari dan dibangun.

Hemat saya, salah satu unsurnya harus memasukkan investasi SDM yang tepat sasaran. Supaya, jumlah penduduk yang besar ini tidak menjadi beban yang harus disubsidi program pemerataan, melainkan justru menjadi mesin produktifitas sumber pertumbuhan. [***]

Penulis adalah ekonom senior dari Sustainable Develompment Indonesia (SDI)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA